Relasi Pembingkaian Lima Puisi Micky

Relasi Pembingkaian Lima Puisi Micky

micky
Micky Hidayat

Majalah sastra Horison edisi ke-20, Mei 2006, antara lain memuat tujuh puisi karya Micky Hidayat (hlm. 24-27). Ketujuh puisi itu adalah “Ibu 1”, “Ibu 2”, “Membaca Bahasa Sunyimu”, “Luka Sajak”, “Sajak Intermeso bagi Sapardi Djoko Damono”, “Membaca Sajak Afrizal Malna”, dan “Sajak Intermeso bagi Sutardji Calzoum Bachri”.

Dua puisi pertama tampaknya dipersembahkan kepada ibu, dan yang lain dipersembahkan kepada Isbedy Stiawan Zs (“Membaca Bahasa Sunyimu”), Jamal D. Rahman (“Luka Sajak”), Sapardi Djoko Damono (“Sajak Intermeso bagi Sapardi Djoko Damono”), Afrizal Malna (“Membaca Sajak Afrizal Malna”) dan Sutardji CB (Sajak Intermeso bagi Sutardji Calzoum Bachri). Bagi saya, formasi persembahan sajak semacam itu jadi tanda untuk memaknai dan memahami sajak-sajak pada konteksnya yang mungkin meluas (pada dua puisi untuk ibu) dan menyempit (pada puisi untuk para penyair penting dalam sejarah sastra Indonesia).

Dengan cara demikian sajak-sajak tersebut juga bisa dipahami menghubung-kaitkan dengan sajak lain yang dipersepsinya. Uniknya, saat membaca sajak yang konteksnya meluas, saja Micky seakan sedang bermain catur sendiri, menggerakkan biji catur dari dua arah yang berbeda tetapi sendirian. Biasanya, bermain catur seperti ini memang tak dramatis, tak ada emosi.

Sebaliknya, sajak-sajak yang konteksnya menyempit menyiratkan gelora emosional seorang pecatur yang menemukan lawan main yang imbang. Saat itulah sajak Micky dan sajak lain saling membingkai dirinya, bahkan membingkai sebagian cerita hidup penyairnya.

Setidaknya ada dua sifat pembingkaian yang ada pada lima puisinya, yaitu pembingkaian simetris dan pembingkaian asimetris. Sifat pembingkaian semacam ini diamati juga dalam peristiwa komunikasi dalam masyarakat. Saling pengertian adalah contoh interaksi yang bersifat simetris. Pembingkaian simetris lebih mengedepankan keinginan berbagi rasa dan merasa dirinya bagian dari kelompok yang sama dan setara. Sebaliknya, contoh interaksi asimetris terdapat pada peristiwa pemberian nasihat. Pemberian nasihat membingkai si pemberi nasihat sebagai pihak yang lebih tahu, lebih nalar, lebih punya kendali. Singkatnya lebih unggul. Interaksi asimetris memperkuat rasa berjarak (lihat Tannen, Kamu Memang Nggak Bakalan Ngerti, Qanita Mizan,  2003: 60).

Puisi pun adalah sebentuk komunikasi. Ada yang bersifat monolog (Lihat Luxemberg, Bal, dan Weststeijn, 1989: 74) dan ada pula yang bersifat dialog. Keduanya sama-sama melakukan pembingkaian terhadap sesuatu atau seseorang yang menempatkan diri penyair pada dua kemungkinan posisi yang berbeda: merasa tak berdaya atau merasa berkuasa dan lain sebagainya.

Membaca sajak Micky yang ditujukan kepada sajak-sajak penyair lain juga dapat dibaca sebagai sebentuk komunikasi intertekstual antara dua puisi atau antara dua penyair. Tetapi, di sini saya hanya ingin membacanya sebagai dialog antara beberapa sajak yang saling membingkai.

Mari kita lihat bagaimana sajak “Membaca Bahasa Sunyimu”, membingkai dirinya, atau bagaimana aku lirik dalam sajak ini membingkai dirinya di hadapan aku lirik di sajak lain, dalam hal ini, sajak-sajak Isbedy.

Membaca bahasa sunyimu
Tergambarlah semesta kehidupanmu yang berdebu
dan menghitam bagai arang. Berathun-tahun kau
simpan diri dalam ruang dan waktu. Bertahun-tahun 
kau lebur dalam doa dan zikir khusukmu. Bertahun-tahun
Kau tulis keperihan dalam sajak-sajakmu.

Cuplikan bait pertama dari sajak empat bait ini tergambar jelas bagaimana aku lirik bersimpati kepada kau lirik. Pengetahuannya mengenai keperihan kau lirik menempatkan aku lirik sebagai diri yang superior dan kau lirik berada dalam bingkai inferior penafsirannya. Namun tampaknya aku lirik tak bisa terus demikian. Maka pada bait selajutnya aku lirik menginferiorkan diri habis-habisan. Seperti dengan sangat kuat terbaca dalam baitnya yang terakhir.

Membaca bahasa sunyimu
Aku nyaris melupakan bahasaku sendiri
Berabad-abad hilang dalam kegelapan dan kesunyian

Namun, di hadapan sajak penyair yang lebih muda, aku lirik dalam sajak Micky menunjukkan superioritas totalnya. Setidaknya tampak pada sajak yang diperuntukkan kepada Jamal. Dalam sajak ini, aku lirik terkesan menasihati atau melarang kau lirik dalam sajak Jamal untuk melakukan yang tak diinginkannya.

Luka sedalam sajakmu
Jangan kau tampung nyeri

Luka seperih sajakmu
Jangan kau simpan duri

Luka sediam sajakmu
Jangan kau timbun sunyi

Gejala relasi pembingkaian yang menyuperiorkan diri dulu lalu meng-inferiorkan diri juga tampak dalam sajak yang ditulis untuk Sapardi. Bait kedua sajak ini memperlihatkan kerumitan relasi itu sehingga batas antara superior dan inferior keduanya, antara aku dan kau lirik, jadi samar.

O, dukamu abadi, kenapa padaku tak kau bagi-bagi? Padahal aku juga punya duka, tapi tak sebadi dukamu. Bukankah beribu kata duka sama-sama milik kita, satu nafas dengan kita, dan satu suara dengan kita? Ah, rupanya aku lupa menyebut kata demi kata dan tak mengerti isyarat yang pernah kau beri dan ajarkan padaku. Bukankah duka tak seabadi hidup kita?

Nuansa relasi yang setara dapat dibaca pada sajak yang ditulis untuk Afrizal dan Sutardji. Tetapi sesekali dalam satu bait atau satu larik tertentu masih dapat ditemukan kecenderungan aku lirik untuk bersikap asimetris: mengunggulkan diri atau merendahkan diri. Misalnya pada bait kedua sajak untuk Afrizal, relasi asimetris yang rumit dapat kita lihat.

Tak selesai-selesai kubaca sajak-sajakmu. Mataku mulai perih karena disemprot cairan berwarna hitam. Mataku berkunang-kunang hingga dinding, langit-langit, .... menjadi hitam dalam pandanganku. Mataku menderaikan tangis hingga airmata membasahi setiap kata dan kalimat yang berjatuhan, berlompatan, dan berlarian meninggalkan sajak-sajakmu.

Bagi aku lirik dalam sajak Micky, sajak Afrizal itu malapetaka yang tidak untuk diatasi tetapi untuk ditinggal pergi. Hubungan saling membingkai yang kompleks ini meninggikan dan merendahkan sekaligus posisi kau lirik dalam sajak Afrizal. Bahkan hal serupa, meski penuh semangat kesetaraan, juga terjadi pada sajak untuk Sutadji. Di hadapan kau lirik dalam sajak Sutardji, aku lirik sajak Micky hanya penasaran dan bingung. Meski demikian, aku lirik berani menyimpulkan bahwa Tardji lirik perlu diajak tobat. Karenanya, aku lirik membangun relasi asimetris pada bagian akhir sajak itu.

mari, tardji, pecahkan gelas-gelas, remukkan botol-botol
duniawi, dan bunuh mabuk-mabukanmu dengan kapak!

Bjm. 30.9.2007

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *