Lamut di Panggung Damarwulan

Lamut di Panggung Damarwulan

 

damarwulan-2016-08-11Setelah menyaksikan langsung pertunjukan kelompok kesenian Damarwulan dari Sungai Tabuk pimpinan Pak Gusti Jailani Arief di Aula Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Banjar (12/8/2015), saya jadi mengerti bahwa Damarwulan di sini adalah nama bentuk seni pertunjukan yang bukan hanya dapat memanggungkan cerita Damarwulan yang umum dikenal di panggung ludruk atau ketoprak di Jawa, tetapi juga bisa memanggungkan cerita lain. Kesimpulan sementara ini mungkin salah karena hanya berdasar pada beberapa pengetahuan tidak langsung dan parsial.

Jika kita menjelajahi Youtube, mencari kesenian ini dengan mengetikkan kata kunci: Damarwulan Banjar, kita akan menemukan dua video yang diunggah oleh Yudi Kuin dan mungkin langsung mendapatkan kesan dan simpulan sementara tentang apa yang dimaksud dengan Damarwulan di Banjar.

Dalam salah satu potongan video tersebut yang berdurasi sekitar 6 menit, kesenian ini tampak seperti perpaduan seni musik dan tari, bukan teater.  Dalam dua potongan video tersebut, para pemusik, penyanyi, dan penari menggunakan kostum Melayu. Mungkin penggagas panggung ini beranggapan bahwa Damarwulan adalah seni musik karena Pak Anang Ardiansyah pernah menyanyikan dan menciptakan lagu berjudul “Damarwulan” tanpa satu katapun merujuk pada cerita legenda dari era Majapahit. Dalam lagu ciptaan Pak Anang, Damarwulan tampak sebagai pelantunan pantun.

Di Jawa dan Madura Teks Damar Wulan berbentuk tembang yang terdiri dari tembang Mijil ﴾3 Pupuh﴿, Durma ﴾7 Pupuh﴿, Pangkur, ﴾9 Pupuh﴿, Dhangdhanggula ﴾4 Pupuh﴿, Sinom ﴾8 Pupuh﴿, Kinanthi ﴾1 Pupuh﴿, dan Asmaradana ﴾4 Pupuh﴿. Penulis teks Damar Wulan merespon dan mengkreasikan konteks sosial seputar peristiwa penting dalam sejarah Majapahit, kemudian penulis juga memberikan pandangan atau sikap sosialkulturalnya terhadap fenomena yang diresponnya ke dalam teks Damar Wulan. Misalnya, pemberontakan Ranggalawe, Perang Sadeng dan perang Paregreg. Narasi teks tersebut mengikuti pakem Majapahit, meskipun beberapa di antaranya ditemukan ketidaksamaan. Dalam narasi pakem Majapahit, disebutkan bahwa akhirnya tokoh Damarwulan menikah dengan Ratu Kencana Wungu dan menjadi Raja Majapahit. Sementara dalam teks tersebut diceritakan bahwa tokoh Damarwulan kembali pulang untuk berkumpul dengan istri yang sangat dicintainya, yaitu Anjasmara. Secara garis besar teks Damar Wulan menceritakan konflik antara Adipati Belambangan ﴾Menakjinggo﴿ dengan Ratu Majapahit ﴾Kencana Wungu﴿. (Baca tesis Siswanto “Damar Wulan,Suntingan Teks dan Terjemahan, Sosiologi Sastra, Peristiwa Sejarah”, UGM, 2012). Teks tembang inilah yang dikreasi menjadi seni pertunjukan “Damarwulan” di panggung ketoprak dan ludruk.

Namun, Damarwulan di Banjar terdengar lain, paling tidak jika kita membaca berita tentang pertunjukan Damarwulan kelompok Pak Gusti Jailani Arif yang tampil pada acara  milad Kesultanan Banjar yang ke-511, 1 November 2015. Saat itu kelompok Damarwulan ini tampil di halaman Alun-Alun Ratu Zaleha Martapura, menampilkan cerita petualangan anak raja yang bernama Raden Narasuma. Tapi, pada petunjuk di Aula Disbudparpora pada 11 Agustus 2016, kelompok ini memanggungkan salah satu bagian dari cerita Lamut varian Pak Jamhar.  Pada pertunjukan berdurasi sekitar 45 menit ini cerita Lamut difokuskan pada pertarungan antara Raden Kasan Mandi dan Sultan Aliyudin dari Banua Nusan memperebutkan Junjung Masari. Meskipun Lamut disebut- sebut sebagai tokoh yang Sakti oleh pemain yang lain, dia tampak lucu dan tak berdaya. pertarungan pamungkas diselesaikan dengan mudah oleh Kasan Mandi. Ini berbeda dari pertarungan dalam cerita Lamut varian pak Jamhar yang menempatkan lamut sebagai penakluk Sultan Aliyudin. Setelah pertunjukan usai saya kian penasaran apakah kelompok Damarwulan ini juga pernah menampilkan cerita Damarwulan?

Saya mulai mengenal cerita Damarwulan ketika masih SD pada tahun 1980-an di Madura melalui panggung Ludruk Rukun karya dan Rukun Famili. Selain melalui pertunjukan langsung (Live), sebagian orang Sumenep kadang memutar kaset rekaman cerita Damarwulan yang dimainkan kelompok tersebut dan disiarkan melalui corong pelantang suara sehingga terdengar sampai seantero kampung. Orang kampung saya di Raas, memperoleh cerita Damarwulan tidak melalui buku atau naskah. Bagian yang paling menarik dan ditunggu dari pertunjukan itu adalah aksi para punakawan kerajaan yang berfungsi menyegarkan suasana dengan lontaran lelucon yang menggelitik. Kedua kelompok ini sekarang sudah tiada tetapi rekaman videonya dapat dilihat di Youtube.

Saya merasakan pertunjukan badamarwulan di Banjar ini seperti sebuah monumen hidup bagi pertemuan  tiga kebudayaan: Banjar, Melayu, dan Jawa. Banjar tampak pada penggunaan bahasanya. Melayu tampak pada kostum, dan Jawa tampak pada musik dan beberapa ungkapan kebahasaan. Misalnya, penggunaan sistem sapaan dalam keluarga keraton. Meskipun, kostum secara dominan menunjukkan ciri Melayu, ciri Jawa masih terselip. Lebih dari itu, badamarwulan pimpinan Pak Gusti Jailani ini tampak mengombinasikan tiga genre seni Banjar: balamut, Mamanda, dan wayang. Dengan demikian, badamarwulan menegaskan bahwa Banjar itu suku yang terbuka. Banjar cenderung multikultur daripada monokultur. Pengalaman estetik ini berbeda dari ketika menyaksikan rekaman badamarwulan pada video unggahan Yudi Kuin, yang sangat terorientasi ke Melayu.

Kelompok Damarwulan yang masih ada di kabupaten Banjar ini sekarang juga diambang kepunahan. Kemauan dinas terkait memperkenalkan kesenian ini di hadapan siswa SD dan SMP yang sedang mengikuti Lomba Puisi Islami dan Lomba Pantun merupakan salah satu upaya nyata untuk melestarikannya. Meskipun demikian Disbudparpora Banjar juga perlu mendampingi kelompok ini agar bisa memiliki akta notaris sebagai kelompok kesenian yang layak mendapatkan dana hibah pelestarian kesenian, baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Dengan hibah tersebut, kelompok ini dapat meningkatkan sumber daya pertunjukannya. Misalnya, untuk mengadakan peralatan pelantang suara yang baik sehingga keindahan pertunjukan tidak rusak gara-gara jenis pengeras suara yang tidak menunjang gerak bebas para pemain.

Selain itu, dinas terkait perlu mendokumentasikan setiap pertunjukannya dan mengelola dokumentasi tersebut dengan baik agar dapat diakses publik dengan mudah sebagai sumber ilmu pengetahuan. Sumber ini dapat menjadi deposit kreativitas di masa depan. Seniman lain dapat menjadikannya sebagai sandaran untuk menciptakan karya kreatif dalam bentuk yang berbeda, misalnya komik, film animasi, dan tari. Pengetahuan yang lengkap dapat menjadi sumber kebijakan yang tepat untuk melestarikan semua aset kesenian daerah, termasuk kesenian ini. Salah satu strategi penting penguatan budaya Banjar terletak pada perbaikan sistem dokumentasi.

 Loktara, 12/8/2016

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *