Estetika Melayu dalam Lamut

Estetika Melayu dalam Lamut

Secara historis suku Banjar terbentuk dari persilangan antara suku Dayak, Jawa, dan Melayu serta sinkretisme Hindu  dan Islam. Jejak persilangan itu tampak dalam seni tradisi lamut. Dalam teks lisan lamut dapat ditemukan mantra yang identik dengan suku Dayak, pantun dan syair  yang identik dengan Melayu, dan pakem cerita lamut yang secara struktur mirip dengan cerita pewayangan dan  beberapa ungkapan kebahasaan dalam bahasa Jawa.

Tulisan ini mencoba mendeskripsikan bentuk-bentuk eskpresi lamut yang di dalamnya terdapat estetika Melayu. Meskipun Banjar identik dengan budaya sungai yang secara kultural akan berpengaruh besar pada estetikanya, tetapi faktor multikultur itu pun membuka Banjar untuk menerima estetika dari kultur lain yang sejalan dengan nilai-nilai budaya sungai. Secara estetik, setiap seni dalam tradisi Melayu selalu menyampaikan pesan, pedoman, dan teladan. Ketiganya tidak dapat langsung ditangkap oleh khalayak umum. Demikian pula dengan pesan yang disampaikan oleh lamut.

Bismillahi ini mula kubilang kartas dan dawat jualan dagang kartasnya putih selain lapang pena manulis tangan bagoyang, tintanya titih di kartas lapang bukanntya beta pandai mangarang hanya taingat di dalam badan hanya kurait diumpamakan tali dadayan umpama pendek kupanjangakan umpama tagumpal kita bujurkan, wahai saudara anak tuntunan baik laki-laki atau parampuan, jantan, betina, janda, parawan, tua, muda, balu dan bujang, jikalau ada malam ini tasama ngaran, jangan jadi pikiran

Sapuluh parkara kubawahakan, satu per satu kukatakan, nanti maknanya kupacahakan: satu tali, dua lalaran, tiga tungkat, ampat ukuran, lima jarum, anam kulindan, tujuh kompas, delapan padoman, kasambilan teuri politik, yang kasapuluh dengan aturan.

Sapuluh tadi dengan aturan di mana tadi awal parmulaan ini maknanya kupacahakan. Satu tali tadi dua lalaran tiga taqdimtaqlim yang ditantukan. Malam ini kita balalamutan cerita bahari kubawaakan. Memang badanku sebagai palamutan tiada mamakai buku atau tulisan, tiada di kitab seperti Qur’an, tiada dijual dari pasaran, tiada batajwid seperti al-Qur’an.. [1]

Kutipan di atas biasanya diucapkan palamutan, Jamhar Akbar, di awal pertunjukan. Dalam cuplikan  ini palamutan menjelaskan status lamut yang telah menjadi bagian dari tradisi seni Islam-Melayu. Menurut beberapa informan dan Jamhar sendiri, bentuk awal lamut tanpa ucapan basmalah dan iringan rebana. Setelah kerajaan Banjar menetapkan Islam sebagai agama kerajaan, kesenian rakyat ini menyesuaikan diri dengan haluan baru itu.

Ungkapan bismillahi… adalah penanda bagi pengaruh itu dan penanda kelisanannya ada pada ungkapan bukan badanku pandai mangarang hanya taingat di dalam badan…. Palamutan menegaskan status dirinya sebagai orang yang mengingat warisan tradisi. Dia bukanlah pengarang (author) tetapi seorang penutur (performer). Ungkapan itu dipertegas kembali pada tuturan ketiga dalam kutipan di atas bahwa kisah lamut semacam tumbuhan menjalar, bukan ajaran suci, datang dari zaman Hindu-Budha yang dirangkai kembali oleh palamutan.

Awalan dalam pertunjukan lamut ini semacam “daftar isi” pesan yang akan disampaikan dalam seluruh pertunjukan dan kisah. Ungkapan Sapuluh parkara kubawahakan, satu per satu kukatakan, nanti maknanya kupacahakan: satu tali, dua lalaran, tiga tungkat, ampat ukuran, lima jarum, anam kulindan, tujuh kompas, delapan padoman, kasambilan teuri politik, yang kasapuluh dengan aturanmengisyaratkan sepuluh hal yang akan ditawarkan sebagai pedoman hidup. Djantera Kawi antara lain menjelaskan makna isyarat itu.[2] Tali, menurutnya, memiliki keterikatan dengan ungkapan tali dalam konteks kebudayaan Banjar, yaitu sebagai simbol silaturahim dan tempat menggantungkan sesuatu. Dalam konteks pertunjukan lamut, tali dapat berarti penghubung masa lalu dan masa kini, dan bahwa masa kini bukan sesuatu yang bisa dilepaskan dari masa silam. Oleh karena itulah, kebaruan pertunjukan lamut yang menerima islamisasi adalah salah satu perwujudan adaptasi nilai yang memuat sikap tali dan lalaran: mengikat dan memperluas. Bahkan juga teuri pulitik yang terkait dengan akalan atau kreativitas. Dua konsep ini juga bisa menjadi pedoman untuk memahami identitas kebanjaran dan kepemimpinan. Misalnya, dalam konteks kerajaan, lambang kerajaan Banjar itu antara lain tali yaitu tali wanang atau tali wewenang. Tali dalam perlambang itu bisa berarti tali silaturahmi.[3] Kawi mengartikan bahwa pemimpin harus mempu mengikat seluruh rakyatnya secara pikiran dan perasaan. Kesejahteraan dalam kerajaan harus sampai pada lapisan paling bawah. Demikianlah kepemimpian unggul yang diisyaratkan palamutan: pemimpin yang bertali dan berlalaran.

Konsep berikutnya adalah tongkat. Dalam masyarakat Banjar tongkat bisa berarti tiang penyangga tali. Dalam pengertian ini, tongkat bisa berarti dasar atau fondasi atau tempat berpijak. Tongkat dalam konteks ini bukan tongkat sembarangan, tetapi tongkat yang memiliki ukuran. Ukuran juga bisa berlaku untuk konsep tali dan lalaran. Ukuran adalah insyarat tentang pentingnya keseimbangan dalam kehidupan. Ungkapan yang mengisyaratkan pesan dan pedoman dalam seluruh pertunjukan lamut juga dapat dipandang selaras dengan estetika Melayu, yaitu mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung sebagai bagian dari kesantunan Melayu. Ukuran sebagai penanda bagi pentingnya keseimbangan, sebagaimana dalam estetika Melayu, dalam pertunjukan lamut ditakar antara lain dengan cara menghadirkan beragam cara pengungkapan estetik dalam bentuk pantun, syair, mantra, dan bakisah.

Berdasarkan pandangan Braginsky (1998), dalam estetika Melayu Islam dikatakan bahwa yang zahir (di luar) merupakan tangga naik menuju yang batin. Maka, ungkapan estetik dalam sastra hadir bukan demi tujuan estetik, melainkan untuk membawa pembaca menuju yang ada di dalam, yaitu makna. Teuri politik yang dimaksud oleh mukadimah palamutan dalam kutipan di atas juga konsep estetika Melayu untuk menyampaikan makna secara tidak langsung atau sindiran. Palamutan dengan leluasa melakukan kritik sosial melalui sindiran dengan mendialogkan sindiran itu dalam konteks keluarga lamut dan kawan-kawannya. Kritik secara tidak langsung juga bagian dari menjaga kesantuanan dan keseimbangan.

Jamhar Akbar, maestro lamut di Banjarmasin, menyatakan bahwa lamut mudah untuk dijadikan sarana untuk mengeritik pemerintah secara tidak langsung, tidak sama dengan tradisi turur yang lainnya, misalnya madihin. Misalnya, suatu ketika dia diminta mengomentari soal PLN yang sering padam di Banjarmasin. Dalam salah satu segmen tuturannya dia membuat dialog sebagai berikut:

Ikam bagawi di mana Lung? Anglung manjawab jadi pasuruh di PLN. Nah bagus jar Labai di PLN. Handak batakun unda lawan nyawa. Apa jar Anglung. Apabila Magrib, Allahuakbar, Allahuakbar, cuk pajah lampu, balum habis orang bang pajah lampung ini sudah tiga tahun jar Labai. Kuarng ajar nyawa nih jar Labai, hantu, iblis. Jar Anglung kenapa iblis? Jar Labai gawian setan itu katuju manggoda orang di jalur kabaikan … [4]

Sindiran keras secara tidak langsung dilakukan secara proporsional, tidak berlebihan, sesuai dengan konsep estetika yang telah disebutkan dalam awal tuturan palamutan: tongkat (keseimbangan), ukuran (proporsional), aturan (kesantunan). Mengeritik tidak boleh berlebihan dan ini semacam kearifan lokal yang muncul dari pertunjukan seni tradisi ini. Tradisi lisan Banjar sebenarnya menunjukkan dirinya sebagai kesenian yang harus mampu secara kreatif mengelola kooptasi tanpa kehilangan daya kritis dan mengemas kritik itu dengan cara menghibur. Tradisi lisan Banjar adalah potensi budaya yang mencerdaskan. Lantas, mengapa tidak kita rayakan kembali?

Demikianlah beberapa konsep estetika Melayu yang dapat dijumpai dalam seni pertunjukan lamut di Banjarmasin. Tentu ini bukan estetika secara keseluruhan, hanya sebagian saya karena tulisan ini lebih bersifat memperkenalkan beberapa konsep estetika yang berkesesuaian dengan beberapa konsep estetika Melayu, yaitu tentang pedoman, ketuhanan, keseimbangan, dan sindiran.

Catatan

  1. Rekaman wawancara tanggal 28 Desember 2010 di rumah Jamhar Akbar, di Alalak Selatan Kuin, Banjarmasin Kaliamantan Selatan.
  2. Dalam wawancara tidak terstruktur pada 24 Desember 2010, pukul 14.00-14.45 wita di Hotel Batung Batulis Banjarmasin, menjelang diskusi Kesultanan Banjar dan Revitalisasi Kebudayaan Banjar yang diselenggarakan oleh LK3 Banjarmasin.
  3. Ceramah dalam diskusi Kesultanan Banjar dan Revitalisasi Kebudayaan Banjar yang diselenggarakan oleh LK3 Banjarmasin pada 24 Desember 2010.
  4. Traskrip wawancara tanggal 28 Desember 2010 di rumah Jamhar Akbar di Banjarmasin pada pukul 16.00-17.00 wita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *