Panggung Simbolik Perang Banjar

Panggung Simbolik Perang Banjar

 

Sumber Gambar: FB Mujiat SP
Sumber Gambar: FB Mujiat SP

Pada 13 Agustus 2016, aktor dan sutradara Teater Kita Banjarmasin, Yadi Muryadi,  memanggungkan naskah karya Adjim Arijadi secara kolosal di Stadion Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Pertunjukan ini melibatkan gubernur, bupati, walikota, dan polisi dan TNI. Saya tak bisa menyaksikan langsung tetapi beruntung ada orang yang mengunggah cuplikannya di YouTube dan berbagi foto untuk tulisan ini.

Ada tiga hal yang menarik perhatian saya. Pertama, panggung kolosal ini tidak diperaiapkan dengan matang tetapi tetap terlaksana dengan relatif baik. Kedua, cuplikan singkat video unggahan itu, menunjukkan adanya peran sekelompok pemain berseragam loreng TNI yang bentrok dengan sekelompok pemain berkostum sipil. Ketiga, keterlibatan anak-anak.

Mungkin sebagian penonton kecewa dengan pertunjukan ini tetapi bagi Yadi ini pengalaman berharga dan luar biasa. Mengumpulkan  pejabat dan aparat yang sama sekali tidak memiliki latar belakang berteater tentu bukan persoalan yang gampang. Panggung ini hasil dari latihan intensif hanya empat kali latihan yang setiap latihan hanya perlu waktu sekitar dua jam dan tanpa gladi resik. Wajar jika masih ada gangguan teknis. Meskipun demikian, apapun hasilnya, Yadi telah mewujudkan mimpinya: mementaskan naskah Perang Banjar secara kolosal, melibatkan aparat dan pejabat, dan anak-anak untuk pertama kalinya.

Kemampuan Yadi menerima kekurangan kenyataan ini tentu berakar dari pengetahuan dan pengalamannya mengenai teater tradisi di Banua. Dalam situasi rumit yang sulit dikendalikan sepenuhnya, hanya ada satu kekuatan yang dapat menolongnya untuk mewujudkan panggung kolosal itu, yakni spontanitas. Dalam situasi ini strategi tulisan kehilangan kekuatan. Strategi lisan jadi andalan. Bekal pengetahuan dan pengalaman teater atau seni tradisi menjadi sangat penting.

Saat saya tanya, Yadi menjelaskan bahwa orang berseragam loreng di panggung itu berperan sebagai Belanda. Tentu kostum loreng TNI bukan pakaian penjajah di masa lalu saat Perang Banjar terjadi. Penggunaan seragam loreng di panggung kolosal ini tampak jadi metaforik dan simbolik yang mungkin saja menjadi bagian dari sejarah masa kini dan cerita di balik panggung ini. Hanya mereka yang tahu.

Penjajahan Belanda telah lama berlalu. Memanggungkannya tetap relevan meskipun Belanda tidak ada di sini secara fisik. Karena penjajah telah lama berganti rupa. Tetapi anak-anak jajahannya masih mengalami sindrom penjajahan. Sampai hari ini, masih banyak yang mengatakan bahwa bangsa ini dijajah oleh bangsanya sendiri.

Dalam momentum peringatan HUT RI ke-71 dan Kalsel ke-66, panggung perang Banjar lebih dari sekadar sebuah panggung pertunjukan. Secara tidak langsung dan kreatif panggung tersebut merupakan arena bagi mereka yang terlibat dalam pertunjukan ini, terutama para pejabat dan aparat itu untuk menyadari bahwa Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka dan banua juga demikian. Akan tetapi, setelah itu apakah mereka akan merenungkan apa makna Perang Banjar dalam konteks Kalsel saat ini, yang masih saja belum akseleratif mengejar ketertinggalannya? Bahkan dalam konteks kehidupan seni teater tradisi dan modern Banua pun masih belum sepenuhnya merdeka dalam arti memiliki ruang teater yang dikelola secara modern. Banyak yang dapat direnungkan ketika mereka kembali ke panggung nyata kekuasaan mereka bahwa Perang Banjar memang belum selesai.

Setelah Belanda hengkang, cerita Perang Banjar di panggung kolosal ini menjadi metafora, tamsil, dan i’tibar tentang selalu adanya penjajahan baru yang selalu terlambat disadari. Antara lain penjajahan kesenian atau kebudayaan.

Keberadaan anak-anak usia sekolah dasar binaan Teater Kita dalam panggung ini pun  menarik untuk diperhatikan. Panggung ini memang nukilan dari Perang Banjar dalam narasi sejarah yanh rumit, yang bukan cuma bicara tentang perang saudara merebut pundi ekonomi dengan menguatkan afiliasi politik dengan Belanda atau penjajah, tetapi juga narasi tentang motivasi ekonomi penjajah untuk menguasai perkebunan dan pertambangan.

Jika kini banyak generasi berpaling pada kesenian barat populer yang musiman, sementara kesenian tradisi kita dipelajari dengan sungguh-sungguh di beberapa sekolah di Amerika dan Eropa, pemimpin kita sama sekali tak terganggu dan karena tak perlu repot mencari cara bagaimana anak-anak sekolah tidak dididik seperti robot dengan kepala berisi informasi baku dan kaku tanpa olah rasa.

Anak-anak yang ikut bermain di panggung Yadi dapat dibaca sebagai simbol peperangan Yadi melawan hegemoni pendidikan sekolah dasar dan menengah tanpa ekstra kurikuler seni teater. Meskipun demikian, pelibatan mereka dalam tema peperangan sangat dilematis. Untuk kelak perlu ada naskah baru Perang Banjar untuk panggung teater anak dengan simbol-simbol peperangan yang sesuai dengan usia mereka.

Demikianlah beberapa catatan apresiatif saya untuk panggung produksi Teater Kita yang kita kenal dengan semboyannya: Teater Tarus Sampai Bungkuk.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *