Buku untuk Rakyat

Buku untuk Rakyat

Tentang Perpusling Banjarbaru

mpk-bjb
Mobil Perpustakaan Keliling (MPK) Perpustakaan dan Arsip Daerah (Pustarda) Banjarbaru mendukung gerakan literasi sekolah (Foto: Dok. Pustarda).

Pemerintah kota (pemkot) Banjarbaru punya satu unit Perpustakaan Keliling (Perpusling) yang secara teratur seminggu sekali parkir di sekitar Taman Banjarbaru. Kata petugas-nya, Perpusling ini adalah bagian dari kegiatan perpustakaan daerah yang didukung oleh Pemko Banjarbaru. Meski baru berusia sekitar enam bulan, anggotanya telah lebih dari 2000 orang, nyaris menyamai jumlah anggota perpustakaan induknya yang telah bertahun-tahun berdiri.

Kecepatan pencapaian keanggotaan itu mungkin tak lepas dari sifat Perpusling yang cenderung santai dan luwes karena ia hadir sesantai para pedagang kaki lima yang menjajakan beragam makanan untuk perut di sekitar taman itu.

Dari sekian banyak anggotanya, pelajar merupakan anggotanya yang paling dominan. Buku-buku yang dibawa mobil Perpusling itu dapat dipinjam secara gratis selama seminggu. Menjadi anggotanya pun tak dipungut biaya. Sayangnya, mobil perpuskaan itu masih menggunakan kijang, bukan mini bus yang dapat membawa buku dalam jumlah yang lebih banyak.

Apa yang dilakukan Pemko Banjarbaru adalah tindakan konkret dalam rangka mewujudkan cita-cita kota ini mewujudkan diri sebagai kota pendidikan. Menjadi kota pendidikan tentu memerlukan upaya-upaya terintegrasi dan menyeluruh serta melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat itu sendiri. Pengadaan Perpusling seperti ini tentu bisa memberikan kontribusi jangka panjang terhadap proses pendewasaan atau pematangan cara berpikir masyarakat menuju terwujudnya Banjarbaru sebagai kota pendidikan.

Jogjakarta adalah contoh yang menarik dalam soal penciptaan masyarakat yang gemar belajar. Di samping kota ini memiliki armada Perpusling yang banyak, kota ini mengampanyekan jam belajar sampai ke pelosok-pelosok kampung yang berada di sekitar kampus-kampus. Pada jam 19.00 WIB suasana belajar yang tenang bisa dirasakan banyak orang di Jogja, kecuali di pusat-pusat pelesiran seperti Mall atau Malioboro.

Kampanye itu pun diikuti oleh kebijakan penghentian operasi bus kota sampai jam sembilan malam saja. Selepas itu, Jogja sedikit lebih lengang, lebih nyaman untuk belajar, Bahkan jumlah perpustakaan di kota ini jauh lebih banyak daripada jumlah diskotiknya. Ini berbeda dengan kota sebesar Banjarmasin yang memiliki diskotik lebih banyak daripada jumlah perpustakaannnya.

Kalau Banjarbaru bercita-cita sebagai kota pendidikan, jangan beri ruang sedikitpun untuk diskotik. Untuk urusan dugem, biar urusan Banjarmasin saja.  Lanskap semacam ini tentu juga mencerminkan ideascape masyarakatnya. Saya percaya bahwa ruang publik sebuah kota adalah cerminan ruang mental masyarakatnya.

Mencermati kemajuan komparatif Perpusling tersebut Pemko Banjarbaru patut berbangga dan kebanggaan itu perlu disyukuri dengan membenahi koleksi buku yang diminati. Jika pengakuan petugas perpustakaan itu benar bahwa peminatnya adalah pelajar dan buku yang banyak diminati adalah fiksi, Pemko Banjarbaru tampaknya perlu membelikan buku-buku yang mustahil dibeli oleh rakyaknya yang duafa.

Misalnya, buku Tafsir Al-Misbah yang berseri-seri itu, yang harga setiap volumenya sekitar Rp 90 ribuan dan satu set berjuta-juta itu, mustahil bisa dijangkau oleh kaum duafa. Di sinilah kepekaan Pemko atau para juragan yang dermawan harus terpanggil untuk membelikan buku untuk rakyat dan menyalurkannya melalui Perpusling seperti itu.

Ada banyak buku bermutu, baik fiksi maupun non-fiksi yang sulit dibeli oleh masyarakat pas-pasan. Pemko pasti bisa membelikannya atau menggerakkan para relasinya untuk berderma buku untuk Perpusling yang telah diniatkan sebagai agen pencerdasan kehidupan bangsa secera umum dan masyarakat Banjarbaru pada khususnya.

Janganlah memajang buku yang dapat dibeli oleh setiap orang. Dengan cara inilah keunikan sebuah Perpusling dapat dijaga dan ditingkatkan. Bahkan perlu juga media massa cetak ataupun elektronik setempat mengabarkan buku-buku baru yang telah tersedia di Perpusling. Dengan cara ini, Pemko Banjarbaru dapat memelopori gerakan cinta baca buku sebagai amanat dasar wahyu pertama yang turun kepada Nabi.

Tentu akan lebih indah lagi jika kepeloporan ini ikut didukung oleh para pengusaha toko buku di Banjarbaru atau kota lainnya di Kalsel untuk merayakan gerakan gemar membaca. Apalagi jika Pemko punya rencana besar untuk memperbanyak armada Perpuslingnya sampai menyamai jumlah sekolah yang ada di kota tersebut. Jika niat mulia ini dapat diwujudkan, kesulitan perpustakaan sekolah untuk menyuplai bacaan-bacaan mahal dan bermutu dapat diatasi.

Bahkan mengalokasi anggaran untuk keperluan ini jauh lebih konkret daripada pengadaan proyek-proyek abstrak bernilai puluhan juta rupiah tetapi hasilnya hanyalah omong kosong dalam kertas laporan.

Membelanjakan uang pemerintah (yang tentu berasal dari pajak yang dibayar rakyat) untuk kebutuhan ”makanan batin” masyarakat bisa mengentaskan kemiskinan wawasan masyarakat. Masyarakat yang berwawasan baik tentu akan mudah diajak membangun bersama. Telah banyak negara maju yang membuktikan betapa pentingnya arti buku bagi pendewasaan pola pikir masyarakat agar mereka senantiasa siaga menyikapi perubahan yang serba cepat dengan cara-cara yang arif dan kreatif.

Berjuang menghadapi serbuan tradisi lisan elektonik seperti saat ini dengan gerakan cinta baca dan gemar belajar sama halnya dengan berupaya melawan lupa. Dengan menyebarkan virus gemar membaca, diharapkan masyarakat kita menjadi kritis, suka merenung dan berpikir konstrukstif untuk meniti proses panjang dan lama perubahan sebuah masyarakat menuju bentuk yang diidamkannya.

Bukankah tradisi lisan kedua selama ini telah menampilkan sisi buruknya: membentuk masyarakat konsumtif, emosional, mudah dibakar seperti setumpuk belukar kering? Untung masih ada Banjarbaru yang mengingatkan kita tentang pentingnya pemerintah memberikan makanan nurani, berupa bacaan-bacaan yang memperkaya wawasan masyarakatnya.

Kalau Banjarbaru saja bisa, kenapa kota lain di Kalsel tidak? Sudah jadi rahasia umum bahwa banyak cara pemerintah daerah untuk mengambur-hamburkan uang dengan alasan untuk kepentingan daerah dan bangsa meski sebenarnya lebih untuk memuaskan kerakusan pribadi. Kalau dana itu dihamburkan untuk kepentingan penyediaan buku gratis yang mahal dan berkualitas untuk masyarakat luas, pasti Tuhan lebih puas karena pada saat itulah Dia melihat manusia tidak sedang berwatak dan berupa seperti binatang buas.

Banjarbaru, 1  April 2007

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *