Lomba Folklor Kalsel 2013

Lomba Folklor Kalsel 2013

Lomba menulis legenda, dongeng, atau cerita rakyat yang ada di Kalimantan Selatan (Kalsel), yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Provinsi Kalsel, sudah dibuka sejak 20 Juli 2013 dan akan ditutup pada 14 Oktober 2013. Juara pertama akan diganjar dengan hadiah uang tunai Rp 9 juta. Lomba yang cukup menggiurkan dari segi hadiah. Namun sayang, tampaknya publikasi tentang lomba ini sangat pelit. Kabar itu saya peroleh melalui kawan-kawan dijejaring sosial.

Hadiah sefantastis itu mungkin dianggap setimpal dengan kesulitan yang akan dihadapi peserta untuk menulis cerita dalam bahasa Indonesia, 6-10 halaman kertas A4. Syarat paling beratnya yaitu, karya peserta tidak boleh berupa terjemahan, saduran, atau plagiat. Kesulitan serupa mungkin pula akan menghadang dewan juri.

Di sinilah letak persoalan lomba ini. Kita tahu bahwa legenda dalam kenyataannya merupakan cerita lisan yang memiliki muatan sejarah dan dianggap benar oleh kelompok masyarakat yang mempercayainya dalam bahasa lokal. Misalnya legenda Tangkuban Perahu di Jawa Barat, Malin Kundang di Sumatera Barat, dan Radin Pengantin di Kalsel.

Kisah itu biasanya diceritakan oleh masyarakat pendukungnya. Legenda yang kita baca dalam buku-buku tentu sudah merupakan saduran penulisnya dari kenyataannya sebagai cerita lisan. Dengan kata lain, tulisan itu menerjemahkan legenda lisan yang mungkin sebelumnya dalam bahasa Banjar atau bahasa daerah lain di Nusantara ke dalam bahasa Indonesia.

Cerita rakyat yang kita baca bukan lagi sepenuhnya cerita rakyat dalam kondisi yang sesungguhnya. Ia telah diterjemahkan, disadur, bahkan ditafsirkan oleh selera estetika penulisnya. Cerita rakyat dalam bentuk-bentuk yang telah dibukukan adalah karya saduran. Jadi, apa kira-kira kriteria atau dasar pemikiran yang menjadi dasar dewan juri untuk menilai karya tulis yang akan ada di depannya bukan karya saduran atau terjemahan?

Jika bukan, berarti peserta benar-benar menulis sebuah cerita baru yang tak punya kebenaran sejarah atau tanpa masyarakat pendukung. Oleh karena itu, karya demikian bukan lagi legenda atau cerita rakyat, tetapi cerita rekaan biasa.

Jika ada peserta menulis cerita Radin Pengantin dari sudut pandang Radin Pengantin sebagai si terkutuk dan berimplikasi pada terciptanya alur dan implikasi makna yang lain dari kisah Raden Pengantin yang telah ada, apakah cerita seperti ini tergolong cerita plagiat, terjemahan, atau saduran? Dengan kata lain, bukankah Malin Kundang bisa dikategorikan sebagai saduran dari Radin Pengantin atau sebaliknya jika kita berpegang pada definisi istilah saduran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa saduran antara lain berarti: gubahan bebas dari cerita lain tanpa merusak garis besar cerita.

Legenda yang paling terkenal di Banua yaitu legenda Pangeran Samudera. Namanya diabadikan menjadi nama jalan. Kita tahu ada bermacam-macam versi tentang siapa dan bagaimana Pangeran Samudera itu. Misalnya versi yang Jawa sentris dan Melayu sentris berbeda dalam cara menceritakannya. Perbedaan itu bukan hanya membangun persamaan makna tetapi sekaligus mempertegas perbedaan. Bukankah hal semacam ini juga bentuk penerjemahan atau penyaduran legenda untuk kepentingan yang berbeda?

Karena cerita rakyat, dongeng, dan legenda itu anonim, bagaimana mungkin konsep plagiat bisa diterapkan terhadap karya yang misalnya mengembangkan cerita rakyat yang sudah ditulis oleh penulis cerita rakyat sebelumnya? Misalnya, ketika saya menulis cerita pendek “Patih Lambu Mangkurat” berdasarkan naskah JJ Ras, dan memberikan sedikit interpretasi baru terhadap cerita tersebut, apakah saya telah melakukan plagiasi?

Apakah lomba ini bisa terhindar dari implikasi menjerumuskan peserta menjadi plagiat cerita lisan anonim karena tulisan mereka diklaim sebagai karya mereka sendiri? Padahal, kisah itu ditulis berdasarkan cerita yang pernah ada di tengah masyarakat.

Bukankah lebih baik mengadakan lomba menuliskan kembali legenda, dongeng, atau cerita rakyat dalam sentuhan estetika bahasa yang lebih segar, sesuai dengan zaman? Namun, ahli folklore Amerika, Richard Dorson, dalam bukunya Folklore and Fakelore, pasti tidak sejalan dengan tawaran di atas. Baginya, pengaruh tulisan terhadap cerita dalam tradisi lisan merupakan semacam kontaminasi atau pencemaran. Bagi Dorson ciri tulen folklor ialah pada transmisi lisannya. Oleh karena itu, cerita rakyat yang telah ditulis, baginya, bukan lagi folklore tetapi fakelore atau sastra palsu (lihat dalam Sweeney, 2011: 7).

Dorson memang keterlaluan, tetapi pandangannya dan beberapa pertimbangan di atas perlu menjadi bahan renungan untuk mengatasi jurang-jurang konseptual yang akan menghadang. Selamat berlomba dan merenung.

Loktara, 25/9/2013

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *