Konfigurasi Identitas “Konstelasi Rindu”

Konfigurasi Identitas “Konstelasi Rindu”

farah-konstelasi-rinduBosan dengan dengan novel serius dan asing atau novel fan fiction dari dunia antah berantah? Coba baca novel remaja karya Farah Hidayati, Konstelasi Rindu (Gramedia, 2013) dari belakang. Ada yang menarik. Farah tak lagi menyertakan informasi tentang tempat dan waktu kela-hirannya seperti pada novel sebe-lumnya, Rumah Tumbuh (Gramedia, 2005).

Pada halaman “Tentang Penulis” Farah hanya disebut pernah meraih penghargaan Adhikarya Ikapi untuk novelnya yang pertama, Rumah Tumbuh,  belajar gitar untuk meng-hayati karakter tokoh Rindu Vanilla dalam novel Konstelasi Rindu, pernah jadi arsitek di konsultan Jakarta dan LSM Perancis di Aceh, lebih banyak menghabiskan waktu menyelami buku-buku, dan novel ini karyanya yang kelima.

Ada banyak kemungkingan dari banyak keinginan mengapa identitas itu ditanggalkan. Lebih tepatnya tidak sepenuhnya ditinggalkan, tetapi disisipkan dalam cerita meski tidak secara transparan. Inilah salah satu bentuk politik identitas: memilih menyebut dan tidak menyebut unsur identitas pasti mempertimbangkan implikasi-implikasinya terhadap beragam aspek.

Halaman belakang itu, halaman “Tentang Penulis” menyinggung adanya hubungan antara Farah sebagai penulis dan Rindu Vanilla sebagai tokoh utama. Siapakah Rindu Vanilla?

Bab 2 novel ini menyiratkan penjelasan bahwa Rindu menghabiskan masa kecilnya di Banjar. Tidak spesifik ia menyebutnya. Banjar dihadirkan melalui kata-kata “palidangan” , “rumah kayu”, “Kalimantan”, dan “tanah berair”. Banjar disisipkan dalam catatan kaki (halaman 17). Banjar dengan tanah rawanya juga disinggung terkait dengan kematian ibunya, Iris Nayla yang koma setahun lebih.

Meskipun Farah dari Banjarmasin dan Rindu Vanilla dalam novel ini disebut dari Kalimantan (bukan Banjar, Banjarmasin, atau Kalimantan Selatan), warna lokal nyaris lenyap kecuali beberapa ilustrasi penting yang merepresentasikan kondisi tanah rawa, kebiasaan anak sungkem, rumah kayu, kebakaran dan sungai.

Farah bahkan menolak untuk merepresentasikan citra perempuan Banjar. Meskipun demikian, tidak mudah baginya untuk sepenuhnya melawan ayahnya atau dominasi kultural dalam dirinya. Karena ia seorang anak, perempuan, dan orang Banjar maka ia tak sepenuhnya memiliki kebebasan. Dalam relasinya dengan kekuasaan sang ayah, ia kalah.

Mengapa Farah tak lagi menyebutkan Banjarmasin di novel ini. Di Rumah Tumbuh masih disebut. Tapi Surabaya, Jogja, Kupang, dan Jakarta disebut. Apakah penanda rumah kayu, sungai cukup untuk mengatakannya di tambah dengan kata Kalimantan dan palidangan? Apakah tak lagi menyebut Banjarmasin itu pertimbangan Farah atau Gramedia?

Jawabnya, dia tidak ‘ngeh’ kalau tidak ada kata Banjarmasin sama sekali di novel ini.  Dia rasa waktu proses editing editornya sadar pada beberapa bagian ia bicara soal Banjarmasin mungkin karena ia orang Banjar. Di draft lamanya ia merasa masih menyebutkan Banjarmasin. Mungkin di tahap editing akhir ia sendiri secara tidak sadar menghilangkan ‘Banjarmasin’.

Menurut Farah karakter Rindu Vanilla mewakili Banjarmasin. Namun dalam hubungan dengan pertemanan lintas suku/ karakter dalam novel ini yang sifat dan karakternya tidak terlalu membanggakan Banjarmasin. Ia bahkan berbohong pada orang tua, dll. “Mungkin pikiran bawah sadar saya ‘menolak’ ia diasosiasikan dengan citra perempuan Banjar. Mungkin…” katanya dalam inboks pesan facebook-nya 14 Februari pukul 7:09).

Citra perempuan Banjar seperti apa yang ingin ‘ditolak’ oleh pikiran bawah sadarnya? Jawabnya, “Sifat-sifat negatif. Sebagaimana kita tahu, citra selalu menonjolkan yang baik-baik, tidak pernah yang buruk/negatif, walaupun tidak ada seorang pun manusia yang sempurna dan baik-baik semua . Sebenarnya saya punya penjelasan lebih panjang lagi soal ‘pilihan tidak sadar’ ini dan  juga ‘pilihan sadar’ yang didorong dari catatan editor.”

Dengan menghadirkan tokoh dari Kalimantan bernama Regi, Meli, Rindu, Iris, Farah membuka kemungkikan dinamika keasalan dan kemungkinan baru dari diri kekinian. Orang Kalimantan (pun Banjar) sebagaimana orang mana pun bisa menjadi apapun. Farah membingkai Kalimantan dalam kurun waktu 2013-an. Dalam kurun ini, kebudayaan anak muda Kalimantan yang diceritakan merupakan bagian kultur urban pada umumnya. Novel ini tak ikut mengelus esensialisme budaya tetapi merayakan relativisme budaya.

Dengan pilihan ini Farah tampak ingin memilih menjadi sastrawan Indonesia dan karenanya berpeluang untuk menjadi bagian pembaca yang lebih banyak dan secara ekonomis lebih menjanjikan. Namun, tetap saja lokalitas yang diangkatnya berpotensi untuk menyempitkan wilayah cakupan pembacanya.

Jika ditilik dari cara Rindu memanggil ayahnya dengan “abah”, ia punya kebiasaan penyebutan seperti dalam sistem kekerabatan orang Banjar. Namun, faktanya banyak pula orang Banjar yang berubah dan tidak menggunakan sebutan itu lagi seperti berubahnya cara orang Banjar menamai anak-anak mereka dengan nama-nama baru, mengacu pada nama-nama bergengsi yang didefinisikan oleh televisi.

Farah tak tertarik menyuguhkan lokalitas dari daerahnya karena memang tidak relevan dengan fokus ceritanya yang ingin menyampaikan pesan kepada pembaca tentang pentingnya optimisme di tengah ujian berat yang dihadapi keluarga. Duka adalah rahasia yang tidak perlu diumumkan ke publik. Dengan pesan seperti ini, novel ini punya nilai lebih sebagai novel remaja.

Sakit ibu Rindu punya andil dalam membangun alur dan tokoh novel setebal 346 halaman ini. Rindu merahasiakan keberadaan ibunya di Rumah Sakit kampusnya, dan ia juga mendustai abahnya yang mengira ia kuliah di Surabaya. Memilih jurusan arsitektur juga didorong oleh keinginan untuk mewujukan satu rumah impian buat ibunya.

Rindu adalah mahasiswa arsitektur di Universitas Mayapada, di Jl. Teknika, Jogja. Di Jogja, jalan tersebut hanya ada di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Mengapa Farah tidak memakai nama almamaternya? Ini juga persoalan identitas dalam politik naratif.

Sulit rasanya bagi orang yang tahu bahwa Farah alumnus UGM untuk tak mengaitkan Universitas Mayapada dengan UGM. Pengaitan oleh pembaca punya dasar yang kuat tetapi Farah juga punya kuda-kuda naratif untuk menangkalnya jika di kemudian hari ada pembaca menafsirkan ceritanya sebagai representasi perilaku manusia di Arsitektur UGM.

Selain itu, seandainya halaman 234 bisa dirobek dan tak mengganggu jalannya cerita, konfigurasi identitas pembacanya mungkin lebih meluas. Peraduan bibir antara Rindu dan Miki juga semacam jendela suasana pergaulan mahasiswa yang bebas di Jogja dan ketakidentikan perempuan muslim dari Kalimantan dengan kekokohan syariahnya. Bandingannya tentu halaman 342. Ciuman Langit di pipi Rindu, di stasiun Tugu, Jogja memberikan sugesti tentang apa yang kelak akan terjadi antara mereka, tentang mana nafsu dan mana cinta.

Lokalitas novel ini adalah dunia yang dikenali dengan baik oleh penulisnya sebagai sarjana arsitektur daripada sebagai mahasiswa yang pernah tinggal di Jogja atau lahir di Kalimantan. Lokalitasnya adalah kampus. Banyak kata indah dari dunia arsitektur yang kadang bisa sulit dicerna oleh umum. Nyaris tak ada kosa kata budaya yang muncul dari lokal Jogja. Ditambah dengan banyaknya campur kode percakapan dengan bahasa Inggris. Tampaknya kredo teenlit memang begini: keinggrisan diksi tampaknya punya nilai lebih.

Novel ini merupakan contoh yang baik tentang bagaimana konfigurasi identitas ruang, waktu, dan tokoh dalam fiksi sebagai tindak diskursif. Pemilihan nama orang Kalimantan dan nama universitas bukan sekadar sebagai pembentuk latar dan tokoh semata, tetapi sebagai strategi naratif untuk membentuk wacana baru tentang identitas.

Oleh karena itu, kajian sastra di perguruan tinggi di zaman smartphone mestinya tak lagi berkutat dengan pencarian apakah tokohnya datar atau bulat, plotnya maju atau mundur, konfliknya fisik atau batin, dan tetek benget intrinsik lainnya. Novel sebaiknya dilihat sebagai tindak diskursif terhadap persoalan aktual di tengah masyarakat tempat fiksi itu ada.

Terutama, jika kita kaitkan dengan pendidikan karakter: karakter positif apa dari tokoh utama yang mungkin bisa menginspirasi pembacanya menjadi lebih baik? Rindu Vanilla dikonfigurasi sebagai tokoh fiksi yang sempurna secara fisik dan karenanya sebagai primadona di kampusnya. Meskipun pembaca bisa mengkonretkan sendiri bagaimana ia, sementara bayangkan saja kecantikan penulisnya.

Kesempurnaan fisik itu tidak serta merta disertai kesempurnaan dalam banyak hal. Ia punya masalah keluarga yang serius: ibunya mengalami koma menahun yang akhirnya tiada. Abahnya dipersepsinya sebagai lelaki yang ingin membuang ibunya. Biaya kuliahnya distop oleh ayahnya tetapi saudaranya, Regi membantu keuangannya. Masalah keluarga itu dijadikan sebagai rahasia hidup yang harus ditutup rapat. Masalah itu membuatnya menjadi pribadi yang mandiri, suka menyendiri dan cenderung egois (hal. 277-276).

Kalimantan baginya masa lalu yang menyakitkan dan Jawa masa kini dan masa depan yang menjanjikan banyak harapan. Rumah ibunya dibakar karena ibunya berkeras hati tak mau pindah dari rumah kayunya yang luas itu. Rumah baru yang banyak memiliki anak tangga yang dibeli ayahnya itulah yang kemudian mencelakakannya (hal. 304). Konfigurasi narasi pada halaman ini secara tak langsung ingin mengingatkan para arsitek kota untuk mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal dalam hal perumahan warga.

Kepedulian terhadap penderitaan ibunya ia temukan di Jogja, di Jawa. Bahkan Mbak Marni yang merawat ibunya turut menyiapkan tanah pemakaman yang ditolak oleh keluarganya. Jenasah Iris Nayla harus dibawa pulang karena bagi Regi, Meli, dan ayahnya, Kalimantan atau Banua adalah rumah mereka. Kematian turut melengkapi konfigurasi identitas mereka.

Novel ini fiksi remaja yang luar biasa. Urusan remaja bukan cuma asmara, tetapi kompleksitas masa lalu, kini dan masa depan. Rindu sebagai tokoh utama tidak sepenuhnya putih sebagai mana ayahnya yang tak sepenuhnya hitam. Novel ini terasa menantang definisi fiksi remaja yang telah kaprah. Saya kira di Indonesia ini novel pertama yang menakjubkan membawa idiom konstruksi menjadi idiom romantis dan liris. Asyik untuk dibaca berkali-kali.

 

Loktara, 11/2/2014

Sebagian besar bagian teks ini  pernah dimuat di Media Kalimantan, 16/2/2014

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *