I Feel “Good” Governance

I Feel “Good” Governance

tabel-ggPercaya atau tidak, pada suatu sore saya dikejutkan oleh kehadiran sesuatu yang memperkenalkan dirinya dengan cara yang aneh sebagai good governance. Inilah kisahnya.

***

Kenalkan, nama saya Good Governance, sebuah konsep yang sedang jadi mantra di kantor-kantor birokrasi dan jadi slogan di spanduk atau baliho di jalan-jalan utama sebuah kota, kabupaten, atau provinsi. Tiba-tiba akhir-akhir ini saya jadi begitu penting daripada sekian nama yang telah lama ada dalam kamus-kamus bahasa. Saya kini jadi idola.

Maaf kalau Anda agak kesulitan melafalkan nama saya. Apalagi Anda yang terlanjur benci bahasa Inggris (atau benci guru bahasa Inggris yang telah membuat Anda benci keduanya, ah… entahlah). Saya sudah terbiasa disalahlafalkan oleh para fans saya. Tapi saya tak bisa mengoreksi mereka, apalah daya saya karena saya hanyalah sebuah konsep, sebuah istilah, sebuah kata, tapi punya pesona luar biasa.

Sebagai idola, saya tentu punya banyak misteri yang tak perlu diketahui oleh para fans saya. Misteri itu salah satu sumber pesona. Seperti halnya mengapa Tuhan dipuja sampai hari ini? Tentu, salah satunya, karena Dia adalah Sang Maha Misteri. Tetapi, sebagai makhluknya, misteri saya sangat kecil, tidak luhur dan bahkan bisa dibilang kerdil.

Karena itu saya ingin menceritakan misteri saya tentu bukan kepada fans saya. Semoga Anda bukan fans saya. Tapi kalau ternyata ya, biarlah, saat ini saya ikhlas dibenci sebagai konsep daripada terus-menerus menyesatkan fans saya, dan Anda. Ya, Anda yang belum bersalah karena belum  pernah mengidolakan saya, karena mungkin Anda telah tahu bahwa saya sebagai konsep bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru. Dan Anda telah mencium bau busuknya di koran-koran, di spanduk-spanduk, di laporan-laporan penelitian pembangunan yang dibuat dengan semangat tikus.

Sebagai konsep yang keren karena namanya tidak berasal dari pedalaman banua, tapi diimpor lewat jejaring dunia maya dan bahkan sebagian naik pesawat melewati puluhan samudera, tentu dilahirkan dari rahim suci. Orang tua kami yang pertama merawatnya dengan penuh semangat pembaharuan sejati hingga akhirnya mereka mampu membangun pusat-pusat peradaban baru di era milenium ini. Tapi, ketika saya masuk ke sebuah negara dan dilempar ke daerah-daerah, apalagi daerah seperti ini yang telah bersekutu dengan byar-pet lampu, kesemerawutan kota, dan kemajuan-kemajuan semu, saya menjadi tidak sejati lagi.

Nasib saya jadi sama seperti konsep-konsep yang di negeri asalnya taat azas, begitu sampai di sini jadi sesat pikir. Misalnya, konsep rekayasa sosial yang semestinya konstrukstif, edukatif, dan ekstensif, di sini jadi rekaya politik yang destruktif, hipokrit, dan intensif. Begitu pula dengan istilah proyek. Di negeri asalnya yang namanya project atau proyek adalah bentuk-bentuk kerjasama untuk membangun paradigma atau sesuatu yang konkret yang dampaknya dapat dirasakan langsung oleh publik atau komunitas yang sedang melaksanakan proyek tersebut. Yang mereka pikirkan adalah proses, kerja, dan hasil.

Tapi di sini, pekerjaan yang besar dilakukan dengan kecil hati dan semangat besar merampok anggaran. Proyek bernilai Rp. 100 juta, hanya dikerjakan dengan Rp. 20 juta atau lebih rendah lagi dengan rekayasa sana-sini dan melibatkan satu sampai tiga orang. Orang-orang yang telah mendapatkan bagian uang segar hanya mau tahu barasih. Sebenarnya mungkin mereka juga siap masuk penjara, tapi di negeri kita tikus mulai lebih bermartabat daripada kucing karena tikus sudah tahu rahasia bagaimana main kucing-kucingan dengan kucing, sementara kucing belum pernah dengar bahwa tikus telah lama mengembangan permainan tradisonal mereka dengan gaya baru yaitu main good governance, ya itulah saya.

Good di negeri asalku jadi bad di negeri ini. Anda harus maklum mengapa di daerah yang konon jadi daerah percontohan sebagai kota percontohan good governance, semangatnya nyangsang sampai ke pinggir-pinggir jalan dan dinding-dinding kantornya penuh dengan tulisan-tulisan bermoral yang maunya mau menjunjung tinggi kejujuran dan transparansi administrasi. Tapi juga tak perlu terlalu kagum karena tulisan-tulisan itu bernasib sama dengan saya.

Cuma sebagai hiasan, seperti mereka telah biasa menjadikan Tuhan sebagai hiasan semata. Kebesaran Tuhan cukup di mulut saja. Tapi mereka tak mau disebut sekuler. Mereka maunya disebut muslim sejati, atau dalam istilah saya sejahat-jahatnya muslim sampai mati. Ya, tapi apalah dayaku sebagai konsep yang sangat ingin membuat republik atau kota ini benar-benar clean tanpa so. Sebab kalau clean ditambah so bagi saya terkesan sok clean atau sok bersih.

Pemerintah yang sok bersih itu adalah pemerintah yang berkelahi dalam soal transparansi. Transparansi kok berkelahi. Pengumuman lelang di media massa hanyalah sandiwara karena pemenang-pemenang tendernya sebenarnya sudah main mata dengan pihak-pihak berwenang dan yang terkait. Saya jadi konsep yang sakit di kota edan seperti ini.

Kalau Anda membaca konsep-konsepku di spanduk seperti ini, “Biar haja proyek kada bahonor lagi kami tatap bagawi sasuai aturan,” Anda jangan lantas percaya bahwa para pekerja proyek itu tak dapat apa-apa. Tapi ini sebentuk semangat yang so clean tadi, sok semangat, sok cangkal bagawi ikhlas. Pernyataan itu adalah salah produk dari Good Governance yang good di mulut tapi bad di hati.

Maksudnya, dalam akal bulus proyek-proyek yang berbasis nafsu untuk bancakan, mencari celah-celah untuk korupsi dengan bahasa-bahasa birokrasi yang manis, memang sengaja mengecilkan, bahkan ingin meniadakan, honor karena berapapun kecilnya honor dalam proyek, pasti kena pajak. Rupanya mereka benar-benar menjalankan prinsip-prinsip memperkaya diri ala Robert T. Kiyosaki di jalur korupsi. Setiap proyek pembangunan sebisa mungkin mata anggaran pengeluarannya harus direkayasa agar terhindar dari jeratan pajak.

Kalau mafia bisnis menghindar dari pajak, tentu juga salah dan telah terus jadi kreativitas buruk yang dilalaikan oleh sistem pengamanan pajak di negeri ini. Mereka juga punya semangat melawan perpajakan. Tetapi bagaimana jika abdi negara yang sebagian gajinya juga berasal dari pajak tetapi punya semangat anti pajak. Tapi sikap mereka pun tak sepenuhnya salah, karena PNS bergaji pas-pasan rupanya punya persepsi buruk terhadap institusi negara pengelola pajak. Bagi sebagian mereka, pajak juga semacam mafia yang buruk yang jauh dari prinsip-prinsip clean management.

Kalau ternyata Anda diam-diam mengagumi saya sebagai sebuah konsep good governance, tolong simpan saja rasa kagum itu. Kalau perlu buang saja karena mulai hari ini saya ingin berhenti jadi idola sebab ternyata saya disalahgunakan untuk jadi topeng korupsi tingkat tinggi. Mulai sekarang saya sarankan untuk mengampayekan Greedy Governance. Itu lebih tepat.

Jika Anda setuju, saya sebagai konsep good governance akan kembali ke sorga sambil bernyanyi, “I feel good… a good governance. So good, so good, I’ve got you!” dan melambaikan tangan menyambut kepergian Greedy Governance ke neraka jahanam. Di sana ia tak akan kesepian karena akan bertemu dengan pakar-pakar penting dalam soal rekayasa kepribadian dan rekayasa ekonomi rakus dengan total manajemen kaya di dunia dengan metode dari neraka. Selamat menikmati a greedy good governance. Sebuah dunia penuh oksimoron, penuh paradoks dan kontradiksi, yang terbit dari jiwa primitif dan kelaparan abadi manusia yang tercipta dari api.

***

Akhirnya dia pergi. Sebagai penulis, saya tak bisa apa-apa selain berupaya agar kisah itu tak jadi sampah dalam pikiran.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *