Retorika Politik Cagub Banua

Retorika Politik Cagub Banua

“Jangan bawa aroma-aroma gaya politik dari luar Kalsel ke Banua ini. Saya sendiri pemain politik nasional, saya anggota DPR RI, tapi sejak awal saya tak ingin membawa gaya politik Jakarta, gaya politik nasional yang cenderung mencabik-cabik persaudaraan ke Banua ini.” Demikianlah pernyataan Ketua Tim Pemenangan Paslon 1 menanggapi laporan Paslon 2 ke Bawaslu terkait dugaan politik uang. Pernyataan ini memberikan kesan bahwa aroma gaya politik lokal Kalsel atau Banua berbeda dengan politik nasional. Jika politik nasional mencabik-cabik persaudaraan, politik lokal harus menyembuhkan lukanya. Benarkah demikian? Mari kita timbang kembali dengan mendudukkan pernyataan itu dalam perbincangan retorika politik.

Retorika politik dalam kampanye dua pasangan calon gubernur Banua atau Kalimantan Selatan 2020 menarik untuk dicermati. Kedua pasangan Sahbirin – Muhidin (pasangan calon atau Paslon nomor 1) versus Denny Indrayana – Difriadi (pasangan calon atau Paslon nomor 2) berusaha membedakan diri dalam rupa dan kata-kata. Paslon 1 berbusana adat Banjar, pakaian resmi, simbol identitas budaya bubuhan elite. Sebaliknya, Paslon 2 berbusana muslim putih polos, pakaian sehari-hari, simbol identitas bubuhan kebanyakan. Paslon 1 memilih slogan Bergerak Banua Maju! dan Paslon 2 memilih Hijrah Gasan Banua. Makna pilihan kata kerja slogan ini dapat dicerna antara lain dalam debat terbuka kedua pasangan calon. Paslon 1 bergerak dan paslon 2 hijrah.

Pertarungan slogan kali ini tampak lebih maju daripada pertarungan pada musim Pilkada sebelumnya yang selalu memainkan slogan putra daerah versus bukan putra daerah meskipun isu ini terus menyertai dalam media kampanye yang lain. Retorika ini bisa menjadi acuan untuk membaca retorika Paslon walikota atau bupati pada Pemilu musim hujan tahun ini yang masih memainkan slogan putra daerah. Meskipun demikian, kedua Paslon tetap berpijak pada akar budaya mereka. Paslon 1 menegaskan kebanjarannya dengan pakaian adat sedangkan Paslon 2 melawannya dengan simbol orang Banjar yang lain. Keduanya mengabadikan hubungan erat Banjar dan Islam. Artinya, mereka telah berdebat secara simbolik dan implisit saat memilih materi bahan poster dan slogan. Mereka berebut klaim sebagai urang Banua atau orang Banjar asli.

Dalam debat, Paslon 1 memang lebih banyak gerak daripada Paslon 2. Paslon 2 yang dikenal garang saat jadi wakil menteri dulu, tampak kalem dan santun. Inilah yang dimaksud dengan retorika. Keduanya membungkus diri mereka dengan citra-citra untuk membujuk hati calon pemilih. Gaya mereka mengingatkan kita pada gaya debat antara Jokowi versus Prabowo. Gestur Paslon 1 mirip Prabowo, Paslon 2 mirip Jokowi. Dalam soal muatan debat, silakan cek sendiri jejak digitalnya siapa mirip siapa.

Bergerak dan hijrah juga punya konotasi yang berbeda. Cara sederhana memeriksa konotasinya bisa dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di gawai kita. Meskipun sama-sama memiliki arti berpindah dari satu tempat ke tempat lain, hijrah memiliki konotasi historis yang lebih kuat. Jika bergerak bisa dilakukan oleh siapa saja dengan cara yang sangat sederhana, hijrah tidak. Gerak dalam hijrah memerlukan perubahan menyeluruh yang rumit dan perlu waktu lama, paling tidak 10 tahun jika mengacu pada peristiwa hijrah Nabi ke Madinah. Pilihan kata ini menyiratkan itu. Entah ini disadari atau tidak oleh perumus slogan ini.

Pilihan kata hijrah dalam retorika politik Paslon 2 kadang juga dikaitkan dengan diksi jihad politik. Kata ini juga sering menyertai pencalonan Prabowo pada 2014 dan 2019. Paslon 2 juga telah melakukan ritual-ritual simbolik untuk mempertegas garis afiliasi politiknya. Persoalannya, apakah calon pemilih di Banua jeli melihat garis oposisi ini atau malah lebih mudah ditaklukkan dengan serangan fajar?

Sebaliknya, bergerak adalah slogan yang dipopulerkan oleh Sahbirin dalam masa jabatannya. Bahkan ia mengabadikan slogan itu menjadi mars yang ditulisnya sendiri dan dinyanyikan pada setiap acara resmi Pemerintah Provinsi.  Sahbirin mengaku bahwa sumber inspirasi slogan itu adalah amanah Presiden Joko Widodo saat melantiknya. Kepada gubernur yang dilantik bersamanya, presiden meminta semua kepala daerah agar tidak hanya berdiam diri di balik meja. Slogan ini menjadi cara Sahbirin mengingat pesan presiden. Bergerak itu akronim dari berjuang gelorakan rakyat.

Pilihan slogan ini pun tampak menjelaskan hubungan garis oposisi yang jelas sebagai warisan Pemilu Presiden (Pilpres) yang baru saja usai. Dalam konteks ini pernyataan politikus untuk tidak membawa politik nasional ke Kalsel itu bisa dikoreksi. Pertarungan dua calon ini adalah residu Pilpres. Ini seperti pertarungan pendukung Jokowi dan Prabowo di Kalsel jika kita lihat dari pilihan diksi retorikanya. Pernyataan dalam paragraf pembuka tulisan ini hanyalah kata lain dari retorika Jokowi dalam proses pencalonannya agar tidak mencabik persatuan bangsa demi ambisi kekuasaan saat menanggapi militansi pendukung Prabowo yang tampak agresif. Dalam konteks ini pernyataan tersebut terlampau hiperbolik laksana arus deras sungai yang ingin mendamaikan riak ombak di muara. Namun, setelah Prabowo kini dalam pangkuan Jokowi, apakah bara dalam sekam politik nasional di Kalsel masih ada? Entahlah.

Loktara, 8/12/2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *