Berpantun Banjar, Menjadi Banjar

Berpantun Banjar, Menjadi Banjar

maria_roesli-pantun-banjaOrang Banjar dan Pantun

Sebelum mengenal puisi modern, orang Banjar telah lama akrab dengan pantun, karya seni tradisional sejenis puisi yang menyertai petani Banjar mairik banih ketika panen, mengayun anak, dan menyerahkan pengantin. Pantun Banjar ada dalam lagu tradisional, bakisah, madihin, balamut, dan mamanda. Pantun bukan kesenian yang otonom. Keberadaannya tergantung pada keberadaan unsur kebudayaan atau kesenian  yang lain. Ketika teknologi memanen padi berubah, ba ahui dalam mairik banih ikut hilang. Demikian pula ketika media penyampaian dan penyimpanan informasi orang Banjar berkembang dari kelisanan primer ke kelisanan sekunder dan aksara, pantun pun beradaptasi dengan media ekspresi baru dengan bermacam-macam implikasi.

Antologi Pantun Banjar karya Maria Roeslie (2014) merupakan salah satu bentuk adaptasi pemertahanan pantun. Keunikan buku pantun ini karena ditulis oleh Cina-Banjar yang sering dianggap sebagai “sang lain”. Misalnya, Ogi Fajar Nuzuli, kakak kelas Maria, di SD dan SMP menulis begini di sampul belakang buku ini:

Sepanjang yang dapat saya rekam pergaulan Maria menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa Banjar yang berdialek Cina. Tetapi ketika saya membaca pantun.... ini ternyata murni asli bahasa Banjar.

Komentar tersebut menjelaskan posisi sosial dan budaya Maria Roeslie. Maria merupakan bagian dari sejarah panjang keberadaan Cina di Banjar. Buku pantunnya menjadi penanda tambahan bagi keberadaan Pecinan (kawasan kampung Cina) di seputaran Jalan Tendean, Kelurahan Gadang, Kecamatan Banjarmasin Tengah. Publik sastra di Kalsel jarang atau bahkan mungkin belum pernah membaca ekspresi sastra etnis ini tentang Banjar. Dalam konteks pembauran budaya, buku pantun ini menarik untuk dibaca.

Buku ini terdiri atas sekitar 537 bait pantun yang ditulis dalam rentang waktu 5 tahun, dari 2009 sampai 2013. Pantun-pantun itu sebagian besar merupakan ungkapan pribadi Maria tentang pengalamannya sendiri. Apa yang direspons dan tidak direspons menggambarkan cakupan wacana yang baginya penting diingat atau tidak.

Setidaknya ada 17 pantun tentang pantun. Dalam pantun-pantun itu ia menjelaskan posisinya bahwa ia baru bisa dan sedang belajar berpantun (lihat hal. 27, 79, dan 111). Baginya berpantun itu untuk meramaikan jejaring sosial facebook dan mengingat kampung halamannya (hal. 80). Ia ingin pantunnya dikomentari (hal. 61). Ia menyebut beberapa pihak yang membuatnya ingin terus berpantun (hal. 71 dan 115). Ia mengaku ketagihan menulis pantun (hal. 105 dan 127). Ia senang jika banyak yang suka pantun Banjar (hal. 114) karena bagi Maria melestarikan pantun Banjar adalah bagian dari pelestarian budaya Banjar (hal. 125).

Selain tentang pantun, Maria banyak memantunkan perihal jejaring sosial facebook sebagai tempat kelahiran dan perkembangan pantun-pantunnya. Ada 20 pantun yang mengisahkan hubungan Maria dan Facebook. Facebook telah membantunya menemukan teman-teman lamanya (hal. 4, 5, 32 dan 117), tempat menyalurkan hobi pantunnya (hal.9), dan sebagai penghilang lelah sehabis kerja (hal.11). Meskipun demikian facebook pun membuatnya bisa lupa waktu (hal.2, 3, 7, 10, 20, 25, 31 dan 70). Pantun dan facebook menjadi dua bagian yang tak bisa dipisahkan, yang bukan hanya berdampak baik tetapi juga buruk.

Salah satu manfaat keduanya antara lain digunakan Maria untuk mengungkapkan sikap toleransi sebagai non-Muslim kepada umat Islam terutama saat umat Islam menjalankan ibadah puasa. Ada sekitar 14 bait pantun yang ditujukan untuk Muslim yang puasa. Ia mengungkapkan harapan agar para pedagang tidak menaikkan harga terlalu tinggi menjelang puasa Ramadhan (hal. 29). Ia pun mengisahkan pengalamannya pernah terpaksa puasa (hal. 32) dan ikut merasakan enaknya berbuka puasa (hal.34). Jika Ramadhan tiba, ia turut senang (hal.86), dan berharap puasa kawan-kawannya tak batal (hal.87). Jika bulan puasa usai, ia mengucapkan selamat hari raya (hal.17 dan 39), dan berharap bisa ketemu lagi dengan puasa tahun berikutnya (hal.34).

Melalui pantun Maria juga menjelaskan kediriannya sebagai orang Banjar, Cina-Banjar. Meskipun di luar Banjar istilah Cina dihindari karena dinilai rasis, di Banjar tidak demikian karena faktor sejarah sosial mereka yang berbeda. Cina-Banjar bermakna positif. Fakta ini menjelaskan bahwa Banjar tidak identik dengan Islam. Beberapa pantunnya menggambarkan bahwa Banjar (masin) adalah kampung halaman yang selalu ia rindukan (hal. 132). Orang Banjar bukan hanya mereka yang lahir di Banjar tetapi juga suka dengan kuliner Banjar (hal.33 dan 72).  Pengakuan dirinya sebagai orang Banjar ditegaskan dalam sampiran salah satu pantunnya, “Biar jauh dari kampung ulun tatap urang Banjar….” (hal.24). Setelah menulis ratusan (dan mungkin ribuan) pantun dalam bahasa Banjar, apa masih ada yang ingin meragukan kebanjarannya hanya karena ia bukan Islam? Pantun Maria Roeslie menegaskan hibriditas identitas orang Banjar yang telah lama terbentuk.

Respons pantun Maria atas realitas menunjukkan pola khas komunikasi perempuan yang tidak jauh dari persoalan family, food, fun, dan relationship dan menjauhi ranah komunikasi laki-laki yang lebih berminat pada politik, pornografi, agresi, dan rivalitas. Pantun-pantun Maria lebih bersifat empatik.

 Dari Digital ke Cetak

Komunikasi manusia dimulai dengan kelisanan primer, yakni kemampuan bicara dengan manusia lain dengan saluran atau media lisan. Saluran itu mengalami inovasi hingga sekarang telah mencapai fase kedua teleliterasi atau keberaksaraan jarak jauh fase kedua. Steven Mizrach, dalam makalahnya From Orality to Teleliteracy (2015) menggunakan istilah “teleliterasi” untuk memberikan perhatian khusus pada teknologi penyampaian dan pengiriman informasi elektronik, dan tidak terkait dengan teknologi penyimpanan atau sarana pemutaran seperti kaset video, kaset audio, compact disc, disket, dan semacamnya. Keberadaan teknologi semacam ini penting tetapi ada sebagian pendapat yang menilai bahwa fungsinya bersifat transisional; teknologi penyimpanan pasti akan berevolusi dan berubah dengan lebih cepat daripada teknologi penyampaian informasi. Mizrach berpendapat bahwa tentu teknologi tersebut melibatkan proses sosiologis.

Ada lima sifat teknologi dalam komunikasi teleliterasi fase kedua. Pertama, sifat akses ke medianya non-sekuensial. Teks-teksnya bersifat hiperteks. Naratif hiperteks bersifat interaktif karena lanjutan naratifnya tergantung pada pilihan pembaca, yang bisa dimulai atau diakhiri di manapun pada titik-titik yang mungkin. Kedua, semakin mudahnya penggunaan teknologi yang memungkinkan manusia berpartisipasi dalam penciptaan atau produksi pesan elektronik secara massal. Ketiga, kerja berbasis jaringan internet yang memungkinkan antarmanusia melakukan beragam modus komunikasi sekaligus. Keempat, teknologi multimedia tersebut yang memungkinkan penggunanya menggabungkan teks, suara, video, dan gambar.

Terakhir, teknologi tersebut merupakan dampak dari perubahan analog ke digital atau “digitalisasi” yang mengubah pengalaman dari kelisanan atau keberaksaraan. Dalam hampir setiap bentuk komunikasi sebelumnya, pengirim pesan aktif, dan penerima pesan pasif. Orator bicara, audiens menyimak. Pengarang menulis, pembaca membaca. Kini dengan media digital, penerima pesan bisa mengontrol isi melalui saringan atau filter. Dalam fase ini sifat komunikasi manusia berubah: isi pesan saling dinegosiasikan melalui sistem yang dimediasi.

Membaca pantun karya Maria Roelie harus membawa kesadaran tersebut karena pantun-pantunya lahir ditulis dalam media digital (facebook, android, dan blackberry). Sebagai sebuah gejala hiperteks, ia bisa dibaca dari mana saja kita suka. Antarbait dan antarbab tak tidak terhubung secara sekuensial apalagi kausal. Sebagian terhubung secara tematik. Fakta teks ini merupakan implikasi dari penggunaan media berbasis teknologi internet. Ketika pantun-pantun tersebut dialihmediakan ke media keberaksaraan cetak (buku), konteks komunikasi pantun itu jadi hilang, tidak menarik, dan mungkin sulit dipahami maknanya, terutama untuk pantun yang bersifat interaktif, yaitu pantun yang ditulis untuk merespons serangkaian komunikasi melalui media digital itu.

Loktara, 8.2.2015, Radar Banjarmasin, 12.4.2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *