Distorsi Pendidikan Karakter dalam Cerita untuk Anak
Sejak pemerintah mencanangkan gerakan pendidikan karakter pada 2010, yang juga berkontribusi atas lahirnya kurikulum 2013, banyak buku sastra yang maramaikan suasana itu dengan memberi label pendidikan karakter pada sampulnya sabagai pemikat pembaca atau pembeli. Salah satu contoh dari khasanah kesusastraan di Kalimantan Selatan yakni 20 kumpulan cerita rakyat Banjar dalam buku Puteri Junjung Buih, yang diceritakan kembali oleh M. Hasbi Salim, dkk (2012).
Melihat panjangnya cerita dan bahasa yang digunakan, dapat kita duga bahwa buku ini ditujukan untuk para pembaca anak-anak yang berada sekolah tingkat dasar (SD-SMP). Sebagaimana lazimnya karya penulisan kembali, penulis dimaklumi untuk mengurangi isi cerita atau menyesuaikan diksi versi sumbernya yang dirasakan berat dan sukar dipahami menjadi karya dengan isi yang ringan dan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Namun, apakah buku ini melakukan kelaziman tersebut? Sebagian ya, dan sebagian yang lain tidak. Oleh karena itu, sikap kritis selalu diperlukan jika kita berhadapan dengan karya sastra seperti ini.
Ada 18 nilai karakter yang ingin dicapai dalam pendidikan di Indonesia, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilai-nilai itu ditanamkan sejak pendidikan usia dini. Pemerintah berharap nilai-nilai itu bisa tercapai dan dilihat hasilnya pada 2024.
Dalam paradigma pendidikan karakter pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), materi pendidikannya salah satunya diharapkan berbasis kearifan lokal. Masalahnya apakah cerita rakyat dalam buku ini mengandung salah satu atau beberapa nilai-nilai karakter di atas dan kearifan lokal?
Saya hanya akan memperhatikan 4 dari 20 cerita tersebut, yakni “Mesjid Sungai Banar” oleh Fakhrurraji Asmuni (16-19), “Si Jantan Serakah” oleh M. Hasbi Salim (23-26), “Janar Mas” oleh Harun Al Rasyid (35-38), dan “Puteri Nilamsari” oleh Arief Rahman Heriansyah (89-99).
Cerita Fakhrurraji mengisahkan karakter orang-orang desa Ujung Murung yang ramah, suka gotong royong, baik, jujur, dan taqwa, di bawah bimbingan Datu Biha. Sayangnya, kisah ini memasukkan tokoh jin Islam sehingga nilai kerja keras dan gotong royong orang-orang Ujung Murung terdistorsi oleh logika ketiba-tibaan, logika ajaib yang tak masuk akal. Jika kisah ini disodorkan untuk anak PAUD, kisah ini berpotensi membentuk limiting belief yang bisa menggiring mereka ke pola pikir abtrak-irasional. Pada usia berapa seorang anak perlu mengenal peranan jin dalam kehidupan manusia? Mungkin Anda punya jawabannya.
Fabel M. Hasbi Salim tampaknya ingin memetaforkan pentingnya nilai tanggung jawab. Dalam fabel itu dikisahkan ayam jantan yang suka kawin dan tak bertanggungjawab atas keturunannya. Ini sindiran yang telak bagi tabiat sebagian manusia yang pikirannya penuh dengan keinginan untuk kawin dan kawin lagi. Dikisahkan ia bertemu dengan kancil penipu yang diperangkap petani dalam keranjang. Kedua tokoh cerita ini tentu sama-sama tak bisa diteladani. Dengan begini, cerita anak ini sepakat bahwa keserakahan atau watak suka menipu dalam cerita bukan teladan kebaikan tetapi pengingat tentang pentingnya kejujuran dan tanggungjawab. Manusia yang rakus dan suka menipu serupa dengan ayam atau kelinci dalam kisah ini.
Jika kita teruskan membaca kisah berikutnya, “Janar Mas” karya Harun Al Rasyid, pembaca disuguhi lagi dengan tokoh orang tuha, Uha namanya. Ia bidan kampung yang suka menolong tanpa memikirkan imbalan. Daya tarik cerita karya Fakhrurraji dan Harun terasa kurang karena berangkat dari logika linier yang serba sempurna. Orang tua dan orang kampung yang baik, apa menariknya? Bagaimana jika dibalik, tokohnya bukan orang tua dan bukan orang kampung, misalnya anak-anak di tengah kompleks prostitusi dan semacamnya. Menjadi baik dalam lingkungan yang buruk jauh lebih menarik dan bermakna daripada kisah tentang orang baik di tempat yang baik-baik saja.
Begitu juga pada kisah “Puteri Nilamsari” yang tokohnya anak-anak. Sayang sekali anak-anak tidak diperlakukan sebagai penyelesai masalah. Anak-anak hanya alat untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya nilai kejujuran dan mitos tokoh gaib sebagai penyelesai masalah. Pendidikan karakter apa yang dibawa oleh Puteri Nilamsari ke hadapan Tuhalus dan Galuh, dua kakak beradik yang memergokinya saat ia memasak? Puteri Nilamsari mengajarkan karakter jual beli. Ia berbuat baik kepada keluarga Tuhalus dan Galuh sebagai balas jasa dari kebaikan kedua orang tuanya yang secara tak sengaja melepaskannya dari kutukan.
Silakan lanjutkan pembacaan pada kisah-kisah yang lain dalam buku ini dan bertanyalah di hadapan teks-teks itu, untuk anak-anak usia berapa cerita itu bisa disajikan? Dalam konteks menyiapkan generasi emas yang produktif, inovatif, percaya diri, komunikatif dan kritis, masih cocokkah kisah-kisah yang berbasis mitos dari langit atau dari dalam air?
Harapan ini bersandar pada keinginaan ideal tentang apa saja yang harus dihindari oleh sastra anak. Namun, di tengah anak-anak sekarang yang suka dengan film-film hantu, gandrung lagu dangdut “buka sedikit jos”, dan semacamnya, harapan ideal seperti ini apa masih ada gunanya didengar oleh para kreator sastra anak?
Dalam buku ini, cerita karya M. Hasbi Salim dapat dijadikan teladan oleh penulis sejawat dalam hal merangkai cerita, memilih kata dan tema. Sungguh, menulis cerita anak memang tak mudah. Penulis bukan hanya perlu tahu psikologi anak tetapi juga bahasa anak, dan genre sastra anak. Tanpa itu, penulis bisa kehilangan orientasi dan karyanya akan penuh dengan distorsi nilai.
Loktara, 14/11/2013