Kebanjaran dalam Novel-Novelan

Kebanjaran dalam Novel-Novelan

kebanjaran-dalam-novel-novelanKetika Aliman meminta saya menulis endorsement untuk cetakan kedua Novel Dandaman Kada Bapancung (DKB), ia memperkenalkan novel ini sebagai novel-novelan. Ungkapannya semacam otokritik karena mungkin ia merasa novel zaman sekarang seharusnya tidak sekecil dan setipis DKB. Namun ia tak perlu terlalu berkecil hati, karena sejarah novel di Indonesia dan dunia menyediakan ruang untuk novel seperti ini, apalagi di tengah ketiadaan definisi novel yang otoritatif atau paling sahih.

Cetakan pertama DKB karya Aliman Syahrani (2015) dapat dibaca tuntas kurang dari 2 jam karena tebalnya hanya 100 halaman dengan ukuran buku saku, novel ringan tentang kasih tak sampai yang ditulis dalam bahasa Banjar dialek Kandangan yang “berat” karena penuh dengan diksi langka, juga ungkapan metaforis yang mungkin sulit  dipahami. Beberapa pihak menyebut bahasa Banjar dalam novel ini sebagai bahasa Banjar arkais, bahasa yang sudah jarang diapakai. Memakai kembali bahasa yang telah usang adalah tindakan untuk menunjukkan identitas dan afiliasi. Cetakan keduanya lebih besar tetapi halamannya berkurang (97 halaman). Cuplikan teks esai ini berdasarkan cetakan kedua.

Ensiklopedia daring Wikipedia memang menyediakan definisi novel sebagai cerita panjang yang biasanya ditulis dalam bentuk prosa. Namun kata biasanya mengisyaratkan kemungkinan yang lain. Dengan kata lain, ada juga novel yang tidak ditulis dalam bentuk prosa, seperti Eugene Onegin karya Pushkin, The Golden Gate karya Vikram Seth atau Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG yang ditulis dalam bentuk syair atau puisi. Namun, Octavio Paz menolak menyebut novel karya puitis yang hanya penuh dengan unsur-unsur sintetik atau perpaduan. Bagi Paz, sebuah novel harus bersifat analitis, yakni menceritakan perbuatan para tokoh sekaligus mengeritiknya. Tokoh dalam novel harus padu dan ambigu. Pendapat Paz dapat dibaca dalam buku Taruhan Mewujukan Tulisan: Proses Kreatif Tujuh Penulis Pria Terkemuka Dunia (Terjemahan tahun 2006, hal. 219-220).

Kriteria panjang juga jadi masalah. Seberapa panjang sebuah prosa fiksi dapat disebut novel? Mengapa karya Anton Chekov “The Duel” disebut cerita pendek novella atau novelet meskipun panjangnya sama dengan novel The Immoralist karya André Gide (1930) (yang terbitan dalam bahasa Inggrisnya terdiri atas 144 halaman). Fakta inilah yang melahirkan kesimpulan bahwa novel termasuk genre yang menolak definisi pasti dan ketat. Dalam perkembangannya novel menyerap bentuk sastra yang lain (Eagleton, 2005). Dalam novel kita bisa menemukan puisi, dialog drama, satire, sejarah, tragedi, mantra, pantun, syair, dan lain-lain. Sekarang munculnya novel grafis ikut mengaburkan batas antara novel dan komik. Novel kini menjadi bejana besar pencampuran beragam genre sastra. Karena aturannya bukan untuk mengatur, novel disebut genre yang anarkis. Orang anarkis bukan hanya merusak aturan tetapi yang sekaligus menjadikan perusakan aturan sebagai aturan.

Sulitnya mendefinisikan novel telah membuat beberapa penulis menelusuri sejarahnya. Mikhail Bakhtin, ahli teori budaya dari Rusia, misalnya, melacak jejak novel sampai masa kekaisaran Roma. Sementara Margaret Anne Doody dalam The True Story of the Novel menempatkan lokasi kelahiran novel dalam kebudayaan Mediterania kuno. Pada era modern, kemunculan novel dikaitkan dengan munculnya kelas menengah tetapi kapan kepastian kemunculannya? Sebagian sejarawan menyebut pada abad ke-12 atau ke-13. Di Indonesia, menurut Claudine Salmon novelis Indonesia yang pertama adalah Lie Kim Hok yang telah menulis novel Thjit Liap Seng (Bintang Toedjoeh). Tjerita di negri Tjina pada djeman karadjaan Taj Tjheng Tiauw, Maha Radja Hamhong,  tiga puluh tahun sebelum roman berbahasa Indonesia karangan Marah Rusli: Sitti Nurbaya. Apakah tonggak novel Banjar terjadi pada 2005 ketika Burhanuddin Soebely menerbitkan Bulan Sunyi Kambang Tarati dan Bahara Mingsang Idang Siritan, atau pada 2015 ketika Aliman menerbitkan DKB?

Banyak yang sependapat bahwa novel berasal dari dan berakar pada roman. Akar ini tidak sepenuhnya terputus sehingga novel juga dapat didefinisikan sebagai roman yang bernegosiasi dengan dunia prosa peradaban modern. Novel-novel semacam ini tetap mempertahankan wira atau tokoh utama yang romantis dan akhiran bercorak dongeng, tetapi unsur-unsur itu dihubungkan dengan tema-tema novel modern seperti mobilitas sosial, perkawinan, dan uang. Novel kini mencampur bentuk pramodern seperti mitos, fabel, dongeng, dan roman dengan bentuk-bentuk modern seperti realisme, reportase, kajian psikologis, dan semacamnya. Novel DKB ini juga demikian: mencampur mantra, keluarga, dan tema perkawinan.

Eagleton (2005) melihat bahwa novel juga lahir bersama ilmu modern. Keduanya sama-sama sekuler, keras kepala dan mencurigai otoritas lama. Novel tidak mencari otoritas dari di luar dirinya tetapi berusaha menemukan otoritas di dalam dirinya sendiri. Dengan upaya ini novel menemukan kebaruan sebagaimana makna yang tersirat dari namanya. “Novel” dalam bahasa Inggris berarti baru. Novel Lampau Sandi Firly, misalnya, menolak otoritas mitos Sandayuhan. Novel DKB ini juga mematahkan mitos mantra.

Karena novel ini telah labeli “Novel”  terimalah apa adanya karena kenyataan sejarah novel dunia dan Indonesia juga bisa menerimanya sebagai novel meskipun bisa saja ada yang merasakannya sebagai cerpen atau puisi yang terlalu panjang karena hanya menceritakan hubungan dua tokoh dalam lima bab yang pendek-pendek. Jika mungkin, cerita ini bisa disebut nukilan dari sebuah novel terbaik, yakni (meminjam ungkapan Aliman saat diskusi novel Sekaca Cempaka) novel yang belum ditulis. Dalam kondisi teks seperti ini, pasti banyak sarana kesastraan sebuah novel (tebal) yang tidak dipenuhi, misalnya pendetailan latar, tokoh, dan peristiwa.

***

Novel ini ceritakan oleh seorang suami beranak satu yang tergila-gila pada kecantikan perempuan yang dikenalnya pada suatu acara sastra di mana ia menjadi juri dan perempuan yang dikagumi kecantikannya sebagai juaranya. Bab pertama diawali dengan sebait pantun tentang orang yang mendambakan pujaan hatinya. Rarajapan menjadi kata kunci penting untuk memahami bahwa apa yang diceritakan oleh lelaki beranak satu dan seorang penulis yang sedang berusahan menyelasaikan naskah novel ini, terjadi dalam imajinasi pencerita.

.... Rarajapan tarus lawan muhanya nang bahindang bahindala. Kada baampihan ta-atirat tarus lawan mungkal awaknya.... (hal. 2)

Tukang kisah yang sedang rarajapan bisa menceritakan apa saja sesuai keinginannya. Benar atau salah terserah narator aku. Dengan gaya mirip catatan harian atau Diary, novel ini tidak termasuk novel menurut pandangan Octavio Paz. Ia ingin menceritakannya kepada sekelompok pembaca yang telah ia kenal dan ia panggil sebagai buhannya atau bukan ikam, seperti pada ungkapan: …. Cahai, nyamanai buhan ikam…./ Ngalihai ngaran buhan ikam…./ Han, kaya apa buhannya…. (hal. 4); …. Tagal buahnnya-ai aku niti…./ …. Ada lagi buhannya-ai…. (hal.14); dan seterusnya. Kata sapaan ini merupakan indikator identitas.

Siapa aku yang bercerita dalam novel ini? Pertanyaan ini bisa mengantarkan pembaca mengenal identitas tokoh utama yang sekaligus menjadi narator. Pertama kita bisa mengenal dari bahasa yang ia gunakan. Bahasa Banjar yang ia pakai bukan sepenuhnya bahasa Banjar yang dikenal oleh semua orang Banjar. Kedua, penguasaannya atas banyak mantra atau pitua atau bacaan, menunjukkan bahwa ia bukan orang Banjar pada umumnya. Ketiga, ia penulis fiksi atau sastrawan. Keempat, ia suami dari seorang istri beranak satu. Kelima, ia bukan perokok. Keenam, ia akrab dengan teknologi komunikasi. Ketujuh, ia bukan bagian dari anak-anak sekarang (Banjar atau bukan) yang tidak setia pada pasangannya. Dengan demikian, narator aku menegaskan identitas dirinya bukan sebagai representasi kebudayaan Banjar yang umum tetapi sangat partikular. Dengan melihat batas-batas yang diberikan oleh unsur intrinsik ini, kita dapat terhindar dari simpulan euforia berlebihan yang menyatakan bahwa mantra-mantra yang dikuasai oleh narator aku sebagai indikator tingginya peradaban Banjar. Bukankah tidak semua orang Banjar percaya pada mantra-mantra?

Dalam sastra fantasi, cerita penuh mantra sudah biasa, misalnya dalam semua novel Harry Potter, mantra digunakan untuk menyelesaikan masalah. Dalam novel DKB, mantra terkait dengan pemikatan orang lain dan menumbuhkan rasa percaya diri. Setiap mantra punya ruang dan waktu. Novel ini menunjukkan, mantra di satu sisi memang memiliki kekuatan tetapi si sisi lain juga diperlihatkan kelemahannya.

Meskipun sang narator telah berusaha untuk menaklukkan hati Diang dalam halusinasi ceritanya dengan mantra-mantra warisan kayi-nya, mantranya tidak mampu membuat Diang terpikat untuk menjadi kekasihnya tetapi Diang malah menganggap si narator sebagai kakaknya sendiri. Peristiwa naratif ini menyediakann diri untuk ditafsirkan. Mungkin penulis ingin mematahkan mitos kesaktian mantra. Mungkin pula, penulis ingin memberikan batas normatif terhadap rarajapan yang tidak laik diteruskan oleh lelaki yang sudah beristri dan beranak. Dengan cara ini mungkin penulis ingin menunjukkan moral yang diyakininya.

***

Sebagai bagian dari sastra Banjar, novel ini menampung beberapa pengaruh sastra Banjar yang pada dasarnya berbasis lisan. Membaca novel ini membawa bisa membawa pembaca pada situasi menyimak orang yang sedang berkisah. Dalam sastra Banjar, berkisah atau bakisah merupakan salah satu genre sastra naratif. Dalam genre ini, genre sastra yang lain, seperti mantra dan pantun kadang disisipkan. Novel ini tampak mengadopsi cara tutur tradisional dalam bakisah. Karya Burhanuddin Soebely mungkin juga menjadi inspirasi. Sang tukang kisah menjadi pusat pengetahuan dan mungkin juga kebenaran. Naratologi otoritatif ala tradisi lisan ini tak bisa dibantah dan secara tipikal dapat disebut sebagai salah satu representasi individualitas sebagian orang Banjar: ampunku ampunku, ampunmu ampunku. Ampunku yang paling baik. Harat. Cuplikan berikut ini antara lain bisa menegaskan kondisi ini.

Lakunnyalah, Luna Maya, Aura Kasih, Syahrini, ..... lawan samunya-an artis nang bungas-bungas di tipi tunah, dipirik, dirabuk, ditimik, dikacak, diguliming, digumpal jadi sabuku, imbahitu ditatayakan lawan inya. Bah, kadada a-apa-annya, kada paparakannya. Lawan karak hidungnya haja gin kipai! (hal. 18)

Namun bisa juga cuplikan ini ditafsirkan sebagai indikasi dari ekspresi mahalabio sebagian orang Banjar. Kecantikan yang sederhana bisa mengalahkan kecantikan yang dicampuraduk. Di samping itu, ungkapan ini secara sintagmatik menegaskan pernyataan awal sang narator bahwa hatinya telah rusak. Dalam hati yang rusak, tak ada pilihan objek yang rasional karena yang ada hanya pilihan subjektif-emosional.

Menulis novel dalam bahasa lokal dapat memilki beberapa arti. Pertama, ia masuk dalam ranah partikular dan tak menyediakan diri bagi pembaca yang lebih luas dan bisa jadi sulit dimengerti oleh orang Banjar pada umumnya. Kedua, di era terancamnya bahasa lokal oleh bahasa global dan nasional, novel ini merupakan tonggak pengingat kedua tentang betapa pentingnya mempertahankan keanekaragaman bahasa. Lebih dari itu, sang novelis memberikan teladan tentang penggunaan bahasa lokal dalam cita rasa sastra. Upaya revitalisasi bahasa lokal memerlukan perhatian lebih.

***

Sebagai penutup, ada beberapa  hal yang menonjol dalam novel ini yaitu banyaknya pitua pemikat sehingga novel ini dapat menjadi manual pitua. Sayangnya penyajiannya lebih bersifat informatif daripada deskriptif-fungsional untuk menggerakkan plot seperti penggunaan mantra dalam Harry Potter karya J.K. Rowling. Kedua, halaman 82 tampak kontra dengan halaman 96. Pada halaman 82 Diang menceritakan prinsip hidupnya sebagai anak tunggal orang kaya. Ia ingin jadi istri yang berpendidikan tinggi. Ia menolak lelaki yang ditawarkan orang tuanya. Sebagai orang kaya, orang tua Diang juga tak diberi ruang cerita yang menggambarkan latar belakang mengapa mereka tidak selektif mencari calon pasangan putri satu-satunya? Bukankah biasanya semakin kaya orang kian selektif. Perkawinan sebagai masalah tidak mendapatkan porsi penceritaan yang menggembirakan harapan.

Supaya damdaman pembaca terhadap cerita novel yang sesungguhnya bapancung, novel ini perlu dikembangkan lebih jauh antara lain, pertama, mengisahkan konflik kayi narator dan nini Diang. Kedua, mengisahkan konflik narator dengan istrinya, dan ketiga konflik Diang dan lelaki lain yang telah melamarnya. Keempat memperkaya detil latar dan tokoh yang lebih mendekatkan pembaca dengan suasana kebudayaan tokoh-tokohnya. Terakhir, perlu kiranya mempertimbangkan penggunaan multinarator sehingga nuansa “novel laki-laki” tidak terlalu menonjol. Saran terakhir bisa diabaikan jika memang novel ini dimaksudkan sebagai novel Banjar dari novelis laki-laki yang memang seharusnya secara kultural meletakkan tokoh perempuan seperti itu: objek yang diceritakan, bukan subjek yang bercerita.

Loktara, 06.01.2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *