Pindah Ibukota atawa Pindah Rumah Kos

Pindah Ibukota atawa Pindah Rumah Kos

Ibukota sebuah negara modern bisa dianalogikan sebagai ‘rumah kost’. Rumah hunian sementara birokrasi negara yang dijadikan pusat aktivitas pemerintahan dan penyelenggaraan kenegaraannya, juga pusat niaganya. Seperti halnya, mahasiswa perantauan di kota Yogyakarta, yang biasa pindah kost dengan alasan efektivitas dan efisiensi studi.

Ibukota negara pun dalam posisi yang sama. Ibu kota bisa dipindah ke mana saja selama dalam teritori negaranya. Selama untuk mencari efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan kenegaraan. Alasannya pun kontekstual, bisa karena faktor keamanan, perubahan geografi, maupun alasan historis dan visioner. Contoh, dulu di masa revolusi, Bung Karno memindahkan ‘rumah kost’ penyelenggaraan negara dari Jakarta ke Yogyakarta dan Bukittinggi karena alasan keamanan.

Dalam ingatan negeri ini, khususnya pascarevolusi, rencana pindahan ‘rumah kost’ pemerintahan negara muncul lagi tahun 1957. Namun, seperti apa kata sastrawan Pramudya Ananta Tour, rencana Bung Karno untuk memindahkan ibukota negara ke Palangkaraya akhirnya kandas. Sejarawan Anhar Gonggong dalam satu kesempatan menimpali bahwa peristiwa 1965-lah yang melibas gagasan pemindahan ibukota ke Palangkaraya itu. Oleh karena, memang, Pak Harto kemudian datang dengan gerbong Orde Baru yang cukup panjang: 32 tahun!

Selama periode kekuasaan Orba, wacana pindahan ibu kota ini hampir tidak pernah terdengar sama sekali. Dan, baru kemarin ketika orde Demokrat berkuasa, samar-samar terdengar beberapa kali Presiden SBY ‘menyanyikan’ lagi lagu pindahan ibukota. Tapi, sampai akhir masa jabatannya yang kedua pun, lagu pindahan itu toh hanya terdengar di atas gemerlapnya panggung pertunjukan politik.

Kini, di awal masa pemerintahan wong Solo, kembali diperdengarkan lagu harapan tentang perpindahan ibukota negara. Dari Jawa ke yang bukan Jawa. Mungkin ke Borneo, Sumatranen, Celebes, atau Minahasa. Secara konsepsional, wacana pemindahan ibukota negara yang cukup merdu terdengar memang bisa merujuk pada kebijakan SBY pada 2008 lalu ketika membentuk Tim Visi Indonesia 2033.

Sebelumnya pernah terlontar ke publik wacana pemindahan ibukota, tapi tak terlalu mengemuka. Misalnya, pemindahan ibukota ke daerah Jonggol, Jabar di era Soeharto terkait adanya pemekaran wilayah kebun buah Mekarsari milik Ibu Negara (Tien Soeharto). Ada pula gagasan-gagasan di awal reformasi untuk memindahkan ibukota ke Yogyakarta, Magelang, Purwokerto dan Malang (Baiquni, Membangun Pusat-Pusat di Pinggran: 2006). Dan, Gus Dur pun pernah melontarkan wacana untuk memindahkan ibukota ke daerah Subang Jabar. Semua wacana itu memang sungguh-sungguh sebatas wacana.

Khusus pada hasil kajian Tim Visi Indonesia 2033 (Tim 2033) yang dilaporkan sang komandan, Andrinof Chaniago pada tahun, wacana pemindahan ibukota punya kans untuk diimplemnentasikan (baca: diwujudkan). Di situ tergambar bahwa Pulau Kalimantan menjadi prioritas pilihan wilayah ibukota negara baru yang ideal. Adapun soal yang selalu menjadi momok menakutkan wacana ini, ongkos, dihitung dalam estimasi jumlah Rp 100 triliun untuk 10 tahun masa pembangunan.

Ongkos yang hanya 1 persen dari APBN, yang menurut kajian Tim 2033 (daring: www.visi2033.or.id) jauh lebih rendah dari ongkos kerugian kemacetan Ibukota Jakarta selama setahun: Rp 20 triliun. Alasan akademik Chaniago dan Tim 2033 yang nampak efektif dan rasional secara ekonomis. Kini, Chaniago ditunjuk Jokowi untuk memperkuat Kabinet Kerja pemerintahannya di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Dari sini tampak bahwa kebijakan Jokowi masih berkesinambungan dengan pemerintahan SBY sebelumnya. Khususnya soal wacana pemindahan ibukota ke Kalimantan.

Kalau dulu sejak wacana yang muncul dari Bung Karno adalah ke kota Palangkaraya (Kalteng), menurut kajian Chaniago dan Tim 2033 tidak relevan lagi. Dengan alasan, efektivitas jarak dengan pusat pemerintahan dan ekonomi dari pulau Jawa, maka pilihan kota yang relevan menurutnya adalah wilayah Kalimantan bagian selatan sisi timur. Beberapa kali di publik, Chaniago menyebut kota Sampit atau Pangkalan Bun.

Menarik untuk mencermati usulan pindah rumah kost negara ke Kalimantan ini dengan melihat dasar pertimbangan manfaat agregatnya. Yaitu, 6 pertimbangan wilayah Kalimantan kosokbali (baca: dilawankan) dengan daerah-daerah lain di Indonesia (daring: www.visi2033.or.id). Pertama, Kalimantan selatan adalah kawasan tengah Indonesia yang membuat biaya pergerakan dari Jawa tidak terlalu tinggi. Kedua, sebagai sumber utama bahan baku energi nasional. Ketiga, sumber air yang memadai untuk kebutuhan dalam jangka panjang, selama diikuti program pelestarian dan teknologi pengolahan lingkungan air secara tepat. Keempat, bersama Papua, Kalimantan memiliki kepadatan penduduk paling rendah di Indonesia. Kelima, pulau yang paling aman dari ancaman bencana gempa bumi. Dan, keenam, salah satu wilayah yang mengalami proses dan sirkulasi modal yang sangat tidak adil dan tidak seimbang.

Kilasan kajian Tim 2033 tentang alasan pemindahan ibukota negara ke Kalimantan menunjukkan bahwa dasar pertimbangannya sudah digodok cukup matang melalui riset dan kajian ilmiah. Namun, demikian, seberapa pun meyakinkannya kajian ilmiah itu, pada tataran empiris masih menyimpan kompleksitas persoalan yang akan menghadang. Sebut saja, aspek kultural yang akan mengikuti pindahnya pusat pemerintahan ke Kalimantan. Aspek ekonomi yang material, barangkali masih cukup bisa dibaca, digambar, dan direncanakan secara statistikal. Namun, aspek nilai-nilai budaya sebuah masyarakat yang harus menerima perubahan besar, menjadi ibu kota negara sebesar Indonesia dengan segala persoalannya, perlu direnungkan dan tidak boleh dikesampingkan. Yang jelas, langkah-langkah strategis perlu terus dicari dalam upaya memakmurkan, mencerdaskan, dan mewujudkan keadilan sosial bagi segenap rakyatnya.

Opini Suara Karya, 17 April 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *