Awal dan Akhir Dua Cerpen Pratiwi Juliani

Awal dan Akhir Dua Cerpen Pratiwi Juliani

Ada tiga hal yang dicari Pat Richardson, editor fiksi majalah Best, ketika dia membaca kiriman cerita pendek, yaitu jumlah kata, pembuka cerita, dan penutup kisah. Yang dimaksud dengan awal cerita adalah tiga paragraf pertama, akhir cerita adalah tiga paragraf terakhir. Jika keduanya menarik, ia baru membaca bagian tengahnya. Apa yang ia lakukan menunjukkan betapa pentingnya menulis singkat dalam menulis cerpen. Cerpenis harus menghitung kata dengan benar. Majalah Best menetapkan batas maksimal sebanyak 1200 kata sebagian besar biasanya akan dipotong menjadi 1000 kata. Penulis dilarang melebihi dosis yang sudah ditetapkan. Inilah salah satu alasan mengapa cerpenis perlu menarik perhatian pembaca sejak baris pertama dan memberikan hidangan penutup yang memuaskan (Sophie, 2008: 109)

Awal cerpen yang baik bisa dilakukan dengan menyuguhkan tokoh yang eksentrik. Awal seperti ini biasanya menarik rasa ingin tahu pembaca yang sangat besar: mengapa tokoh ini aneh dan apa yang terjadi pada akhirnya? Selain itu, cerpen bisa diawali dengan deskripsi tokoh yang bisa memikat simpati pembaca. Cerpen bisa mengiring simpati pembaca terhadap tokoh seperti ini. Di samping itu, cerpen juga bisa dimulai dengan pertanyaan retoris atau dialog yang menimbulkan rasa ingin tahu pembaca.

Meskipun paragraf pembuka telah diupayakan untuk menjadi faktor wow, bagian tengah cerpen juga sama pentingnya. Anda dapat memiliki awal yang bagus dan akhir yang menakjubkan, tetapi jika bagian cerita gagal, cerpen Anda bisa berakhir dengan penolakan. Bagian tengah itu tempat untuk memastikan daya tarik alur, dan tokoh/penokohan.

Lantas, bagaimana dengan akhir cerpen yang tak terlupakan? Jawabannya  tergantung pada jenis cerita yang kita tulis. Jika kita menuliskan sebuah akhir yang mengejutkan dalam cerita dongeng, kita perlu kejutan akhir yang benar-benar mengejutkan pembaca. Namun, jika kita menulis sebuah cerpen yang menarik perhatian membaca ke dalam hati/emosi, kita perlu meninggalkan pembaca dengan perasaan gembira dengan segala macam perasaan. 

Cerpen, kata Sophie (2008: 114)  harus menarik pembaca dari baris pertama. Cerpen memiliki satu kesempatan untuk menggigit! Agar bisa melakukannya, ia mengajak cerpenis memikirkan sesuatu yang segar dan berbeda. Pilih gagasan dan jungkirkan untuk melihatnya dengan cara lain. Tanyakan pertanyaan, “Bagaimana jika …..”  

Mari kita uji teori ini. Apakah membaca pembuka dan penutup cerpen bisa dijadikan dasar yang cukup kuat untuk mengidentifikasi cerpen yang menarik. Kita akan membaca pembukan dan penutup beberapa cerpen karya Pratiwi Juliani dalam kumpulan cerpen Atraksi Lumba-Lumba dan Kisah-Kisah Lainnya (2018).

Sepulang dari kepergianku beberapa hari ikut Ayah ke kota, aku harus kembali bersekolah. Tak lama setelah aku bangun pagi itu, seorang perempuan muda yang selalu datang sebelum subuh untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian kotor, membantuku menyalakan mesin air dan mengambilkan sikat gigiku.

“Aku tidak mau pasta gigiku, aku mau yang pedas. Sedikit saja.”

“Wah, kau tidak suka? Padahal ini enak.”

“Tidak,” aku membayangkan rasanya yang aneh, seperti kapur dicampur sirup. “Ambil saja untuk Azizah.”

“Anakku pasti akan senang. Terima kasih.”

“Ada wadah sikat gigi berkepala panda jika kau mau.” aku menawarkan, tapi ternyata dia sudah pergi.

(Pratiwi, 2018: 1)

Inilah pembuka cerpen “Menyayangi Bianglala”, cerpen pertama dalam analekta cerpen ini. Bagaimana penutupnya?

“Tentu, Mak, aku akan selalu menyayanginya. Aku menyayanginya, Mak, sangat menyayanginya.”

Aku membayangkan ayahku kini, lelaki tua berwajah Sinterklas yang ketika tadi kutinggalkan, tengah duduk mengaji sambil memangku cucunya, anakku. Setelah ini, aku akan membawanya pulang ke rumahku. Dia harus tinggal denganku pada sisa usianya. Dia tidak boleh sendirian, tentu sulit baginya setelah ditinggalkan perempuan yang sangat dicintainya selama berpuluh-puluh tahun: perempuan yang selalu dia bawakan oleh-oleh kain dan sepatu indah sepulang bepergian, perempuan yang selalu dia ajak pergi berjalan-jalan menghabiskan uang pensiun, perempuan yang membuatnya menerima banyak karangan bunga dan ucapan selamat saat aku menikah dan melahirkan. Perempuan yang membuat kami menjadi ayah dan anak.

Sementara di dalam hatiku, aku mengirimkan setangkai doa untuk lelaki baik yang selalu diingat oleh Mak Atan. Selain berdoa, aku tidak pernah tahu bagaimana caranya agar aku bisa menyayangi dia. Puluhan tahun berlalu sejak kenangan bianglala terakhir kami, ayahku tak pernah kujumpai lagi.

(Pratiwi, 2018: 29)

Begitulah penutupnya. Cerpen ini dibuka dengan percakapan antara seorang anak (Rima) dan perempuan muda tentang sikat gigi dan ditutup dengan suara anak mengenang ayah dan ibunya. Tak ada indikasi kuat bahwa cerpen ini akan menyajikan perjuangan atau keinginan tokoh utamanya terhadap sesuatu. Dengan pembuka yang tidak menyiratkan konflik, pembaca bisa menduga bahwa alur cerpen ini akan episodik, mengalir tenang tanpa goncangan dramatis. Cerpen dengan alur seperti ini biasanya  cenderung mengisahkan banyak tokoh secara sekilas. Meskipun akhir ceritanya menyiratkan bahwa ibunya adalah figur yang sangat kuat dan berpengaruh. Pembuka dan penutup cerita menjadikan perempuan sebagai fokus. Jika Anda tertarik dengan cerita tentang perempuan yang  kuat, Anda akan memeriksa bagian tengah cerpen ini. Apakah akhir cerpen ini memang menyuguhkan cerita itu di bagiannya? Ternyata tidak. Bagian tengah penuh dengan percakapan antara Rima dan banyak tokoh. Fokus cerita jadi kabur.

Coba bandingkan dengan pembukaan dan penutupan cerpen “Atraksi Lumba-Lumba” dari buku yang sama. Dugaan saya, ini salah satu cerpen terbaik dari kumpulan ini sehingga cerpen ini dijadikan judul utama kumpulan cerpennya. Mari kita periksa.

Pertengahan tahun 1998, aku baru saja merayakan ulang tahun yang ketujuh. Di hari Minggu menjelang subuh, aku dibangunkan oleh pengasuhku. Iyan yang berperawakan gemuk dan raut wajahnya seperti perempuan yang selalu mengkhawatirkan sesuatu, sudah memanaskan air, kemudian aku dimandikan. Pada malam-malam di musim kemarau, suhu dingin akan terus memuncak hingga pagi. Ibuku sering menelepon pada pukul delapan malam untuk memastikan bahwa selimutku akan dipasangkan oleh Iyan dengan benar. Setelah dimandikan, Iyan membiarkanku memilih pakaianku sendiri. Kutunjuk baju kesukaanku: kaus putih berkerah kotak dengan pinggiran pita biru, seperti baju Popeye dengan tambahan pita yang juga berwarna biru pada bagian dada. Di luar, ayahku sudah menunggu dengan gaya berpakaian yang selalu dia kenakan: bercelana kanvas, bersepatu boot kulit semata kaki, dan topi koboi, seolah dia akan pergi berburu. Dengan Hardtop merah miliknya, kami berdua akan pergi ke Banjarmasin yang berjarak lima jam perjalanan dari rumah. Kami akan pergi menyaksikan atraksi lumba-lumba.

“Kau siap?”

“Ya,” aku mengangguk cepat berulang-ulang.

(Pratiwi, 2018: 53-54)

Demikianlah cerpen ini dibuka dengan gambaran latar waktu dan suasana hari Minggu tahun 1998 saat tokoh aku berumur tujuh tahun. Pembukaan ini secara dramatik menampilkan kelas sosial tokoh-tokohnya dan sekilas suasana psikologis mereka. Mari kita periksa penutupnya.

Besok adalah hari terakhir cuti kerjaku dan beberapa jam lalu ketika aku melumat senja di atas sebuah kapal kecil di ujung utara Bali, ibuku menggamit tanganku untuk menunjukkan sesuatu. Kami berdua bersama menyaksikan sepasang lumba-lumba berlompatan. Tubuh dua lumba-lumba itu mengkilap, sedang merah matahari yang menghujani gelombang laut mengubah warna mereka menjadi seperti warna tembaga. Mereka berenang berlompatan, sementara langit di atas kami sebentar ag gelap. Indah sekali. Sungguh, indah sekali.

“Satunya lebih kecil” kataku pada Ibu. “Mungkin anaknya. “Ibu dan anak?”

“Ya, seperti Ibu dan kau.”

Aku memeluk ibuku tapi aku juga merasa seakan-akan tubuhku ada dalam pelukan ayahku. Aku teringat semua yang mengikat dan tidak mengikat, kekecewaan dan juga hal yang lebih luas dari sekadar tepuk tangan: jiwa-jiwa yang berbicara dengan gelombang sonar. Aku merasa, hidup seperti itu tentu jauh lebih baik bagi siapa saja.

(Pratiwi, 2018: 81-82)

Jika kita hubungkan pembuka dan penutup, cerpen ini tampak memberikan isyarat cerita yang lebih menarik. Di pembuka ada kehadiran ayah (tanpa kehadiran ibu) tapi di penutup ada kehadiran ibu (tanpa kehadiran ayah). Untuk memastikan bagaimana persoalan yang dihadapi aku, periksalah bagian tengah cerita. Meskipun pembuka dan penutup tampak menjanjikan cerita yang menarik, pemeriksaan bagian tengahlah yang menentukan karena pada bagian tersebut kita akan menemukan unsur-unsur pembangun cerpen yang lain.

Daftar Rujukan

  • Juliani, Pratiwi. 2018. Atraksi Lumba-Lumba dan Kisah-Kisah Lainnya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • King, Sophie. 2008. How to Write Short Stories for Magazines, and Get Published. Oxford: How to Content. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *