Balamut di Batulicin

Balamut di Batulicin

Balamut di Tanah Bumbu seperti memasukkan ikan sungai air payau ke air asin. Di tengah masyarakat Tanah Bumbu yang plural, dalam catatan sejarah lamut, belum pernah ada  pertunjukan lamut di kabupaten ini. Gusti M. Jamhar Akbar, palamutan yang saya antarkan ke sana pada 24 Juli 2011, baru kali itu menginjakkan kaki di Bumi Bersujud. Beliau terpukau dengan pantai Pagatan yang sedang berangin dan penuh buih di siang yang terik dan kering, dan terkagum-kagum dengan kebersahajaan penerimaan Wakil Bupati Tanah Bumbu, Difriadi. Kata Jamhar, “Baru kali ini ulun menemukan orang penting yang rendah hati. Di wadah kami, baru jadi lurah saja sudah sombong, Pak ai.”

Dari kiri: Wartawan Media Kalimantan, saya, Pak Difri dan Pak Jamhar

Kedatangan kami di sana memang diprakarsai oleh Wakil Bupati Tanah Bumbu Difriadi, yang merasa malu sebagai orang Banjar yang belum memiliki banyak waktu untuk ikut mengangkat batang tarandam seni dan budaya Banjar. Oleh karena itu, beliau sangat simpati dengan penelitian yang sedang saya lakukan terhadap seni tradisi lisan ini dan ber inisiatif untuk memperkenalkan tradisi lisan itu kepada para guru dan sekolah.

Padahal, saya baru mengenal beliau pada 25 Mei 2011 petang ketika Ikatan Guru Indonesia Kalsel mengajak saya bersilaturahmi ke rumah dinasnya yang sangat sederhana di Jalan Transmigrasi. Rupanya beliau telah lama mengendus apa yang saya lakukan terhadap kebudayaan yang sangat ia cintai, budaya Banjar. Kecintaannya terpancar dari wawasannya yang luas dalam memahami tentang kebanjaran dirinya dan kebanjaran orang lain.

Pak Wakil Bupati Difriadi berbincang santai usai pertunjukan

 Minat beliau yang besar untuk mengenalkan lamut kepada para guru di Tanah Bumbu relevan dengan rencana untuk memperkenalkan seni tradisi Banjar, lamut, ke siswa sekolah menengah di Kalimantan Selatan yang semula direncanakan pada 2012 dengan target 5 SMA dan 5 SMP. Namun, rencana itu saya percepat karena tawaran beliau.

Meskipun demikian, kesempatan pertama diawali di SMAN 1 Martapura (baca Radar Banjarmasin, 24 Juli 2011). Di Kabupaten Tanah Bumbu, sekolah yang mendapatkan kesempatan untuk mengenal lamut secara otentik adalah SMAN 1 Simpang Empat, Batulicin (25/7). Kami disambut hangat oleh Kepala Sekolah Pak Condro dan dikoordinir oleh Bu Wahidah. Kami sampaikan bahwa jangan sampai acara ini mengganggu jam belajar.

Yang kami harapkan untuk menyaksikannya adalah mereka yang pada pukul sepuluh mendapatkan pelajaran Bahasa Indonesia atau Seni Budaya dan Muatan Lokal. Alhasil aula dipenuhi peserta sebanyak 50 lebih. Mereka antuasias menyimak dan bertanya. Waktu 1 jam 30 menit terasa sebentar. Para siswa putrid menyerbu Jamhar selayaknya mereka sedang bertemu selebritis. Mereka meminta tanda tangan dan foto bersama.

Seperti di SMAN 1 Martapura, para siswa juga diminta mengisi angket. Dari 50 angket yang dibagikan, 28 yang dikembalikan. Ke-27 siswa mengaku baru saat itulah mereka menyaksikan lamut. Semuanya mengakui bahwa seni tradisi tersebut menarik. Hanya 1 siswa yang tidak tahu apakah lamut ini menarik atau tidak. Ini terkait dengan bahasa ibunya yang bukan bahasa  Banjar tapi bahasa Indonesia. Hanya 9 siswa yang ingin mempelajarinya dan selebihnya bimbang. Delapan siswa yang bimbang dalam keseharian mereka di rumah berbahasa Banjar. Semenatara yang lain mengaku sudah berbahasa campuran (Banjar, Indonesia, Jawa, bahkan bahasa Ingggris). Dari 9 siswa yang ingin mempelajarinya 7 siswa yang sehari-hari dalam keluarga mereka berbahasa Banjar, sementara selebihnya bukan berbahasa Banjar.  

Salah seorang siswa bernama Anak Agung Ayu Ratih F. menuliskan komentar ini pada ruang yang disediakan di brosur itu: cerita lamut sangat menarik dan penuh makna. Tetapi mungkin karena Kai Jamhar sudah tidak muda lagi, artikulasinya dalam menyampaikan lamut kurang jelas. Tradisi ini perlu dilestarikan dan diperkenalkan lagi pada masyarakat Kalsel, terutama generasi muda. Ayo bawa lamut untuk Go International!

Pertunjukan di SMAN 1 Simpang Empat berakhir menjelang pukul 12. Setelah itu, kami diantar Pak Arpan untuk tampil di SMAN 1 Kusan Hilir, Pagatan. Sayang, SMA tersebut belum punya aula dan menawarkan untuk memperkenalkan lamut di Masjid di seberang sekolah. Tawaran ini ditolak oleh palamutan karena baginya itu bukan tempat hiburan. Tawaran sekolah untuk memperkenalkan lamut secara umum tidak dapat kami penuhi karena memperkenalkan lamut hanya melalui ceramah umum tidak perlu repot-repot mendatangkan Pak Jamhar. Untuk mengenal informasi umum tentang lamut, cukup dengan mengakses internet saja.

Malam harinya, sebelum tampil di sekolah, M. Jamhar Akbar tampil di hadapan para guru. Sayangnya, jumlah guru yang hadir masih homogen. Pertunjukan itu lebih banyak dihadiri oleh para guru TK. Para guru perempuan berkurang satu persatu menjelang pukul sebelas. Cerita-cerita kemudian disisipi tema-tema dewasa dan khusus laki-laki. Cerita semacam ini tidak ditemukan dalam lima konteks sebelumnya. Pertunjukan  berakhir menjelang pukul satu dini hari. Wakil bupati beserta kepala dinas pendidikan dan beberapa guru setia menyaksikan pertunjukan sampai selesai. Difriadi menikmati lamut sebagai sarana bernostalgia ke masa kecilnya di Banjarmasin.

Sarapan bersama sebelum kembali ke Banjarmasin

Kami kembali ke Banjarmasin pada siang hari. Di jalan kami terbayang pertanyaan Pak Faisal, guru di SMAN 1 Simpang Empat dan Pak Abbas (Adik Almarhum Jarkasi, guru di sebuah MTs): Apakah perkenalan ini hanya berhenti sampai di sini tanpa tindak lanjut? Saya kira ini pertanyaan bagi kita semua yang merasa sebagai orang Banjar dan punya wewenang dan tanggung jawab untuk menjawabnya dalam bentuk tindakan yang nyata.

Namun, saya tetap meyakinkan mereka, bahwa kepedulian satu orang di sekolah akan lebih memberikan dampak meskipun kecil bagi kelestariannya. Kepada mereka yang peduli saya kirimkan video dokumentasi pertunjukan itu untuk dipelajari modus kerjanya dan secara bertahap diajarkan kepada siswa yang berminat. Memang upaya pelestarian tidak semudah penghancuran. Seperti menanami hutan gundul di banua akibat eksploitasi hutan dan tambang, memelihara tradisi tentu tidak bisa diselesaikan oleh kegiatan saya untuk memperkenalkan seni tradisi ini ke sekolah-sekolah beserta seni tradisi lainnya.

Saya sebut ini sebagai kegiatan untuk memperteguh jati diri sebagai orang Banjar yang dalam seni tradisinya menyimpan banyak kearifan dan kecerdasan. Semoga tidak terlalu terlambat.

Banjarmasin, 28 Juli 2011

Balamut masuk sekolah di Batulicin, 24 Juli 2011. Palamutan Gusti Jamhar Akbar memegang terbang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *