Anakronisme Cerpen “Geheugen Gallery”

Anakronisme Cerpen “Geheugen Gallery”

Setiap kali ada nama sastrawan dari Kalimantan Selatan (Kalsel) muncul di media cetak bertiras nasional atau media cetak yang terdistribusi secara nasional, saya ikut bangga karena kenyataan itu langka dalam arti tidak dapat terjadi setiap hari Minggu, hari sastra nasional di republik ini. Selain itu, mereka merepresentasikan keberadaan sastra Kalsel di media tersebut. Kemunculan mereka patut diapresiasi.

Di antara ratusan nama sastrawan yang sering berjubel di antologi sastra lokal maupun nasional bantingan, nama sastrawan dari Kalsel yang mampu menampilkan karyanya di media cetak bertiras nasional dalam lima tahun terakhir dapat dihitung dengan jari. Mereka antara lain: Jamal T. Suryanata (cerpen Horison), Hudan Nur (Puisi Horison), Micky Hidayat (Puisi Horison), Sandi Firly (cerpen Kompas), Zaidinoor (cerpen Kompas), dan Miranda Seftiana (cerpen Kompas).

Selain kelangkaan dan keterwakilan, karya yang mampu terbit di media bertiras nasional juga menguntungkan secara ekonomi karena honorarium yang mungkin mereka terima biasanya relatif lebih besar daripada honorarium yang diberikan oleh media lokal. Apakah, karya yang terbit di media besar tersebut pasti berkualitas? Tentu tidak selalu begitu. Misalnya, kasus cerpen Miranda Seftiana.

Pada 27 Maret yang lalu, cerita pendek “Geheugen Gallery” karya Miranda Seftiana, dimuat oleh Kompas, media cetak terbesar di Indonesia. Cerpen itu cerpennya yang kedua di Kompas dalam waktu satu tahun. Miranda adalah perempuan pertama dari Kalsel yang karyanya dimuat di media tersebut.

Cerpennya yang kedua ini mengandung dua unsur yang sangat mengganggu. Sebagian dari unsur tersebut dapat disebut anakronisme. Menurut Nurgiyantoro (1998: 237-238), dalam konteks mimetik sastra, anakronisme mengacu pada dua hal: pertama, pada kekacauan dan kerancuan penggunaan waktu dalam pengertian adanya ketidaksesuaian antara waktu cerita dengan waktu sejarah. Misalnya, adanya nama-nama benda yang tidak sesuai dengan waktu atau tempat tertentu. Kedua, anakronisme merujuk pada cerita yang tidak logis secara umum.

Anakronisme cerpen Miranda terkait dengan dugaan bahwa ia memplagiasi ide dan frase sekaca cempaka, tentang kasih tak sampai yang disimbolkan dengan cempaka dalam botol yang oleh Nailiya Nikmah disebut sekaca cempaka. Munculnya frase sekaca cempaka dalam sastra Kalsel dan mungkin juga di Indonesia, tampaknya sangat terkait erat dengan novel Sekaca Cempaka karya Nailiya Nikmah (2014). Miranda menggunakan frase itu dalam cerpennya tanpa memberikan catatan bahwa ia meminjam konsep tersebut dari novel Nailiya.

Apa tanggapan Miranda atas dugaan plagiasi frase itu? Di status Nailiya Noor Azizah (31/3), Miranda menulis begini:

Saya sampai hari ini belum membaca novel Sekaca Cempaka meski pernah berdiskusi dengan Mbak Nailiya Nikmah di acara Aruh Sastra 2014. Mohon maaf atas kekeliruan saya tidak mencantumkan nama beliau di dalam cerpen atas peminjaman frasa Sekaca Cempaka. Saya tidak tahu bahwa ini bukan istilah yang lazim, ini murni keterbatasan pengetahuan saya. Saya mengagumi cempaka dalam kaca ini ketika menemukan langsung di rumah peninggalan Datu yang dulunya berbentuk rumah Banjar panggung. Menurut cerita keluarga pihak Ibu, sebenarnya dulu cempaka itu sepasang namun lantaran datu tak berjodoh maka yang tertinggal hanya warna kuning. Datu saya adalah pihak perempuan. Keluarga kami hanya menyebutnya cempaka dalam botol kaca karena memang disimpan dalam botol minuman bergrafir tulisan Belanda. Demikian penjelasan saya, mohon maaf atas kekeliruan saya.

Miranda telah mengaku salah. Dia lupa mencantumkan catatan kaki seperti biasa dilakukan oleh Seno Gumira Adjidarma ketika ia meminjam kata-kata, frase, kalimat, dari karya sastrawan atau seniman lain. Misalnya, ketika Seno menulis cerpen “Partai Pengemis”, dalam catatan kakinya Seno menjelaskan bahwa ceritanya adalah adaptasi dari komik Walet Merah karya Hans Djaladara. Dalam cerpen ini Seno meminjam selarik dari puisi Kepada Peminta-minta karya Chairil Anwar, dan selarik dari sajak Lalat karya Sutardji Calzoum Bachri sebagai bagian dari paragraf pembuka cerita. Demikian pula ketika Eka Kurniawan menulis cerpen “Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi”, dengan tegas ia menyatakan bahwa ia terinspirasi kisah “The Ruined Man Who Became Rich Again Through a Dream,” bagian dari The Arabian Nights, terjemahan Sir Richard F. Burton. Jika memang Miranda terinspirasi oleh kisah Sekaca Cempaka, novel yang setema dengan cerpennya, yakni tentang cinta yang tak sampai, akui saja, seperti sastrawan hebat itu melakukannya. Bagi saya, cerpen Miranda itu adaptasi novel Sekaca Cempaka untuk kebutuhannya sendiri.

Kedua, cerpen “Geheugen Gallery” tidak akurat menyebutkan lokasi Rijksmuseum Volkenkunde dan tahun 1829 disebut abad ke-18.

Rijksmuseum Volkenkunde di musim bunga tulip bermekaran. Aku melangkah gontai menuju pintu masuk museum nasional Belanda yang terletak di bagian timur laut Museumplein, Amsterdam, Belanda ini. Sebuah tempat yang dirancang oleh Pierre Cuypers sebagai dedikasi bagi seni, sejarah, dan kenangan. Membawa hati yang baru saja dilepaskan demi sebuah tanggung jawab.

Aku dalam pembukaan cerpen ini adalah perempuan, orang Belanda. Sungguh keterlaluan jika ia tidak tahu bahwa museum nasional Volkenkunde itu tidak berada di Amsterdam tetapi di Leiden. Untuk memeriksa akurasinya sangatlah mudah saat ini. Ketik saja di mesin pencari, museum apa saja yang ada di Museumplein Amsterdam? Tidak ada museum Volkenkunde di sana. Hilangkan saja kata Volkenkunde, maka pembukaan cerpen ini dapat diterima dengan baik.

Alinea lain yang janggal sebagai berikut:

Kami berjalan menuju lantai ketiga, sebuah galeri tempat menyimpan barang peninggalan abad ke-18 Masehi. Dia bilang di sanalah bendabenda yang memiliki kenangan bagi pemiliknya tersimpan. Mataku seketika memicing saat bertumbuk pada sebuah benda yang terkesan tak lazim disimpan dalam sebuah museum. Terlebih sekelas Rijksmuseum yang terdiri dari 4 lantai ini. Ia seakan mengerti dengan jalan pikiranku.

“Itu namanya sekaca cempaka. Ia adalah lambang keabadian cinta.”

 

Pada alinea inilah muncul frase sekaca cempaka yang menurut logika cerita ini, frase itu telah ada pada abad ke-18, padahal kenyataannya frase itu baru diciptakan oleh Nailiya Nikmah pada abad ke-21. Diksi itu merusak logika cerita. Miranda dalam cerpen ini bicara tentang sejarah, tetapi ia lupa bahwa kata punya sejarah. Analogi sederhananya, pada abad ke-18 belum  ada kata facebook atau selfie.  Miranda menyebutkan abad ke-18 terkait dengan alinea ini:

Sepasang manusia berbeda bangsa itu tersenyum tipis. Tangan mereka mengusap cempaka yang tersimpan dalam botol kaca dari minuman bergrafir bahasa Belanda dengan 1829 turut tercetak di sana. Galuh sendiri yang merangkai sekaca cempaka itu untuk dibawa Dageraad ke negerinya sebagai kenangan. Menurut legenda, jika berjodoh, kelak sepasang cempaka kuning dan putih yang disimpan dalam botol kaca dengan air itu akan ada di tempat yang sama. Tetapi jika tidak, ia akan tetap membuat pemiliknya saling terikat meski terpisah asalkan tidak dipecahkan.

 Apakah tepat menyebut 1829 itu bagian dari abad ke-18? Apakah tepat menyebut cempaka dalam botol pada tahun itu sebagai sekaca cempaka? Pada alinea sebelumnya telah dijelaskan.

Ingat pesan A. S. Laksana (2012) (semoga Miranda juga mau baca nasihat-nasihatnya): “Ketika Anda menulis cerita, maka dunia yang Anda bangun harus logis. Logika Anda harus beres karena Anda menulis fiksi. Kenyataan sehari-hari boleh tidak logis, tetapi fiksi harus sangat logis.  Tidak peduli bahwa cerita itu simbolis atau realistis atau absurd, logika harus beres.”

Saya kira redaktur cerpan Kompas khilaf dan ini bukan kekhilafan yang pertama. Pada 2010 Publik menilai cerpen “Kemarau” karya Andrea Hirata yang dimuat Kompas pada 25 Juli 2010 hanya saduran dari dwilogi Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas karya penulis yang sama. Karena pemuatan cerpen tersebut Kompas dinilai mengesampingkan cerpen orisinil menjadi arena promosi novel terbaru sang penulis (Daeng Anto, indonovel.com).

Pada 30 Januari 2011, Kompas memuat cerpen “Perempuan Tua dalam Rashomon” karya Dadang Ari Murtono, yang menjiplak cerpen “Rashomon” karya Akutagawa Ryunosuke. Selain menjiplak cerpen Dadang itu telah dipublikasikan di Lampung Post, pada 5 Desember 2010. Setelah diprotes oleh beberapa pembaca, akhirnya Kompas mengeluarkan pernyataan ini: “Setelah melakukan pengkajian dan menimbang berbagai masukan, cerpen ‘Perempuan Tua dalam Rashomon’ tulisan Dadang Ari Murtono, yang dimuat Kompas Minggu (30/1), dinyatakan dicabut dan tidak pernah termuat dengan berbagai alasan.”

Cerpen “Bendera” karya Sitok Srengenge (Kompas, 8 Mei 2011) pun diolok-olok pembaca karena kualitasnya yang dinilai hanya cocok untuk ruang Kompas Anak. Karena pemuatan cerpen ini, Kompas dinilai lebih mempertimbangkan nama besar pengarang daripada kualitas karya.

Kasus cerpen Miranda ini tentu beda dari kasus cerpen Dadang. Dugaan plagiasinya tidak terletak pada kesamaan ekspresi kebahasaan tetapi pada kesamaan ide menjadikan sekaca cempaka sebagai simbol kelanggengan cinta dan titik tolak untuk menceritakan kisah cinta yang tak sampai. Di dunia, tentu banyak model cerita cinta tak sampai, akan tetapi model sekaca cempaka dipelopori oleh Nailiya Nikmah. Jika kita berpedoman pada daftar jenis plagiasi yang dipublikasikan oleh University of Pittsburgh tahun 2008 (en.writecheck.com), plagiasi cerpen karya Miranda termasuk jenis: copying pieces (sentences, key phrases) of the source text without citation. Saya meyakini bahwa frase sekaca cempaka itu tak bisa dilepaskan dari Nailiya Nikmah seperti aku binatang jalang yang tak bisa dilepaskan dari Chairil Anwar. Bisa juga termasuk pada jenis: incorporating an idea heard in conversation without citation, jika mempertimbangkan penjelasannya pada status Nailiya Noor Azizah di atas.

Jadi, akurasi latar, waktu, dan diksi sangat penting dalam konstruksi fiksi yang meyakinkan dan logis. Fiksi bukan sekadar berindah-indah kata, apalagi sampai mengabaikan logika dan etika. Meskipun celah khilaf redaktur selalu terbuka, penulis yang bertangungjawab dan punya integritas tidak akan pernah memanfaatkan celah itu untuk uang dan popularitasnya. Dalam konteks inilah membaca karya secara kritis sangat penting.

Apakah pembaca yang budiman bisa menunjukkan contoh cerpen anakronistik yang lain? Mari kita berbagi pengalaman membaca sebagai bentuk upaya menguatkan sistem literasi, yakni sistem yang memerlukan interaksi gagasan antara penulis dan pembaca. Segala tegur sapa tak perlu disikapi terlalu defensif, apalagi sampai menganggap setiap kritik dan saran sebagai ancaman bagi dan pembunuhan mental penulis muda. Terbukalah pada kritik karena mereka telah dengan sukarela mencurahkan pikiran memikirkan karya Anda.

Loktara, 1/4/2016, Media Kalimantan, 3/4/2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *