Honor Untuk Guru

Honor Untuk Guru

Nak… Kamu kalau jadi guru, dosen atau jadi kiai, kamu harus tetep usaha. Harus punya usaha sampingan, biar hati kamu nggak selalu mengharap pemberian ataupun bayaran orang lain, karena usaha yang dari hasil keringatmu sendiri itu barokah –(M.Z).

Di media sosial facebook, akhir-akhir ini (Februari 2016) saya kerap mendapati teman-teman mengunggah gambar seorang tokoh kiai, lengkap dengan kutipan kalimatnya. Kalimatnya persis yang saya tuliskan di atas. Pada redaksional kalimat itu barangkali akan bermakna biasa-biasa saja. Ya, bahwa moralitas untuk bekerja, mencari uang dari jerih-payah tangan sendiri tanpa menggantungkan pada tangan orang lain, memang sudah lama menjadi etos budaya kerja kita. Orang lain tadi misalnya ya atasan, bos, juragan atau pimpinan kita.

Tapi apa benar begitu? Apa masyarakat atau bangsa kita sudah mandiri dan se-ideal itu? Bukannya masyarakat kita, yang katanya berbasis budaya komunal itu, tetap rendah etos kemandiriannya? Bukankah bangsa kita pun masih kerap distigmasisasikan sebagai bangsa bermental jongos?

Kutipan di awal, sebagai kalimat yang bernada petuah orang tua kepada anak muda, jelas menohok kita. Utamanya bagi saya sendiri, yang guru. Gurunya mahasiswa di kelas. Betapa tidak, memang pekerjaan mengajar yang sering kita sebut guru atau dosen misalnya, rasa-rasanya secara teknis amat mengharapkan pemberian ataupun bayaran orang lain. Orang lain di sini, kalau profesinya guru  PNS ya menunjuk pada Negara. Artinya, penghasilan dan pendapatan ekonomi guru ini akan sangat bergantung kepada pemberian atau bayaran Negara. Terus apa masalahanya?

Masalahnya, kalau posisi guru sebagai pendidik yang bergantung pada bayaran “orang lain” ini dihadapkan pada petuah sang kiai di atas, maka akan muncul beberapa arti, atau bahkan persoalan. Pertama, bisa diartikan bahwa profesi pendidik jangalah dijadikan sebagai mata-pencaharian belaka. Guru jangan dijadikan kantung-kantung penumpuk uang. Kedua, pekerjaan pendidik seperti guru dll. itu bukanlah profesi yang menghasilkan uang dari hasil keringat sendiri. Dari dua pengertian ini saja, kita bisa medapati beberapa persolaan ikutannya.

Persoalan yang saya maksud adalah pada idealitas profesi pendidik dalam masyarakat kita. Bahwa idealnya, pendidik sebagai profesi terhormat dan punya peran sangat penting dalam peradaban sebuah bangsa sudah semestinya dihormati. Ya, karena ia memang terhormat. Bagaimana bentuk penghormatannya? Gaji atau honorarium, tentu saja adalah bentuknya yang paling dangkal. Yang lebih mendasar adalah penghormatan dalam bentuk apresiasi sosial. Dan ketika hari ini, bangsa kita masih berkutat pada persoalan uang, persoalan gaji atau honor guru yang selalu saja tak beres, apa artinya ini? Salah satunya ya bangsa kita belum beradab, selama belum mampu menghormati guru.

Coba kita simak problem guru honorer kita akhir-akhir ini. Di depan Istana Negara di Jakarta, beberapa hari yll. ribuan guru honorer dari berbagai daerah demo mengiba dan nangis-nangis mengharapkan Presiden Jokowi sebagai Pemerintah untuk mengangkat mereka menjadi PNS. Celakanya, menurut beberapa sumber berita, ada lima guru yang meninggal. Tiga guru dari Mentawai meninggal di perjalaan sepulang demo karena kelelahan. Yang lainnya meninggal sebelum berangkat karena kelelahan mengorganisir dan mengkoordinir persiapan demo ke Jakarta. Dari fenomena memprihatinkan lagi memilukan ini, betapa bangsa kita belum bisa menghormati guru secara layak? Lantas, ini tanggung jawab siapa? Pemerintah? Presiden? Mendikbud? DPR? Atau salah kita semuanya?

Tentu saja, persoalan guru kita tidaklah sebatas persoalan “honor” atau penghormatan. Bukan hanya soal kurangnya apresiasi material dan sosial. Persoalan penerimaan guru misalnya, adalah persoalan yang tak kalah penting. Soal rekrutmen guru ini pun bisa diteruskan pada soal proses pendidikan keguruannya. Hingga ke persoalan penyelenggaraan institusi penghasil Sarjana Pendidikan.

Pada persoalan rekrutmen, masih bisa diperdebatkan apakah penjaringan guru oleh Pemerintah melalui tes CPNS dengan pola rangking nilai kognitif selama ini sudah efektif atau tidak. Apakah kompetensi seorang guru misalnya, bisa ditentukan dengan skor angka yang berasal dari nilai kognitif saja? Khusus untuk tes tenaga dosen di Perguruan Tinggi tak sedangkal itu, karena masih ada tes wawancara dan tes mengajar di kelas. Saya ketika mengkuti tes CPNS dosen FKIP di Unlam (kini jadi ULM) tahun lalu pun merasaknnya. Mengingat posisi guru lebih strategis dalam hal pendidikan generasi muda bangsa kita, maka pola rekrutmen yang hanya berbasis tes kognitif selama ini perlu diubah. Minimal bisa mengikuti pola rekrutmen dosen, sebagaimana yang sudah diterapkan oleh Perguruan Tinggi kita.

Kemungkinan pola rekruitmen guru secara Nasional di atas cukup rasional, lantaran pilihan untuk menyerahkan penerimaan guru ke Pemerintah Daerah telah terbukti tidak efektif. Sebagaimana yang dikatakan Mas Anis Mendikbud kita tempo hari di media, bahwa pola penerimaan guru yang sepenuhnya diserahkan pada Pemda cenderung menimbulkan persoalan baru. Banyak kebijakan ini disusupi oleh kepentingan politik. Misal fenomena para calon kepala daerah saat menjelang Pilkada, ramai-ramai mem-PNS-kan guru honorer tanpa pertimbangan kompetensi yang cukup.

Lain dari itu, persoalan keguruan kita pun akan menunjuk pada kualitas guru yang linier dengan kualitas prosesnya selama ia menempuh pendidikannya di kampus. Hal ini pun akan menunjuk lagi pada persoalan konsep kurikulum pendidikan kita. Dari soal ribut-ribut pergantian Kurikulum KTSP ke Kurikulum (K) 2013, lalu balik lagi ke KTSP saja, juga pada sekolah yang masih menerapakan K2013 dan sebagian lagi kembali ke KTSP, semua itu menunjukkan masih adanya persoalan yang berlarut-larut dalam proses pendidikan kita. Kalau mau dibentangkan, tentu masih banyak lagi problem keguruan kita yang masih membebani pundak pendidikan kita. Dan dari pelbagai persoalan keguruan kita, sayangnya kita masih belum beranjak pada persoalan honor, persolaan penghargaan. Celakanya, kita masih membahas persoalan honor material!

Kembali pada nasihat sang kiai, bahwa menjadi guru janganlah terlalu berharap pada uang gaji atau honor, hal ini kalau kita maknai secara sempit malah punya dampak yang kontraproduktif. Demikian karena nasihat itu bisa saja menjadi alasan naif para tenag pendidik kita untuk “ngobyek”, menacari tambahan ekonomi di luar bidang pengajaran. Akibatnya, tugasnya profesinalnya sebagai guru terganggu. Siswa dan kelas terbengkalai, kualitas pembelajaran tidak bermutu.

Tentu saja bukan pemaknaan yang sempit begitu yang dimaksud oleh sang kiai. Barangkali, nasihat itu malah berupa sentilan lembut kepada Pemerintah kita yang belum mampu mengurusi persoalan gaji dan kesejahteraan guru. Dan nasihta itu pun sebenarnya sudah jelas mendidik kita untuk menjadi pekerja yang mandiri. Bekerja dengan jerih-payah dan hasil keringat sendiri. Dalam konteks pendidikan, ini cukup bernilai ilmiah. Kalau kita tidak kreatif, atau malah melakukan plagiarisme, hal ini bukanlah sifat etos kerja yang barokah. Sebagaimana yang dipesankan kiai yang ulama “sepuh” kita: KH. Maimun Zubair.

Opini Publik, Banjarmasin Post: Selasa, 16 Februari 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *