Sastra Generasi Milenial

Sastra Generasi Milenial

ebook_reader_benefits_for_students

Peringatan 50 tahun majalah sastra Horison di Taman Ismail Marzuki pada 26 Juli 2016 sekaligus menandai keputusan majalah ini untuk berhenti terbit cetak dan beralih ke media daring. Saat itu Emha Ainun Nadjib didaulat menyampaikan orasi budaya. Dalam orasinya ia mengatakan bahwa hijrahnya majalah sastra tersebut merupakan langkah tepat karena akan fokus pada generasi milenial yang dekat dengan teknologi informasi dan menjadi pelaku utama kegiatan online (daring). Generasi milenial mendominasi perilaku kebudayaan di Indonesia. Mereka juga memiliki kecenderungan produktif terhadap sastra, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan kebebasan rohaniah. Demikian antara lain catatan Kantor Berita Antara tentang momentum bersejarah itu.[1] Siapa yang dimaksud dengan generasi milenial? Apa saja karakteristik khas mereka?

Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 jumlah generasi milenial mencapai lebih dari 84 juta jiwa.[2] Dalam catatan Mohamad Burhanuddin (2016), individu milenial bukanlah pribadi yang setia pada hal-hal yang bersifat organisatoris. Afiliasi milenial dengan politik pun cenderung lemah. Mereka lebih tertarik dengan konsep dan ide yang ditawarkan, dibandingkan dengan sekadar jargon-jargon politik. Generasi milenial akrab dengan teknologi, memiliki pandangan ideal terhadap dunia, dan ingin aktif untuk melakukan perubahan di dunia. Mereka sering beranggapan bahwa dunia berputar dengan mereka sebagai porosnya, sehingga mereka sering dianggap sebagai pribadi yang egois, pembangkang dan keras kepala. Mereka berada dalam zaman fantasmagoria (phantasme: produk fantasi atau ilusi, agrorie: mengumpulkan), zaman (yang menurut Yasraf A. Piliang, dalam kolom Burhanuddin) penuh dengan bombardir citraan dan ilusi yang datang dan pergi dalam kecepatan tinggi terhadap ruang kesadaran karena semakin mudahnya akses ke berbagai gerbang informasi di berbagai media, terutama televisi dan internet.

Pada zaman seperti ini fakta-fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi. Reaksi-reaksi emosional, eforistik, dan heroistik begitu cepat mengemuka, tapi dalam waktu singkat lenyap entah kemana. Karakteristik ini juga menonjol dalam dinamika demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir: perhatian dan kesadaran publik begitu cepat muncul dan menghilang. Segalanya tergantikan oleh peristiwa dan kejutan-kejutan lain tanpa pernah mampu diolah, dianalisis, dan diciptakan menjadi pengetahuan baru, apalagi dibangun menjadi gerakan sosial untuk mencipta perubahan. Citraan media mengendalikan ingatan publik hingga begitu cekak. Akibatnya, pengritisan atasnya pun tak memiliki bentuk, kerangka, arah dan tujuan yang jelas. Dia hadir untuk kemudian hilang begitu saja dalam telaga lupa. Yang muncul hanya semacam turbulensi kesadaran, yang menghasilkan pikiran-pikiran yang tak berpola dan diprediksikan arahnya.[3]

Majalah TIME edisi Mei 2013 mengangkat artikel yang ditulis oleh  sosialis Joel Stein “The Me Me Me Generation – Why They’ll Save Us All”. Artikel sepanjang enam halaman itu berisi banyak fakta yang menjelaskan mengapa orang muda yang lahir antara tahun 1980 hingga 2000 bisa menjadi masalah sekaligus “dinamika baru” bagi perkembangan dunia. Golongan generasi inilah yang disebut sebagai generasi milenial dengan karakter dominan: malas, narsistis dan penuh gengsi, dan cenderung tidak mandiri.[4] Semacam generasi kura-kura dalam folklor nusantara.

Setelah membaca artikel ini, Fandi Sido menyimpulkan bahwa Indonesia punya semua karakter generasi milenial. Menurut Fandi, Stein menggarisbawahi kesimpulan bahwa dengan segala macam sifat kecintaan berlebihan terhadap diri sendiri, abai terhadap informasi-informasi signifikan dan terlalu banyak mengumbar hal-hal yang tidak relevan di internet, generasi milenial akan menjadi penanda baru dalam sejarah peradaban. “Generasi milenial tidak mencoba mengambil alih perbaikan dan pengembangan kehidupan, mereka bertumbuh sendiri tanpa perkembangan itu,” tulis Stein.[5]

Selengkapnya unduh di sini: sastra-generasi-milenial-makalah-tifa-3

Jika Anda guru Bahasa Indonesia di SMP/MTs atau SMA/MA/SMK di Kalimantan Selatan ingin mengikuti survey ini bisa klik tautan ini: Survey Pembelajaran Bahasa dan Sastra.

Referensi

[1]Calvin Basuki (2016) “Majalah Sastra Horison berhenti terbitkan versi cetak” dalam http://www.antaranews.com/berita/575181/majalah-sastra-horison-berhenti-terbitkan-versi-cetak (akses 3/10/2016)

[2]Jati Satrio,  “Afiliasi Millennial Indonesia dengan Partai Politik” dalam http://www.qureta.com/post/afiliasi-millennial-indonesia-dengan-partai-politik (akses: 3/10/2016)

[3]Mohamad Burhanudin (2016) “Revolusi Kaum Milenial dan Musim Semi yang Tak Kunjung Tiba” dalam http://nasional.kompas.com/read/2016/03/21/09153281/Revolusi.Kaum.Milenial.dan.Musim.Semi.yang.Tak.Kunjung.Tiba?page=all (akses: 3/10/2016)

[4]Joel Stein (2013) “Millennials: The Me Me Me Generation” dalam http://time.com/247/millennials-the-me-me-me-generation/ (akses: 5/10/2016)

[5]Fandi Sido (2013) “Generasi “Aku Aku Aku” Indonesia” dalam http://www.kompasiana.com/afsee/generasi-aku-aku-aku-indonesia_55281ec96ea834e8388b4586 (akses: 5/10/2016)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *