Cerpen Antikorupsi Dewi Alfianti

Cerpen Antikorupsi Dewi Alfianti

Dewi Alfianti adalah salah satu penulis cerpen berbakat dari kalangan perempuan di Kalimantan Selatan. Putri sastrawan ternama Kalsel, Ajamuddin Tifani, ini bukan hanya menulis puisi, tetapi juga telah menulis sejumlah cerita pendek, naskah drama, dan esai-esai politik, pendidikan, dan kebudayaan. Karyanya lebih banyak tersebar di media regional, terutama di Radar Banjarmasin dan Media Kalimantan. Sebagai aktivitis antikorupsi, akhir-akhir ini ia mulai menulis cerpen tematik, yakni cerpen-cerpen antikorupsi. Tulisan ini mencoba menilai dua cerpennya yang bertema anti korupsi.

Cerpen “Perempuan yang Menunggu Pesawat” karya Dewi Alfianti di Media Kalimantan (22/1/2012: A5) secara tematik cukup menarik di tengah kelangkaan cerpen yang menyinggung soal korupsi. Namun, isu korupsi tidak didalami secara intens sebagai sebuah modus permainan elite munafik. Ranah ini sungguh menjanjikan ranah dramatis pergolakan lahir dan batin para tokohnya. Sayang sekali, cerpen ini tidak menjelajahi kehidupan asmara antara perempuan itu dengan pengusaha batubara yang mendorongnya melakukan korupsi.

Cerpen Dewi ini justru terfokus pada seorang perempuan cantik, kurus, dan berwajah tirus, yang selalu terlihat berdiri di salah satu bagian pagar kawat pembatas Bandara Syamsudin Noor dan jalan raya, selepas Maghrib menjelang Isya. Perempuan itu bernama Tiana, istri simpanan pengusaha batubara. Di pagar kawat itu ia dikisahkan menunggu suaminya yang juga suami perempuan lain. Kebiasaannya itu dikira sebagai kebiasaan perempuan yang abnormal atau mengalami gangguan mental oleh sekelompok lelaki jahat yang memperkosanya beramai-ramai. Karena kejadian itu, dia mengalami gangguan kejiwaan.

Dalam cerpen ini Tiana digambarkan sebagai perempuan pasif, bodoh, tanpa daya. Identitas Tiana diterangbenderangkan, sementara identitas tokoh yang lain tak diketahui. Identitas Tiana disampaikan melalui tuturan tukang ojek yang telah membaca berita di koran lokal tentang pemerkosaan yang dialaminya:

Tiana bukan orang Banjar asli, dia perempuan Sunda. Untunglah tempat dia tinggal, sebuah kompleks perumahan di Landasan Ulin adalah tempat yang ramah dan kondusif untuk kaum pendatang. Karena di sana juga banyak tinggal pendatang.... (kolom 4)

Tukang ojek itu pun mengisahkan identitas pemerkosa yang ia ketahui pula dari koran:

Pemuda-pemuda itu bukan orang Landasan Ulin, tak jelas juga mereka dari mana. Kalau mereka berasal dari Landasan Ulin, mereka takkan berani mengganggu perempuan itu.... (kolom 3)

Cerpen ini lebih banyak mengisahkan kemalangn perempuan dan kemaskulinan laki-laki yang jahat. Cerita ini dikisahkan dari sudut pandang tokoh aku yang yang bekerja di KPK. Tokoh perempuan dalam cerpen ini yang menjadi kata pertama dalam judulnya bukan sosok perempuan inspiratif yang dapat membangkitkan semangat pembaca. Perempuan dalam struktur cerita ini jelas merupakan manusia yang tertindas. Perempuan hanya diceritakan, dilihat, diposisikan, dan dibungkam. Ia tidak menceritakan dirinya sendiri. Tiana tak bicara apa-apa.

Dalam hal identitas, agak rancu memang soal dari mana datangnya ungkapan “bukan orang Banjar asli”? Apakah dari koran yang dibaca tukang ojek atau itu tafsiran si tukang ojek terhadap koran yang mungkin hanya memberitakan Tiana sebagai orang Sunda?

Apapun jawabannya, persoalan Banjar asli atau bukan merupakan hal yang diisyaratkan cerpen ini sebagai sesuatu yang penting. Cerpen ini mungkin setali tiga uang dengan koran dan tukang ojek dalam menyikapi orang asli dan pendatang. Pendatang dalam cerpen ini lebih banyak ditampilkan sebagai sumber masalah. Perempuan Sunda, pengusaha batubara asal Surabaya, pemuda pemerkosa yang entah datang dari mana (juga pendatang) adalah sumber-sumber masalah dalam cerita ini.

Atmosfer cerita semacam itu membangun imajinasi citra oposisional yang bisa ditafsirkan membenturkan orang asli dan pendatang. Tukang ojek, koran, dan penulis cerpen ini bisa saja secara tak sadar ingin menempati posisi sebagai yang asli. Meskipun tentu tidak semudah itu. Sebagai bagian dari wacana identitas yang lebih besar, cerpen ini pun ikut membocorkan sebuah suasana sosial ketika masalah asli Banjar dan pendatang dijadikan senjata untuk berebut kekuasaan di Kalimantan Selatan.

Alur cerpen ini begitu longgar, datar, dan lebih bersifat episodik, sebagaimana biasa terjadi dalam cerita-cerita dari tradisi lisan. Aspek ini dapat dikenali dengan mudah pada penggunaan unsur cerita yang berbasir “ujar”, yaitu ujar koran atau ujar tukang ojek. Karena longgar dan episodik, akhir cerita tidak memberikan kejutan apa-apa dan masalah yang diceritakan tak perlu dicari penyelesaiannya. Di akhir cerita, perempuan itu dikisahkan mengawasi kantor KPK di Jakarta, tempat kantor si narator dan tempat suaminya disidik. Jika aspek keinginan tokoh dijadikan dasar penentuan ada dan tidaknya sebuah cerita, cerpen ini termasuk cerpen yang tidak memiliki cerita dalam pengertian itu.

Sebagai sebuah ilustrasi tentang adanya cerita dapat kita lihat dalam film Finding Nemo. Nemo dikisahkan sebagai tokoh yang ingin lepas dari kungkungan kasih sayang ayahnya yang overprotective. Keinginan itulah yang membuatnya berjuang keras tapi sialnya ia ditangkap dokter gigi dari Sydney. Nemo tentu ingin melepaskan diri dan ayahnya sudah tentu ingin mencarinya. Oleh karena itu, cerita itu muncul karena di dalamnya ada perjuangan para tokoh utamanya. Dalam karya Pram, misalnya Gadis Pantai, perempuan diceritakan punya keinginan untuk melawan suaminya yang tidak adil. Melalui proses cerita, nilai-nilai dan semangat perjuangan diajarkan.

Dalam soal kelancaran bahasa, cerpen itu patut dipuji. Bahasanya lugas. Cerpen ini  tentu bisa dikembangkan lagi, misalnya dengan memberikan ruang yang cukup bagi perempuan itu untuk bicara agar matanya yang nyalang terartikulasikan.

Sebagaimana perwujudan kehidupan dalam teater, perwujudan kehidupan dalam cerpen bukan sekadar ingin mewujud tapi perwujudannya harus melahirkan harapan yang memberikan spirit bagi kehidupan manusia. Setidaknya memberikan perenungan, kecerdasan, kearifan, dan keindahan artistik dari gagasan-gagasan yang ditawarkan (lihat Konsep Teater oleh Eman Hermansyah, online, 24.01.2012).

Meskipun demikian, Dewi masih menunjukkan eksistensi dan telah melawan asumsi bahwa para penulis cerpen perempuan memiliki usia kreativitas yang pendek. Penulis perempuan yang baru naik daun akan langsung gugur begitu ia telah naik pelaminan atau mahligai pernikahan. Apalagi kalau suaminya tak mendukung potensinya. Karena itu, Nawal el-Sadawi memilih cerai dengan suaminya karena ia dilarang menulis.

Tema cerpen anti-korupsinya yang lain dapat kita baca dalam cerpen “Nyanyian Tanpa Nyanyian” yang menjadi judul buku kumpulan cerita pendek pengarang perempuan Kalimantan Selatan yang diterbitkan oleh Tahura Media pada 2008 (hal. 13-22). Cerpen ini bukan tentang perbedaan selera sebagaimana anggapan Ibuy atau Boerhanuddin Soebely (2008: 107).

Cerpen ini diceritakan dari sudut pandang pelaku korupsi, yaitu Shiddiq. Ayahnya telah lama mencurigai perilaku Shiddiq yang aneh. Hingga pada suatu ketika, ayahnya memergokinya membawa uang miliaran rupiah ke rumahnya. Perilaku korupnya diakibatkan oleh gaya hidup mewah istrinya.

Maka benar apa yang dinyatakan Ibuy dalam epilog buku ini bahwa Dewi kurang jeli dalam memilih dan memilah mana ihwal yang harus dihadirkan atau disingkirkan, mana pula hal yang perlu mendapat porsi besar atau kecil (Burhanuddin, 2008: 107). Shila, istri Shiddiq  yang menjadi penyebab suaminya jadi koruptor hanya diceritakan sekilas sehingga membawa kesan stereotipikal bahwa Shila punya gaya hidup mewah karena ia anak pengusaha yang kemudian bangkrut sementara gaya hidupnya sudah terlanjur boros. Begitu sederhanakah perilaku korupsi terjadi?

Cerpen jelas punya ruang dan waktu penceritaan yang sangat terbatas dan karena itu pengarang harus fokus pada drama utama cerita realis supaya masuk akal. Namun, cerpen Nyanyian Tanpa Nyanyian meninggalkan sejumlah pertanyaan yang tak terjawab, seperti: Bagaimana ayah Shiddiq tahu bahwa anaknya koruptor? Apakah uang dari rekanan pasti uang haram? Jika tidak, uang miliaran yang dibawa Shiddiq itu uang dari proyek apa sehingga ayahnya harus melaporkannya ke Polisi? Mengapa ayahnya tidak mempertimbangkan nasib dua cucunya jika dengan tegas ia meleporkan anaknya kepada Polisi? Apakah sanksi harus selalu dilaporkan ke Polisi seperti film India? Kerumitan emosi tokoh-tokohnya kurang tergarap dengan baik karena antara lain apa yang telah disinyalir oleh Burhanuddin. Karena itu cerpen ini tampak kehilangan unsur-unsur penting yang seharusnya menjadi bahan utama penceritaannya.

Korupsi saat ini merupakan perilaku mainstream di semua bidang: pendidikan, hukum, agama, kebudayaan, politik, birokrasi, kepolisian, lingkungan hidup, dan lain-lain. Namun sangat sedikit penulis tertarik untuk menjadikannya tema utama dalam puisi, cerpen, novel, atau naskah drama. Dalam kekosongan itu, kesederhanaan karya Dewi punya arti lebih, tetapi ini tidak boleh dijadikan kipas angin untuk terlena. Eksplorasi tema korupsi yang lebih menarik sangat kita tunggu. Dengan maksud itulah penilaian ini ditulis untuk dua karyanya.

Balangan, 13.5.2012

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *