Novel sebagai Ekspresi Iblis

Novel sebagai Ekspresi Iblis

 

kerajaan-setan-jagat-indonesia-001-250x363Sebagai karya sastra, novel memberikan ruang bagi penulisnya untuk membentuk beragam dunia kemungkinan. Salah satu kemung-kinannya adalah memberikan ke-sempatan kepada para jin, setan, dewa, atau iblis berbicara. Inilah yang dilakukan Sabhan Saberi Syukur, nama pena dari Sabhan dalam novel pertamanya, Kerajaan Setan dan Jagat Indonesia (2012).

Novel ini diramu berdasarkan dua mitos utama di Jawa dan Banua, yakni mitos Nyi Roro Kidul dan
Raja Buaya. Novel berukuran 12 x 17 cm, nyaris seukuran buku saku, tebalnya 194 halaman dan terdiri atas 9 bab. Dengan menggunakan jenis huruf comic sans, novel ini terkesan sebagai bacaan untuk anak-anak. Tak ada informasi di sampulnya bahwa novel ini sebenarnya novel untuk pembaca dewasa karena di dalamnya banyak mengandung kata-kata yang kasar dan bermuatan ideologis.

Sampul novel ini secara semiotis menyiratkan makna yang ingin diungkapkan. Frase “Kerajaan Setan” diletakkan di posisi atas dengan jenis huruf berujung lancip-lancip dan berwarna merah. Merah bisa bermakna semangat, keberanian, sosialisme, kapitalisme, api, dan amarah. Sedangkan frase “Jagat Indonesia” ditulis dengan jenis huruf yang sama tetapi dengan warna putih, yang biasanya dimaknai suci, bersih, pucat, dan bahkan mati. Warna-warna itu mencerminkan corak Indonesia dalam novel ini.

Sementara warna kuning dilekatkan dengan nama penulisnya dan semua tulisan itu dikontraskan dengan latar warna hijau tua di atas gambar rumah kuno berarsitektur Eropa yang menampakkan kesan angker, di tengah hutan yang kering kerontang. Di halaman rumah tampak beberapa nisan. Warna kuning di Banjar secara antropologis dikaitkan dengan ritual-ritual magis. Warna itu seakan mengatakan bahwa penulisnya akan menyampaikan kisahnya secara realisme magis untuk menjelaskan fenomena perilaku manusia pada zamannya yang sulit dipahami dengan nalarnya. Dunia Atas (dewa-dewa) dipertautkan dengan dunia bawah (manusia) dalam dunia teks (wacana). Tidak terelakkan bahwa novel ini merupakan persilangan bermacam-macam teks yang menarik jika ditelusuri lebih jauh dan serius dengan pendekatan intertekstual.

Ceritanya dimulai dengan kepergian Roro Kidul menuju pertapaan. Ia pamit kepada suaminya, Joko Semprung dan peran melayaninya diserahkan kepada dayang kepala, Lastri. Kesempatan itu dimanfaaatkan Joko untuk serong dengan Lastri yang digambarkan dengan kisah pijat-pijatan. Sepulang Nyi Ratu Pantai Selatan itu dari goa pertapaannya, mereka tak ada di istana. Roro Kidul mencari mereka ke seluruh penjuru negeri sampai akhirnya mencari mereka di Kerajaan Borneo yang dipimpin oleh Raja Borneo Mangkurat alias Raja Buaya.

Ia curiga Raja Buaya telah menyembunyikan mereka berdua. Mereka bertarung dengan perjanjian jika Roro Kidul tidak berhasil mengalahkan Raja Buaya, ia harus jadi istrinya. Janji itu dipenuhi. Mereka jadi suami-istri kontrak. Setelah kontrak selesai Roro Kidul kembali bertapa di Pantai Selatan dalam keadaan hamil anak Raja Buaya. Ia menemui Dewa Siluman. Dewa Siluman itu membeberkan rahasia kesaktian Raja Buaya dan rahasia penciptaan Dewa-Dewa. Bahwa seluruh Dewa adalah ciptaan Allah (hal. 12). Semua Dewa pasti mati kecuali Mahadewa Iblis. Dewa Iblis leluasa menguasai manusia Amerika dan Indonesia. Dewa Siluman itu pun tahu bahwa anak yang dikandungnya perempuan dan ia beri nama Blorong.

Mahadewa Iblis tinggal di Istana Segitiga Bermuda didampingi Dewa Samiri alias Dewa Yahudi. Bab 2 berisi dialog mereka berdua tentang kekuasaannya di dunia manusia, bukan hanya di Amerika tapi juga di Indonesia. Dialog itu ditujukan untuk menyuarakan kesinisan pada dekadensi moral Islam mutakhir di tengah arus globalisasi.

Setelah Blorong lahir kemudian mencapai usia tujuh belas tahun, Iblis mengajarkan kesaktian untuk membunuh Raja Buaya Borneo. Blorong lebih sakti daripada Roro Kidul. Iblis mensyaratkan Blorong harus jadi istri Raja Buaya jika ingin berhasil membunuh Raja Buaya. Senjata pamungkasnya akan diberikan Iblis jika ia telah hamil. Blorong tidak langsung ke Pulau Borneo, ia jalan-jalan dulu ke Timur Tengah. Di sana ia bertemu dengan Mahmad Qarin, jin penjaga makam Muhammad. Pertemuan itu digunakan penulis untuk memberikan kesempatan kepada jin menyuarakan kebenaran tentang siapa yang mengabulkan doa di makam Muhammad (hal. 28), dan mengenai kebohongan mengenai kabar adanya nur Muhammad, penyesatan Ahmadiyah, kesesatan pemasangan gambar sahabat Nabi dan lain-lain.

Blorong juga bertemu dengan Dewa Raja, asisten Dewa Musyrik yang wilayah kerjanya di Indonesia. Dewa Musyrik mengendalikan para raja di Indonesia, termasuk Raja Banjar. Raja-raja itu sebut para agen kemusyrikan (hal. 55). Setelah itu dikisahkan Blorong memenangkan kontes kecantikan (hal. 63-66). Kemudian, ia dikisahkan merayakan haul dan ultah bersama Mahadewa Iblis. Saat Mahadewa itu memberikan sambutan, ia berkata, “Salam sejahtera buat kita semua. Alhamdulillah, saya telah sehat dan insya Allah akan sehat sampai kiamat…. (hal. 72). Tetapi ketika Dewa Samiri ditanya simpulan kerjanya, jawabnya, “Alhamduliblis. Semua berjalan lancar…. (hal. 74). Mahadewa bersyukur kepada Allah, dewa bersyukur kepada Iblis. Salam yang biasa dipakai di forum resmi juga digunakan oleh Mahadewa Iblis: Iblis yang meniru ekspresi manusia atau sebaliknya?

Akhir cerita, setelah Blorong berkelana ke berbagai negeri, ia menemui Raja Buaya, ayahnya sendiri yang ingin dibunuhnya. Raja buaya jatuh cinta pada Blorong dan bersedia menceraikan keenam istrinya atas permintaan Blorong. Blorong lupa pada niatnya. Ia kawin dengan Raja Borneo dan hamil. Sampai Mahadewa mengingatkan dan ia pun membunuh ayah dan ibunya sendiri. Blorong melahirkan anak yang juga diberinama Blorong dan ia berganti nama menjadi Roro Kidul. Joko Semprung pergi ke India beranak pinak di sana. Cerita ditutup dengan beberapa kalimat sebagai berikut: Dan Allah tersenyum di arasy-Nya mengapresiasi Iblis serta seluruh makhluk sejagat raya. Subhanallah. Alhamdulillah. Allahuakbar. Tiada Tuhan Selain Allah. Muhammad Utusan Allah. 

Apa kira-kira arti senyum Allah ketika mengapresiasi hasil kerja Iblis? Senyum sinis atau demikianlah arus hidup harus mengalir? Atau itu juga berarti bahwa Allah memaklumi kelemahan manusia dan kekuatan Iblis? Dengan demikian, secara tidak langsung novel ini ikut merestui segala kekacauan yang terjadi: Allah hanya tersenyum saja. Senyum itu bisa pula dimaknai bahwa Allah ramah pada segala keberhasilan kerja Iblis. Jika demikian, ini agak melawan logika umum.

Kelisanan dan Olok-olok

Novel ini tampaknya adalah ekspresi kegerahan penulisnya terhadap fenomena kehidupan yang dalam pandangannya ia anggap sebagai fenomena iblis: perselingkuhan, terorisme, hedonisme agama, seks bebas, kontes kecantikan, perayaan bid’ah. Namun kebencian yang berlebihan pada segala hal yang menggerahkan dirinya yang tak bisa ia ubah secara langsung membuat ia tampak jadi kurang adil pada kelompok manusia yang beragama lain. Dalam konteks ini, misalnya agama Hindu. Dewa merupakan kata kunci penting dalam agama Hindu. Jika Sabhan Islam dan mempermainkan Tuhan dalam sistem kepercayaannya sendiri, mungkin dapat dipahami, tetapi ketika ia bukan umat Hindu dan mempermainkan Dewa dengan nama-nama Dewa Adu Domba, Dewa-Dewi Kumpul Kebo, Dewa KKN, dan lain-lain (hal. 149-166), ini bisa menyakitkan bagi perasaan dari agama lain.

Namun, Sabhan jelas bukan seseorang yang dapat begitu saja terbebas dari memori kolektif masa lalunya. Ia pun bagian dari situasi religiusitas masyarakat yang oleh Alfani Daud disebut Islam Banjar, yakni Islam yang dalam praktiknya masih ditemukan unsur-unsur lain dari luar Islam, yakni peninggalan masa silam Hinduisme atau animisme.

Dalam novel ini dewa-dewa tidak lagi seperti pada zaman leluhur orang-orang Islam Banjar. Dewa-dewa itu digambarkan telah bersentuhan dengan globalisasi, demokrasi, urbanisasi, transmigrasi yang memungkinkan munculnya dewa-dewa dan juga iblis-iblis kontemporer: aparat penegak hukum yang dzalim, jurnalistik yang menghamba pada kekuatan-kekuatan kapitalistik, pendidikan yang dikomersilkan, lembaga agama yang hipokrit, dan banyak lagi. Sukses iblis dalam novel ini merupakan kegagalan manusia.

Novel ini lahir dari rahim masyarakat yang tak mampu menjaga kesatuan antara nilai tanda dan nilai guna, antara apa yang dikatakan dan dikerjakan, masyarakat dalam krisis keteladanan: masyakat inilah yang menjadi sasaran novel ini. Jika memang demikian, apakah Sabhan sendiri bisa lahir sebagai diri yang lain, yang tidak lahir dari rahim masyarakat ini? Novel ini berpretensi untuk bercerita dalam bahasa Dewa, tapi tetap tak kuasa membawa sifat-sifat kemanusiaannya yang juga dikuasai oleh Iblis. Dalam penyudutpandangan seperti ini, novel ini yang pertama di Kalimantan Selatan yang secara frontal bertentangan dengan novel-novel humanis. Novel ini bukan hanya mencerminkan masyarakat dan zamannya, tetapi sekaligus penulis.

goodomensNovel ini jelas dikembangkan dari beragam mitos lisan yang mengisahkan hubungan antara manusia dengan dewa atau dewa yang menjadi manusia. Dalam konteks sastra lisan yang dituturkan dalam lingkup yang terbatas, dewa tertentu pun diberi sifat-sifat yang buruk. Namun dalam novel ini, identitas Dewa pun benar-benar dirusak secara ekstrem. Sang novelis tak bisa mengelak dari karakter episodik cerita lisan. Karakterisasi lebih mengandalkan pada teknik parodi untuk memunculkan sindiran sinis dan humor. Mirip dengan novel Good Omens karya Neil Gaiman dan Terry Pratchett (2010) dan ini tentu Good Omens lebih menarik karena elemen penceritaannya diperhatikan dengan baik.

Yang diperalat penulis sebagai saluran pikirannya tentang apa yang dianggapnya kebenaran dalam Islam adalah Dewa Siluman, Jin penunggu makam Muhammad (hal. 34-35), dan Mahadewa Iblis. Dengan demikian, ia novel dakwah yang muatan dakwahnya lebih dominan  daripada kekuatan ceritanya. Dakwah fiksional berbasis jin, setan, dewa, dan iblis. Di hadapannya kita seperti sedang diceramahi para jin dan dewa serta dipermainkannya. Bahkan, jin penjaga makam Muhammad  digambarkan berwatak paradoks: suka bicara kebijak-sanaan dan kebenaran tetapi juga suka minuman keras, rokok, dan narkoba yang diperolehnya secara langsung atau tidak langsung dari Indonesia.

Beberapa tokoh jin dalam novel ini dapat disebut tidak datar tapi kompleks dan kacau. Namun sebagian besar hanya ditampilkan sebagai nama dan tuturan lisannya.  Karena tokoh-tokoh mitos, jin dan dewa hanya kita kitahui nama dan perkataannya saja, mereka tidak utuh sebagai tokoh. Selain itu, ceritanya pun mudah ditebak sejak membaca bab pertama. Tokoh yang menarik dalam cerita harus berubah: diubah keadaan, mengubah keadaan. Bukan tokoh yang telah terpolarisasi sejak awal cerita bahwa yang baik, yang munafik, yang ngawur akan selamanya begitu sampai cerita selesai.

Coba bandingkan dengan cerita dalam film animasi Hotel Transylvania (2012), film animasi tentang anak Drakula yang ingin mengenal dunia manusia. Bangsa Drakula yang hidup terisolir mengira bahwa manusia tak berubah dan manusia mengira Drakula itu penghisap darah. Film ini memberikan ruang bagi Drakula untuk bicara bahwa mereka tidak sejahat apa yang digambarkan oleh manusia. Sebaliknya manusia tak percaya lagi pada mitos Drakula  yang jahat karena mereka sebenarnya tak ada meskipun menurut film ini ada.

Film ini menarik karena fokusnya untuk bercerita, menghibur dan menawarkan nilai-nilai hikmah yang universal, bukan untuk menyerang atau mengolok-olok keyakinan kelompok tertentu seperti yang dilakukan novel ini. Jadi, jika ceritanya tentang jin yang pada umumnya dikenal jahat lalu di dalam fiksi dikisahkan kejahatan mereka sebagai saluran penulis untuk menyerocoskan keyakinan agamanya kepada pembaca, lantas di mana letak kebaruan dan daya tariknya? Dalam kondisi teks seperti ini novel ini mungkin menarik dibaca oleh peminat wacana jin dan novel posmodernis. Memfiksikan keyakinan agama bukan tanpa risiko, sebab yang demikian bisa mendorong orang untuk berkesimpulan bahwa ternyata agama juga fiksi. Demikianlah kemungkinan yang dapat ditimbulkan oleh kehadiran novel ini.

Banjarmasin, 14/1/2013

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *