Kotabaru dalam Cerpen Ratih: Cerpen sebagai Sejarah Alternatif
Hampir dua tahun lebih kita tak membaca cerita pendek (cerpen) karya Ratih Ayuningrum, cerpenis dari Pulau Laut, Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel). Selama itu saya mengira Ratih telah berhenti berkarya setelah menikah. Dugaan itu jelas salah ketika kumpulan cerpen (kumcer)-nya yang kedua, Pelangi di Ujung Senja, diterbitkan Tahura Media (2013).
Ada sembilan cerpen dan cerpen keempat dipilih sebagai judul bukunya. Kesembilan cerpen tersebut ditulis antara 2008 sampai 2010. Entah apakah ia masih menyimpan cerpennya dari 2011-2012. Tidak ada keterangan dalam buku ini mengenai riwayat publikasi. Dugaan saya, karya-karya ini belum pernah dipublikasikan di media apapun. Kecuali dugaan ini salah juga. Jika dugaan ini benar, Ratih tentu sedang memperhitungkan manfaat administratif dan ekonomis dari pemublikasiaan karyanya di media lokal.
Pilihan mempublikasikan karya dalam bentuk buku paling tidak memberikan manfaat baginya untuk mendongkrak angka kreditnya sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan yang memang relevan dengan aktivitas sastra: guru Bahasa Indonesia. Dengan buku ini, Ratih seperti mengajak para cerpenis Kotabaru lainnya untuk bangkit. Paling tidak ada empat cerpenis dari kota Saija’an yang bisa dibanggakan selain Ratih, yakni Moh. Gazali, Ifti Handayani, dan Dian Mahardika.
Kehadiran kembali karya Ratih seperti mengingatkan publik Kalsel bahwa pada suatu masa yang silam, sastra Kalsel memiliki beberapa cerpenis perempuan yang aktif menulis saat mereka masih lajang, dan jarang dan bahkan tak pernah lagi membagi karya imajinatif mereka ketika mereka naik pelaminan. Fakta ini menunjukkan bahwa menulis bukan pilihan yang mudah bagi mereka. Beruntung publik sastra Kalsel masih memiliki beberapa contoh bahwa pelaminan bukan penghalang untuk menulis, seperti telah dibuktikan oleh Kalsum Belgis, Nailiya Nikmah, Ratih Ayuningrum, Hatmiati Masy’ud,dan Dewi Alfianti.
Cerpen dalam kumcer ini ditulis dalam kurun yang berbeda. Setiap masa itu memberikan pengaruh yang berbeda pada cerpen Ratih. Tampak jelas secara kebahasaan Ratih bukan mengalami peningkatan dalam mengeksplorasi bahasa dan cerita. Cerpen-cerpen pada 2008 terasa lebih indah daripada cerpen-cerpen setelahnya.
Bandingkan saja cerpen “Adegan Gelap” (2008), cerpen pertama, dan “Yang Tanpanya, Semua Hanya Hampa” (2009), cerpen keenam. Meskipun cerpen ke-6 itu dikisahkan dengan teknik sudut pandang multi-akuan, secara kebahasaan terdapat beberapa ekspresi yang terasa kurang efektif, misalnya pada ungkapan: Aku melirik arloji di pergelangan tanganku.
Siapapun tahu, arloji biasa dipakai di pergelangan tangan. Ini pernyataan yang tak efektif. Penjelasan tentang arloji baru penting jika ia menyimpang dari kebiasaan. Dalam banyak hal, cerpen pertama lebih unggul dalam efektivitas berbahasanya dan pilihan modus penceritaannya, yakni meletakkan masa silam dalam gelap pejaman mata sang narator yang tengah melakukan perjalanan dengan bus dari Banjarmasin menuju Kotabaru. Cerpen ini juga mendokumentasikan kondisi jalan yang rusak dan bus yang kurang layak pada 2008.
Contoh lainnya pada percakapan antara Karim dan istrinya. Istrinya berkata begini, “Lantas, modal dari mana untuk membeli perlengkapan menjual air tersebut?….” Percakapan ini terjadi pada cerpen ke-7, “Sejuk itu pun Ternyata adalah Bara”. Cerpen ini mengisahkan keluarga miskin yang dililit hutang. Potret sastra tentang kemiskinan di Kotabaru, kabupaten yang konon memiliki pendapatan asli daerah terbesar di Kalsel ternyata pada 2009 masih belum terbebas dari haji rentenir dan orang-orang miskin yang ditelikung hutang. Cerpen ini bisa menjadi catatan kaki bagi laporan sejarah resmi kesejahteraan rakyat pada masa itu.
Mengapa pernyataan itu terbaca kurang indah? Bahasa percakapan itu terlalu formal, kaku, dan sangat terkesan diucapkan oleh orang-orang berpendidikan tinggi. Dengan kata lain, dialog itu tidak tepat untuk menggambarkan kelas sosial sang tokoh.
Bukan cuma dalam cerpen ini, Ratih juga mengungkap kisah sedih orang miskin di Kotabaru dalam cerpennya yang terakhir dalam kumcer ini, “Malam Minggu di Siring Laut.” Cerpen ini mengajak pembacanya mengimajinasikan kemiskinan penjaja pentol yang terpaksa curang karena kemiskinan. Meskipun tidak terlalu tajam, Ratih masih berkutat menarasikan kemiskinan dari sisi akibat sistemik dari pemiskinan.
Eksperimennya untuk mengangkat isu pemiskinan belum diimbangi dengan pendayagunaan bahasa yang efektif dan imajinatif serta pengetahuan yang dalam mengenai kerja pemiskinan sosial di kotanya. Cerpen-cerpen terakhir seperti meramalkan Ratih untuk memasuki ranah sosial daripada berkutat pada masalah personal, meskipun dalam yang personal membawa serta secara tak langsung aspek-aspek sosial, seperti yang ditunjukkan oleh cerpen pertama dalam kumcer ini.
Kumcer ini bukan hanya dokumen sejarah perkembangan estetika cerpen Ratih tetapi juga dokumen alternatif untuk merekonstruksi sejarah besar dan resmi tentang Kotabaru. Ratih dan orang-orang Kotabaru perlu melakukan refleksi atas apa yang telah terjadi agar tak jadi pelupa abadi, yakni melakukan kesalahan yang sama di tempat yang sama pada waktu yang berbeda. Dalam konteks ini, apapun kondisi kumcer ini tetap layak dibaca terutama oleh pembaca dari Kotabaru yang ingin menghayati dan memahami lebih dalam hakikat mereka sebagai warga Kotabaru, khususnya dan sebagai manusia pada umumnya.
Loktara, 18/4/2013, Radar Banjarmasin, 21/4/2013