Panggung Motivator di Negeri Simulasi

Panggung Motivator di Negeri Simulasi

Lazimnya sifat manusia yang kualitas hidupnya selalu fluktuatif, maka kebutuhan manusia akan suatu pegangan hidup adalah sebuah keniscayaan. Pegangan inilah yang umumnya kita kenali sebagai agama. Dalam hidup beragama, manusia pun akan terbekali dengan nilai-nilai normatif keyakinannya. Nilai-nilai itulah yang kemudian menjadi panduan manusia dalam menghadapi naik-turunnya (dinamika) kualitas hidup. Pertanyaannya, apa itu kualitas hidup? Barangkali jawaban paling singkatnya, bahwa kualitas hidup itu tak lain adalah kehidupan yang ideal—asalkan jangan terus Anda lanjutkan dengan pertanyaan: apa itu hidup ideal? Kalau kita bawa konsep kehidupan yang ideal itu pada wilayah agama, tentu akan menunjuk pada dimensi akhirat.

Lantas jika kita bawa kepada dunia empiris, industri komunikasi misalnya, maka boleh jadi kita akan sepakat bahwa konsep kehidupan ideal itu hanya ada di dalam layar kotak media televisi. Sebut saja pada sajian ceramah-ceramah rohaniwan atau pada uraian-uraian motivator. Dan faktanya, kedua sajian tersebutlah yang sedang populer dan menyerbu udara rumah kita, melalui berbagai kemasan acara atau program komersial yang memikat.

Tingginya antusiasme masyarakat kita pada sajian-sajian motivatif di media televisi adalah fenomena yang tak terbantahkan. Selain di televisi, berbagai acara motivatif seperti bentuk pelatihan-pelatihan, mentoring dan coaching pun selalu diminati dan dibanjiri pesertanya. Fenomena sosial masyarakat kontemporer kita ini nampaknya menyimpan ‘pesan zaman’ yang tentunya bisa kita maknai dari banyak sudut pandang.

Dari sisi agama, misal kita bisa memaknai adanya semacam dorongan spiritual manusia untuk memenuhi (kekosongan) kualitas hidupnya. Secara pemikiran, melalui kajian budaya (cultural studies) pun bisa memaknainya. Misalnya bahwa fenomena masyarakat yang haus motivasi ini, dalam perspektif kapitalisme adalah sebuah market ekonomi yang sangat menggiurkan. Bahwa market besar inilah yang mendasari para pemilik modal untuk membuat program-program motivasi komersial mereka. Alhasil, konon seorang motivator populer bisa dibayar hingga Rp 50 juta sekali tayangan program motivasi di televisi, dengan durasi kurang-lebih 50 menit. Bahkan seorang motivator super bisa memeroleh honor hingga Rp 100 juta dalam 60 menit, untuk acara situasional di luar televisi. Artinya, profesi motivator ini akan diberi honorarium tak kurang dari 1 juta untuk tiap menitnya. Bandingkan misalnya dengan masih adanya guru atau dosen (baca: pendidik) di negeri kita yang digaji 1 juta per bulan untuk memotivasi belajar anak didiknya setiap hari. Super sekali!

Kembali ke soal hausnya masyarakat kita pada seteguk air sejuk bernama motivasi tentu masalahnya tak menjadi mengkhawatirkan jika kehausan itu tidak menjadi bentuk perilaku yang ‘nyandu.’ Logika sederhananya, jika ada seseorang atau banyak orang yang nyandu untuk terus-menerus minta diberi motivasi, artinya ada kualitas hidup manusia yang terus-menerus berjalan di tempat.

Refleksi kritisnya, bukankah fenomena masyarakat kita yang nyandu motivasi ini merupakan potret nyata kualitas manusia bangsa kita? Jika dikaitkan dengan asumsi bahwa program motivasi adalah diperuntukkan bagi kualitas-kualitas pribadi yang sedang jatuh, bukankah ini juga berarti bahwa bangsa kita sedang jatuh mentalitas kepribadiannya? Barangkali, gerakan Revolusi Mental yang didengungkan oleh pemerintahan Jokowi-JK tempo hari adalah respons politik dari realitas kultural masyarakat postmodern kita. Postmodern?

Supaya tak menjadi teoritis—misal seperti penjelasan konsep simulakra dalam teori kebudayaan Jean Baudrillard—soal pengertian masyarakat postmodern ini dapat kita maknai dengan cara mengontraskan secara analogis dengan masyarakat modern (baca modern versus postmodern). Begini, jika masyarakat modern punya logika formal bahwa dua dikali dua akan selalu pasti empat (2 X 2 = 4), maka lain lagi logika masyarakat postmodern. Logika postmodern boleh jadi akan mengatakan, bahwa dua dikali dua bisa saja empat, lima, tujuh, sebelas atau berapa saja yang tak terhingga (2 X 2 = ~). Artinya, ada semacam liberalisasi tafsir dalam logika postmodern yang relatif. Maka sebuah pengertian atau kebenaran pun menjadi relativistik. Bahkan, kenyataan hidup atau realitas pun menjadi tidak bisa diidentifikasi secara distingtif.

Fenomena budaya massa (populer) pada televisi adalah bentuk konkret dari kesumiran realitas hidup postmodern itu. Di dalam layar televisi, kenyataan hidup yang konkret telah menjadi sebuah simulasi dengan berbagai bentuk citraan modelnya. Kegetiran hidup seseorang yang khas pada tiap-tiap pelakunya, bisa menjadi simulasi massa yang dimodelkan objektif pada sebuah tayangan reality show di televisi.

Konsep kecantikan dan keindahan kita yang subjektif pun telah menjadi simulasi iklan kosmetik, melalui model-model estetika yang Barat-sentris. Misalnya, perempuan cantik itu dicitrakan dengan kulit putih, dan seterusnya. Dan ketika banyak waktu masyarakat kita dihabiskan di muka layar simulasi (baca: televisi), dengan bahasa Baudrillard dapat dikatakan bahwa fenomena itu menunjukkan bahwa kita sedang hidup di atas panggung hiper-realitas. Suatu panggung kehidupan yang menghadirkan kenyataan imitatif dan bahkan palsu, menjadi kenyataan yang sesungguhnya.

Ketika kita menghadapi zaman artifisial yang simulatif ini, kita pun akan bertanya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa masyarakat kita bisa sebegitu rupa adiktifnya pada retorika motivator di televisi? Pertanyaan tersebut tentu bisa kita kembalikan pada persoalan kualitas hidup dan kepribadian masyarakat kita. Misalnya, ada kaitan antara tradisi oral (lisan) masyarakat kita yang sangat kuat, sehingga retorika oral yang divisualkan melalui komunikasi massa seorang motivator menemukan surganya. Masyarakat kita yang amat gemar ngobrol dan kumpul-kumpul pun menjadi kapital ekonomi industri media televisi kita. Juga nampak ada kaitannya dengan rendahnya budaya literasi kita, sehingga pola berpikir dogmatif masih mendominasi ketimbang kecakapan berpikir kritis-analitis. Oleh karenanya, wajar jika dogma-dogma normatif melalui atraksi verbal dari para motivator di media televisi menjadi populis.

Menyadari kenyataan masyarakat kontemporer kita yang terpusat pada tampilan populer, pada simulasi realitas ideal di televisi tersebut, maka problem dasar penyebab yang perlu kita soroti adalah pada pembangunan kualitas hidup ideal manusia. Khususnya pada penguatan proses pendidikan kita. Dan dimensi yang paling krusial dari nilai pendidikan itu adalah kualitas intelektual dan moral. Intelektualias yang kukuh mengandaikan sebuah pondasi nalar dan daya kritis yang baik. Sedangkan moralitas yang arif menuntut suatu kepekaan sosial yang humanis. Dari situ, barangkali kita bisa memimpikan hadirnya panggung sosial yang ideal, di mana penampilnya bukan hanya diisi oleh simulasi-simulasi kenyataan artifisial ciptaan pemilik modal. Akan tetapi dipenuhi oleh kreativitas manusia-manusia Indonesia mandiri, cerdas, kritis dan punya kebudayaaan yang berkepribadian.

Opini Banjarmasin Post, 15 September 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *