Komunikasi Politik Cagub Kalsel 2020

Komunikasi Politik Cagub Kalsel 2020

Persaingan sengit Sahbirin versus Muhidin lima tahun silam sempat membuat banyak orang yakin bahwa kalau kedua orang sugih ini disatukan akan sulit dikalahkan. Penyatuan mereka dibayangkan perpaduan Messi dan Ronaldo yang akan berpesta pora gol di lapangan Pilkada serentak tahun ini. Para analis politik jalanan pun geleng-geleng kepala. Sebagian mereka rela menjilat sendiri pandangan-pandangan politik yang dulu pernah dilemparkan ke petahana. Melihat kenyataan melalui hitung cepat pada senja 9 Desember yang basah, ada yang bertanya, mengapa kenyataan pahit ini bisa terjadi?

Mari kita kaji dengan mengingat kembali teori basis dan suprastruktur dalam teori Marxis vulgar. Dalam teori ini, politik berada dalam ranah suprastruktur yang ditentukan oleh basis ekonomi. Dengan kata lain, siapa yang menguasai uang atau alat produksi lainnya, ia akan mengusai politik. Pandangan ini juga disebut materialisme historis. Penguasa materi akan menguasai sejarah. Dalam kasus Pilgub Banua tahun ini, keyakinan diragukan karena tampaknya para pemilih mulai menyadari arti memilih sebagai perwujudan keyakinan dan harga diri. Sekali-kali orang sugih harus disadarkan bahwa ini bukan berapa banyak calon punya duit tapi bagaimana duit itu dipakai karena duit tak bisa bekerja sendiri.

Perasaan terlena karena merasa kelebihan duit ini bisa menurunkan kinerja mesin politik. Seperti kekenyangan yang membuat gerak jadi lamban. Mereka mungkin mengira limpahan uang yang dimiliki petahana akan bekerja secara otomatis. Ternyata tidak. Sebaliknya, dari sudut pandang lawan, uang jadi pemicu semangat untuk berjuang lebih keras dan cerdas. Bahkan ada yang merespons kejadian ini mungkin akibat serangan fajar yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Respons ini cuma candaan yang tak perlu ditanggapi.

Perbedaan kerja keras dan cerdas kedua pasangan calon antara lain dapat kita lihat dari cara komunikasi politik kedua calon di akun instagram mereka. Beberapa simpatisan petahana menyayangkan materi kampanye penantang yang bersifat menyerang petahana dan mempertanyakan efektivitas untuk mendapatkan simpati calon pemilih. Untuk memastikan efektivitasnya tentu perlu penelitian khusus. Namun, apa yang dilakukan penantang hanya mengatakan kembali aspirasi calon pemilih antipetahana yang ekpresinya berseliweran di media sosial. Simpatisan petahana yang meragukan efektivitas cara komunikasi politik yang menyerang itu adalah salah satu bentuk dari dampak kebenaran dalam lingkaran keyakinan politik terbatas yang dibangunnya sendiri. Ketika petahana sibuk meretorikakan keberhasilan, penantang dengan sengit meragukannya dengan isu-isu save Meratus, korupsi pertambangan, politik uang dan berbagai data amburadulnya beberapa aspek pembangunan di Kalsel. Meskipun penantang sekilas tampak tak menawarkan solusi, serangan komunikasi seperti ini sangat efektif jika tidak mendapatkan wacana tanding yang tepat. Tampaknya tim sukses petahana juga tak berniat mengubah citra petahana dari citranya lima tahun lalu. Mereka lupa bahwa ia menghadapi lawan yang berbeda.

Kenyataan ini membuka mata kita bahwa api cinta orang Banua kepada figur Prabowo dan Jokowi dengan baik ditampilkan oleh Paslon penantang. Dari segi bahasa tubuh, Sahbirin memang sangat dekat dengan citra Prabowo tetapi ia tak mampu untuk mencapai verbalismenya. Di situlah Denny berada. Sebagai orang Banua, Denny tak perlu diajari lagi cara merayu pendukung paling jitu secara kultural.  Tampaknya ia punya cara rayuan maut yang tak semuanya ia tampilkan di media sosialnya.

Cek saja instagram kedua kontestan ini, terutama pada tema kontestan menjawab pertanyaan masyarakat. Petahana menggunakan strategi tulisan, penantang menggunakan strategi lisan. Jelas di Banua, lisan lebih efektif daripada tulisan. Entah karena penantang kurang modal untuk pasang baliho yang banyak dan besar-besar atau dia sudah tahu bahwa  kelisanan digital lebih efektif. Cara petahana menggunakan agen-agen kelisanan populer juga berbeda. Misal, petahana menggunakan madihin dari Kabupaten Banjar, penantang menggunakan tokoh madihin dari Banjarmasin. Cara produksi kelisanannya pun berbeda. Penantang menggunakan agen kelisanan secara variatif dan berkelanjutan. Cara produksi yang kedua ini merawat denyut komunikasi politik antara penantang dengan calon pemilih dalam lingkaran audiens di semua jejaring media sosial sang agen itu.

Pada detik terakhir menjelang coblosan, saya mendapatkan video pendek penantang yang bicara dalam bahasa Inggris yang fasih dan aksi joget petahana. Tak ada keterangan apa-apa di video itu tetapi secara tak langsung si pembuatnya entah siapa seperti ingin bertanya, pilih yang jago joget atau jago bahasa Inggris. Entah ada video apa lagi selain ini yang dibagi melalui grup-grup WA. Video seperti ini bagian dari kelisanan digital yang murah meriah dan lebih efektif daripada kata-kata baliho.

Selain itu, petahana tampak kurang menyiapkan diri dalam menghadapi seluruh rangkaian debat terbuka yang difasilitasi oleh KPU. Wajar jika ada yang bilang bahwa tim sukses petahana tidak maksimal memoles keterampilan debat mereka. Mereka tampak dibiarkan polos. Lupa bahwa kampanye adalah medan perang pencitraan. Mereka lupa kemenangan citra dalam debat bisa direproduksi dalam format lain dan disebarkan lewat WA.

Strategi komunikasi petahana yang lebih dominasi oleh Tim Pemenangan bisa juga jadi penyebab. Berbeda dengan penantang yang lebih dominan menampilkan Denny daripada Ketua Tim Pemenangnya. Perbedaan ini pun jadi sumber pemaknaan terkait dengan kualitas kandidat.

Apakah semua asumsi di atas absah? Para peneliti komunikasi politiklah yang bisa memastikan kebenarannya.

Loktara, 13/12/2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *