Belajar di Rumah yang Belum Ramah

Belajar di Rumah yang Belum Ramah

Karena pandemi Covid-19, sebagian besar sekolah di Kalimantan Selatan melaksanakan pembelajaran dari rumah dengan sangat terpaksa sejak awal tahun ajaran baru tahun ini meskipun sebenarnya mereka belum siap baik dari segi sumber daya manusia maupun daya dukung perangkat keras serta infrastruktur jaringan. 

Akibatnya, pembelajaran  dalam jaringan (daring) dirasakan tidak nyaman dan melelahkan oleh peserta didik. Kenyataan ini tampak pada hasil jajak pengalaman pembelajaran daring yang dialami oleh 627 responden, yakni peserta didik kelas VII (22 %), kelas VIII (50.4%), dan kelas IX (27.1%) dari beberapa SMP yang dipilih secara acak di Banjarmasin, Banjar, Banjarbaru, Hulu Sungai Utara, Tapin dan Tabalong dari tanggal 8 sampai 13 Agustus 2020. 

Sebanyak 65.2% responden mengatakan bahwa belajar pembelajaran daring itu tidak nyaman. Meskipun 31.7% responden setuju bahwa belajar di sekolah dan belajar daring sama-sama melelahkan, 50.9% menyatakan belajar daring lebih capek.

Alasan mereka beragam, antara lain: belajar tidak fokus, boros kuota data, gangguan jaringan, sulit memahami penjelasan guru, pakai hape, interaksi tidak cepat ditanggapi, tidak seru, terlalu banyak tugas tapi sedikit penjelasan dan tak bisa berinteraksi dengan teman. Meskipun demikian, siswa yang merasa nyaman beralasan bahwa belajar dari rumah itu mudah, sederhana, dan terhindar dari Covid-19. 

Mengapa belajar di rumah sulit untuk memusatkan perhatian? Salah seorang responden mengatakan bahwa gangguan seringkali datang dari dalam keluarga. Ada keluarga yang menganggap anaknya di rumah sedang liburan dan karena itu ia diminta untuk membantu pekerjaan orang tuanya. Fokus belajarnya menjadi taruhan.

Bagaimana dengan gangguan jaringan? Gangguan jaringan dapat bersumber dari kuota yang tiba-tiba habis atau karena memang tempat tinggal siswa berada di wilayah lemah sinyal. Bisa juga karena perangkat yang digunakan siswa kurang mampu menangkap sinyal dengan baik. Apakah semua kemungkinan sebab tersebut telah diidentifikasi sebelum pembelajaran daring yang sebagian besar melibatkan penggunaan smartphone dilakukan?

Sebagian besar responden menyatakan bahwa penggunaan smartphone (89%) juga menjadi sumber ketidaknyamanan dalam pembelajaran daring. Selain layarnya sangat kecil, radiasi sinarnya sangat tajam. Apalagi sebagian besar materi yang diberikan guru kepada siswa dalam format teks pdf atau dokumen (63,2%) dan yang menggunakan power point hanya 8.1%. Padahal untuk mengurangi ketidaknyamanan ini, guru bisa sedikit berusaha membuat bahan ajar yang nyaman dilihat di layar telepon pintar tapi tak boros kuota. Saya kira, power point yang menarik bisa menjadi pilihan yang tepat. 

Selain itu, format materi kedua yang paling banyak dibagikan oleh guru yaitu  video. Akses terhadap materi dalam format ini bukan hanya memerlukan sambungan internet yang bagus tetapi juga kuota data yang banyak. Potensi gangguan jaringan dan pemborosan pulsa sangat besar. Meskipun demikian, responden yang menyukai materi dalam bentuk teks dan video hampir sama banyaknya dan lebih dominan dibanding format yang lain. Karena yang pertama lebih hemat, penyajiannya perlu mempertimbangkan perangkat baca yang digunakan siswa supaya kenyamanan bacanya terjaga.

Bagi responden, dua mata pelajaran yang paling tidak nyaman jika dilakukan secara daring adalah Matematika (53,1%) dan Bahasa Inggris (27,4%). Fakta ini adalah tantangan bagi para guru kedua mata pelajaran tersebut untuk berinovasi demi tercapainya target kenyamanan belajar. Fakta ini menunjukkan bahwa teknologi tinggi tidak menjamin pencapaian hasil pembelajaran yang tinggi. Meskipun demikian, fakta ini layak untuk diuji kembali karena angket yang digunakan dibagi melalui guru Bahasa Indonesia sehingga mata pelajaran ini dianggap sebagai mata pelajaran yang paling nyaman dilakukan secara daring (44,2%). Peringkat keduanya adalah pelajaran Agama dan Budi Pekerti (41,1%). Padahal, sebagian besar guru sama-sama mengandalkan dua aplikasi, yaitu Whatsapp (60,6%) dan Google Classroom (83,9%). Penggunaan Zoom hanya 1,8%.

Hasil angket ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa pembelajaran lebih banyak dalam bentuk penugasan tetapi minim penjelasan yang seringkali berujung pada ketidakpahaman peserta didik. Selain itu, pembelajaran daring yang dialami responden tampaknya belum melaksanakan belajar kelompok secara daring yang prosesnya dapat dipantau langsung oleh guru. Misalnya, menulis cerita pendek atau puisi secara berkelompok dengan menggunakan google dokumen sebagai kertas kerja bersama secara daring. Dengan cara ini, keseruan dan pertemuan daring para peserta didik dapat diatasi.

Rasa nyaman dan tidak nyaman yang dirasakan siswa tentu juga dirasakan oleh orang tua dan guru mereka. Pilihan untuk kembali ke sekolah demi mendapatkan rasa belajar yang nyaman tampaknya sangat diperlukan oleh sebagian besar siswa. Namun, dalam situasi dan kondisi misterius seperti ini, mungkin ada baiknya sekolah mengadakan jajak pendapat yang melibatkan guru, siswa, dan orang tua, terkait dengan keinginan siswa untuk mendapatkan rasa belajar yang nyaman. Jajak pengalaman diperlukan untuk memastikan berapa peserta didik yang siap belajar di sekolah dan berapa yang memilih untuk tetap belajar di atau dari rumah. Proses tatap muka di sekolah bisa direkam agar yang belajar di rumah masih bisa mengikutinya. Pilihan baik ini tetap merepotkan sekolah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *