Pendidikan Karakter?

Pendidikan Karakter?

Tulisan ini, kebetulan bersinggungan dengan apa yang diingatkan oleh Anies Baswedan, ‘menteri pendidikan’ kita pada pidato sambutannya dalam upacara peringatan Hardiknas, 2 Mei 2015 di Jakarta. Dalam pidatonya yang bertema ‘Pendidikan sebagai Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila’ itu, kita diingatkan bahwa pendidikan kita jangan terjebak pada paradigma pendidikan warisan kolonial yang fokus SDA, sumber daya alam. Tapi, pendidikan kita harus lebih fokus pada SDM, sumber daya manusia yang berkarakter Pancasila.

Hal ini seakan menyegarkan kembali kesadaran berbangsa kita, bahwa riuh-rendah pewacanaan ‘pendidikan karakter’ dewasa ini harus dikembalikan pada realitas kebangsaan kita sendiri. Bahwa NKRI adalah kebangsaan modern yang dibangun di atas landasan falsafah Pancasila. Dan tulisan ini, ingin mengkritisi realitas dunia pendidikan kita, khususnya pada wacana-wacana berserta formulasi konsep pendidikan karakter yang makin bergeliat di mana-mana. Juga menengok kembali nilai-nilai pendidikan warisan Bapak Pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara.

Sesungguhnya tiap-tiap filsafat pendidikan, di mana pun, selalu mengandaikan konsep untuk membangun sebuah karakter. Makanya, ada ungkapan kalau akhir dari pendidikan adalah karakter (end of education is character). Jadi, menjadi agak lucu (dan tak perlu sampai ketawa), ketika dunia pendidikan kita makin gedombrengan menyuarakan konsepsi ‘pendidikan karakter’. Bahkan ada yang mengkampanyekan konsep pendidikan yang secara istilah pun rancu bin distortif: ‘pendidikan berbasis karakter’.

Istilah ini, seolah-olah ‘karakter’ dimaknai sebagai predikat elementer pendidikan yang bisa diganti-ganti. Dan, mungkin tak aneh lagi, ketika kita melihat dan mendengar macam-macam konsep pendidikan karakter yang berbasis ini berbasis itu diwacanakan di mana-mana. Setidaknya, dari beberapa judul buku yang ditulis dan diedarkan seperti buku Pendidikan Karakter Berbasis Sastra, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, Pendidikan Karakter Berbasis Budaya dan lain-lain, yang kesemuanya mengindikasikan adanya simplikasi konseptual-minimal pada judulnya.

Istilah ‘karakter’ yang dimaksud di sini adalah makna aksiologis yang menunjuk pada material sebagai indentitas, yaitu manusia yang berkarakter. Jadi, karakter bukanlah basis, tapi visi atau tujuan. Kalau basis-landasan, harus merujuk pada norma-norma filsafati atau bahkan konsep doktrinal. Makanya perlu diinsyafi secara jernih, bahwa esensi dari konsep pendidikan karakter sebagaimana yang mau disasar oleh ragam konsep pendidikan Nasional kita tiada lain adalah: Pancasila.

Lantas, di mana rasionalitas dan urgensi konsep-konsep strategis dalam mengembangkan ragam pendidikan karakternya? Misal, konsep pendidikan karakter: berbasis seni-budaya; berbasis sastra; berbasis lingkungan; berbasis tradisi lokal; dan lain-lain. Ragam disiplin atau bidang yang dijadikan predikat pengembangan pendidikan karakter tersebut tetap saja bukan sebagai basis karakter. Bidang-bidang itu adalah ragam material yang masing-masing punya potensi kontekstual dalam membangun karakter ‘nilai’.

Sebagaimana kata Elkind & Sweet (2004), character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. Jadi, kalau dikembalikan pada dasar filsafat pendidikan nasional kita, Pancasila adalah basis nilai-nilainya. Dan, tentulah kandungan nilai Pancasila bisa diturunkan kepada pelbagai potensi yang paling relevan di bidangnya. Atau, dengan kata lain, implementasi pandidikan berbasis karakter Pancasila perlu dikontekstualisasikan ke pelbagai bidang sesuai realitas pendidikannya. Bahwa nilai filsafati Pancasila yang melekat pada kelima pasalnya (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan) itu bisa menjadi panduan-konsepsi praktik pendidikan nasional kita, di sini mengkomparasikan dengan tujuh asas pendidikan Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara dipandang cukup relevan. Yakni, asas yang penulis abstraksikan pada nilai-nilai: kebebasan, pragmatis-manfaat, kultural, sosialistik, kemandirian, ekonomis, dan pengabdian. Jika direfleksikan, secara konsepsional, falsafah Pancasila memiliki dasar okasiologisnya pada nilai keragaman, pluralitas, atau kebhinnekaan.

Sedangkan falsafah pendidikan Taman Siswa mengedepankan nilai kebangsaan, yang oleh Ki Hadjar Dewantara diformulasikan dengan membentuk nilai ‘budi pekerti’ sebagai inti dari pendidikan. Budi Pekerti tak lain adalah ‘karakter’ itu sendiri. Dari tinjauan singkat aksiologis ini, dapat dijadikan cermin untuk menatap realitas kekinian pendidikan kita. Maka pertanyaannya apakah nilai kebhinnekaan, kebangsaan dan budi perkerti (berkarakter) sudah digarap secara baik dalam praktik pendidikan kita kini?

Jawabnya tentu saja relatif, tergantung dari sisi mana kita melihat dan menjawabnya. Dari sisi positif dan optimisnya, telah banyak capaian kemajuan dunia pendidikan yang kita peroleh. Tapi, yang juga penting, sisi negatif dan agak pesimis, kita bisa merujuk pada realitas ketimpangan penyelenggaraan pendidikan kita. Pun para fakta-fakta miris soal praktik-praktik korup dan amoral para oknum pendidikan kita.

Akhirnya kita pun menyadari, bahwa dalam menjalankan amanah Pembukaan UUD 1954 kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tak sederhana lagi gampang. Apalagi jika kita memercayai kesaksian Mochtar Lubis yang dipidatokan tahun 1977 dulu. Bahwa karakter manusia Indonesia itu bercirikan: hipokritistik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, berwatak lemah, dan tapi juga artistik. Memang, sikap optimistik selalu memprasyaratkan sisi pesimistiknya. Begitupun saat kita memandang wajah pendidikan kita.

Opini Suara Karya, 11 Mei 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *