Pelajaran dari Banjir Kalsel
Kedahsyatan banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel) bisa dibaca Kompas, Tirto.id, Jawa Pos, Media Indonesia, TV One dan di linimasa facebook, twitter, youtube, dan instagram pada 11-18 Januari 2021.
Setelah membaca berbagai respons masyarakat terhadap banjir yang terjadi di Kalsel di linimasa media sosial, saya jadi sadar bahwa kenyataan banjir itu tidak tunggal. Ada yang melihat sebagai realitas politik sehingga presiden dan gubernur serta kepala daerah dianggap pihak yang paling berdosa. Ada yang melihatnya sebagai cobaan Tuhan yang Maha Penyiksa sehingga cukup berharap dengan doa. Gubernur Kalsel Sahbirin Noor melihat banjir ini antara lain akibat cuaca ekstrem yang jadi tanggung jawab bersama, bukan hanya dalam penanggulangannya tetapi juga penyebabnya. Saya sendiri mendapatkan banyak pelajaran dari musibah ini meskipun saya tidak termasuk yang terdampak.
Pertama, ketabahan orang Banjar yang tidak tercatat oleh lembaga resmi sehingga bisa dijadikan dasar pembangunan infrastruktur yang memberikan jaminan keamanan. Pada Sabtu, 16 Januari 2021, saya ngobrol bersama keluarga pengungsi di kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Banjarbaru. Mereka dari Sungai Rangas, Martapura Barat. Katanya, selama sepuluh tahun mereka biasa dengan calap atau genangan air di bawah lutut, selama sebulan setiap tahun selama hampir sepuluh tahun. Baru kali ini air sampai atap rumah dan merelakan segalanya kecuali nyawa dan keluarga. Ketabahan yang tak terbayangkan. Hasil kerja tahunan lenyap dalam seminggu. Hanya tinggal baju dan hape. Beruntung banyak relawan yang dengan spontan mengulurkan bantuan agar mereka masih punya harapan hidup. Saya tak mampu mendalami ketabahan atas kehilangan harta benda seperti ini. Mereka bukan orang kaya raya yang siap dengan jaringan pengaman hidup yang berlapis.
Kedua, masyarakat Banjar sudah sangat terlatih untuk mengulurkan bantuan bagi saudara mereka yang memerlukan pertolongan karena ditimpa ketidakpastian keadaan. Latihan kedermawanan ini bisa jadi merupakan dampak dari ritual haul Guru Sekumpul. Kerelaan para relawan seperti tak ada kaitannya dengan adanya instruksi presiden ataupun pernyataan gubernur. Jika memang keduanya punya kuasa atas banjir ini, sebaiknya mereka ambil peran yang lain, peran kebijakan reklamasi pertambangan atau penghentian eksploitasi tambang secara total atau membangun infrastruktur jalan air yang revolusioner, atau memimpin koordinasi terpadu penanggulangan bencana. Jalan tol banjir sama pentingnya dengan pembangunan jalan tol Banjarbaru-Batulicin.
Ketiga, karena penyebab genangan beragam, proyek pembenahan drainase harus menjadi prioritas. Misal, untuk beberapa kasus di Martapura dan Banjarbaru, genangan timbul karena ukuran saluran drainase yang kecil. Drainase yang aman mungkin ukuran tinggi dan lebarnya harus seukuran tubuh manusia dewasa, bukan seukuran kambing. Namun, dalam kasus Barabai, membangun jalan baru bagi air atau daerah aliran sungai (DAS) sama pentingnya dengan membangun bendungan irigasi atau jalan darat baru. Barabai memerlukan infrastruktur jalan lingkar air yang baru agar air dari hulu tidak masuk kota. Sedangkan dalam kasus Martapura, relokasi pemukiman di bantaran sungai perlu diupayakan secara bertahap oleh siapa pun yang menjadi bupati dan gubernur. Masyarakat juga harus menyadari potensi risiko tinggi tinggal di tepi sungai. Memang ini sangat karena menyangkut budaya. Hubungan mereka dan air seperti hubungan ikan tawar dengan sungai atau seperti orang Bajo dan laut. Demi keselamatan jangka panjang, pindah lokasi ke tempat lebih aman perlu dibantu oleh pemerintah.
Keempat, kesadaran ekologis harus masuk ke dalam kurikulum sekolah. Menyiapkan manusia yang menyadari hakikat tempat hidupnya harus menjadi landasan pendidikan yang utama agar saat mereka dewasa dan berkuasa tidak menjebak diri menempati lokasi tempat tinggal di jalur air bah. Menyaksikan kesedihan pengungsi melihat rumahnya dari dataran yang lebih tinggi yang dibagi dalam grup WA mestinya menyadarkannya untuk tidak kembali ke tempat itu. Memang tidak mudah tetapi tak ada jaminan air sebesar ini tak akan berulang lagi. Banjir besar tahun ini adalah seruan alam bagi mereka untuk memikirkan status tempat tinggal mereka saat ini. Dimana mereka sebaiknya tinggal, itulah tugas pemimpin daerah. Oleh karena itu, mata kuliah Kritik Sastra yang saya ampu pada semester genap 2021 akan mendapatkan porsi yang lebih.
Kelima, hentikan penggundulan hutan dan perbanyak kegiatan menanam pohon terutama di kawasan pertambangan. Mari buka lagi bacaan-bacaan tentang fungsi hutan yang sehat. Membaca kesehatan lingkungan hidup wajib bagi semua warga Kalsel agar tidak abai dengan perusakan hutan sekecil apapun.
Keenam, karena penanganan banjir pada akhirnya harus menjadi tanggung jawab bersama, pencegahannya pun harus jadi tanggung jawab bersama. Perguruan tinggi setelah ini harus ikut ambil posisi menolak dana CSR dari perusahaan yang merusak lingkungan hidup Kalsel. Bukan hanya perguruan tinggi, semua aparatur yang bekerja di lingkungan pendidikan harus menarik diri dari bisnis merusak lingkungan hidup. Ironis jika perguruan tinggi tetap menerima CSR perusahaan tambang tetapi saat banjir melakukan penggalangan donasi. Mengapa tak dikembalikan saja dana CSR yang masuk ke kampus untuk membantu para pihak terdampak?
Ketujuh, bencana adalah ujian terberat kepemimpinan. Banjir Kalsel 2021 bukan hanya menenggelamkan rumah tetapi juga citra presiden dan gubernur. Ketepatan ucapan dan tindakan dalam situasi krisis menjadi jaminan kepercayaan rakyat. Mengembalikan kepercayaan rakyat perlu waktu. Kekuasaan tanpa kepercayaan rakyat apa gunanya?
Kesungguhan semua pihak untuk belajar dari musibah ini menjadi syarat utama Kalsel aman dan sejahtera.
Loktara, 17 Januari 2021