Perkembangan Ilmu Sastra di Kalimantan Selatan

Perkembangan Ilmu Sastra di Kalimantan Selatan

Prolog

Pada 21 Mei 2007 Asisten Deputi Urusan Perkembangan Ilmu-ilmu Pengetahuan Sosial dan Pengetahuan mengirim surat kepada Dekan FKIP ULM (saat itu masih disebut Unlam). Isi suratnya sebagai berikut:

Dengan Hormat,

Kementerian Negara Riset dan Teknologi salah satu tugasnya adalah membuat kebijakan di bidang Perkembangan Riset, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.  Berkenaan dengan hal tersebut kami dari Asisten Deputi Urusan Perkembangan Ilmu-Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan bermaksud untuk melakukan kunjungan kerja ke Banjarmasin, khususnya ke Universitas Lambung Mangkurat.

Maksud kunjungan kami adalah untuk mendiskusikan perkembangan dan pengembangan Ilmu Sastra dan Budaya di Indonesia serta mensosialisasikan program Kementerian Negara Riset dan Teknologi.

Kami berharap diskusi ini dapat dilaksanakan di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, pada hari Selasa tanggal 14 Juni 2007, jam 10.00 WITA – selesai. Sehubungan dengan hal tersebut kami mohon kesediaan Bapak Dekan dapat menyediakan dua orang narasumber untuk menyampaikan makalah yang menjelaskan perkembangan Ilmu Sastra dan Budaya di Kalimantan Selatan. Kami mengharapkan pihak UNLAM dapat mempersiapkan notulen, moderator dan diskusi ini dapat dihadiri peneliti, dosen, peminat dan pemerhati di bidang Sastra, Bahasa dan Budaya di Kalimantan Selatan dan berpartisipasi aktif dalam forum.

Adapun yang akan berkunjung dari Kementerian Negara Ristek adalah:

  • Dra. Vemmie D. Koswara, MA – Asisten Deputi Urusan Perkembangan IIPSK
  • Dra. Tati H. Manurung, MA – Kabid. Ilmu Sastra, Budaya, Agama dan Filsafat
  • Drs. Suyatno, MM – Kabid. Ilmu Sosial, Politik dan Kemasyarakatan

Untuk kontak lebih lanjut dapat menghubungi Sdri. Tati H. Manurung, Telp. (021) 3169286 atau Hp. 081311001957.

Demikian kami sampaikan, atas kesediaan dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Tulisan ini disampaikan dalam Forum Diskusi Perkembangan Ilmu Sastra dan Ilmu Budaya di Kalimantan Selatan yang diselenggarakan Kementerian Riset dan Teknologi bekerjasama dengan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) FKIP Universitas Lambung Mangkurat, di Banjarmasin, pada 14 Juni 2007 tersebut. Saya unggah ulang karena isunya yang masih relevan dengan masa sekarang. Selamat membaca.

Pengantar

Makalah ini adalah respons kooperatif terhadap tujuan yang ingin dicapai oleh forum diskusi mengenai perkembangan ilmu sastra di Kalimantan Selatan (Kalsel) yang antara lain bertujuan mengkaji perkembangan, situasi dan kondisi ilmu-ilmu sosial dan kemanusian bidang sastra dan budaya di Indonesia, dan  mengumpulkan informasi terkini tentang lembaga-lembaga yang bergerak di bidang Ilmu-ilmu Sosial dan kemanusiaan khususnya bidang sastra dan budaya. Tujuan tersebut tentu belum dapat dicapai secara menyeluruh oleh makalah singkat dan sederhana ini.

Kalsel  terdiri atas 11 Kabupaten dan  2 kota. Seni kata atau lazim disebut sastra berkembang di wilayah-wilayah itu dengan kadar kualitas yang beragam baik dalam hal proses kreatif personal ataupun dalam hal pembentukan organisasi pembelajaran sastra secara komunal. Wilayah-wilayah tersebut pun memiliki orientasi yang berbeda dalam pengembangan genre sastra. Sebagian ada yang lebih cenderung mengembangkan sastra lisan, sementara sebagian yang lain mengembangkan sastra tulisan dengan pelbagai konsekuensi kulturalnya yang biasanya yang pertama turut mengembangkan nilai-nilai ketradisionalan dan yang kedua tampak mengedepankan nilai-nilai modernitas yang kadang-kadang mempertanyakan kondisi-kondisi tradisi yang dipandang bermasalah dan meskipun tidak tertutup kemungkinan, sebagai satu simpul dari beragam jaringan teks yang ada, sastra baru tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi baik yang positif ataupun kurang positif.

Karena itu, mendiskusikan perkembangan ilmu sastra di Kalsel secara komprehensif perlu melihat kondisi-kondisi dinamika kesastraan di ke-13 wilayah itu dalam segala aspeknya, baik asepek produksi, apresiasi, maupun organisasi dalam kaitannya dengan dimensi sosiokultural dan politik di wilayah tersebut. Kompleksitas pembicaraan lengkap mengenai bagaimana perkembangan ilmu sastra di Kalsel tentu mustahil terangkum dalam makalah sesederhana ini. Dengan demikian, makalah ini perlu dipahami sebagai pintu pembuka memasuki ruang diskusi keilmuan sastra di Kalsel yang sangat luas. Dengan kata lain, penjelasan-penjelasan dalam makalah ini bisa sangat tidak jelas dan perlu dicarikan kejelasan barunya secara bersama-sama dalam diskusi panjang dan penuh kesungguhan.

Menyadari hal tersebut, diskusi tentang perkembangan ilmu sastra di Kalsel dalam tulisan ini lebih diarahkan untuk melihat bagaimana sastra Indonesia dan daerah telah dibaca, ditelaah, diajarkan, diapresiasi, dikritisi, dan dengan demikian difungsikan sebagai sarana untuk mencari inspirasi solusi kultural bagi kerumitan dan tantangan kehidupan baik secara nasional maupunn regional, di lembaga-lembaga yang secara resmi menjadikan sastra sebagai bagian integral pembangunan potensi kemanusiaan yang etis dan estetis.

Oleh karena itu, makalah ini adalah hasil dari semacam tracer study sederhana terhadap penelitian-penelitian sastra di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) FKIP Universitas Lambung Mangkaurat (Unlam) Banjarmasin, Kalsel yang masih terdokumentasikan dengan baik. Rencana untuk melihat kondisi penelitian sastra selama sepuluh tahun terakhir tidak tercapai karena beberapa kendala teknis yang berkenaan dengan pencarian data dalam waktu yang relatif singkat. Akhirnya, terhimpunlah beberapa judul penelitian sastra (sebagaimana terlampir) dari tahuan-tahun yudisium 1999, 2002, 2003, 2004, 2005, dan 2006. Asumsinya, dengan melihat kondisi hasil penelitian tersebut perkembangan ilmu sastra di Kalsel dapat dideteksi karena PBSID FKIP Unlam dapat dianggap lembaga yang paling representasif dan berkesinambungan mengakomodasi penelitian sastra sabagai landasan utama dalam pengembangan ilmu sastra sebagaimana hubungan triadik dalam konsep sastra Rene Wellek dan Austin Warren bahwa penelitian sastra adalah perpaduan antara kritik, sejarah dan teori sastra.

Lembaga-lembaga resmi lain di Kalsel yang juga mempelajari sastra sebagai objek keilmuan adalah Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah STKIP PGRI Banjarmasin, Pusat Bahasa Banjarbaru, Dewan Kesenian se-Kalsel, Sekolah-sekolah menengah se-Kalsel, dan LK3. Namun, tulisan ini lebih mengarah pada pemaparan temuan tentang bagaimana perkembangan ilmu sastra  Prodi PBSID FKIP Unlam saja. Alasan utama pemilihan tempat ini adalah pertama, lembaga adalah produsen tenaga guru utama di Kalsel yang secara geneologi sosial, resepsi keilmuan sastra yang diperoleh mahasiswa calon guru di lembaga ini dapat jadi inspirasi tentang bagaimana perkembangan ilmu sastra di tempat-tempat mereka mengejar kelak. Kedua, selain alasan keparktisan medan penelitian, kedua lembaga ini memiliki dokumentasi yang baik dan diperlukan oleh tulisan ini dalam melihat kembali perkembangan ilmu sastra di Kalsel.

Sebelum membicarakan lembaga-lembaga yang berkontribusi terhadap kosntruksi atmosfer kesastraan di Kalsel, membicarakan penlitian sastra dan metode-metode keilmuan yang digunakannya adalah langkah yang tepat menurut kaidah filsafat keilmuan yang memandang ilmu sebagai semua pengetahuan yang terhimpun lewat metode-metode keilmuan atau pengetahuan yang diperoleh dari serangkaian daur-daur induksi, deduksi, dan verifikasi (Wilarjo, 2006: 237). Demikian pula ilmu sastra. Maka, mendiskusikan perkembangan ilmu sastra juga bisa berarti membicarakan perkembangan penelitian dalam bidang ini.

Genre Sastra dan Ilmu Sastra

Genre sastra yang menjadi objek kajian keilmuan di Prodi tersebut secara garis besar ada dua, yaitu Sastra Indonesia dan Sastra Daerah. Yang pertama dikaji dalam bentuk tulisan dan yang kedua sebagian hadir dalam bentuk lisan. Genre sastra tulis Indonesia lazim dipelajari adalaha puisi, cerita pendek, novel, dan naskah drama. Sastra daerah dalam bentuk tulisan sering dipersamakan dengan bentuk-bentuk dalam genre sastra Indonesia. Namun ada beberapa genre sastra daerah dalam bentuk yang khas, yaitu madihin, mamanda, lamut, dan baturai pantun.

Genre sastra sebenarnya mencakup ragam yang sangat luas dan tidak perlu disebut satu persatu dalam tulisannya ini. Penjelasan ini penting disampaikan sehingga penyempitan kecenderungan perkembangan ilmu sastra di Kalsel harus diposisikan dalam kerangka yang luas tersebut.

Dalam makalah ini, untuk kepentingan praktis dalam melihat kembali aktivitas keilmuan sastra yang berlangsung di PBSID FKIP Unlam, genre sastra dibagi menjadi Sajak Lokal (SL), Sajak Nasional (SN), Sajak Terjemahan (ST), Cerpen Lokal (CL), Cerpen Nasional (CN), Cerpen Terjemahan (CT), Novel Lokal (NL), Novel Nasioanl (NN), Novel Terjemahan (NT), Drama Lokal (DL), Drama Nasional (DN), Drama Terjemahan (DT). Istilah lokal di sini tidak dimaksudkan serumit pengertian lokal dalam wacana lokalitas sastra. Istilah lokal di sini dipakai untuk keperluan identifikasi data saja untuk menandai karya yang wilayah publikasinya masih terbatas di Kalsel saja.

Demikian juga pendekatan penelitian yang tampak pada data dinotasikan secara sederhana mengikuti alur kecenderungan penelitian, mulai penelitian yang mempemasalahkan nilai-nilai moral (NM), nilai-nilai budaya (NB), ideologi (ID), mimetika (MIM), dan sebagainya, seperti dapat dibaca dalam lampiran.

Ilmu Sastra di Kalsel

Kapan ilmu sastra masuk Kalsel? Pertanyaan ini sulit dijawab dengan memuaskan jika jawabannya harus dikaitkan dengan kehadiran pembelajaran bahasa dan sastra sejak zaman sebelum kemerdekaan atau beberapa tahun setelahnya. Namun, jika dapat dijawab dengan seiring dengan munculnya sekolah-sekolah di Kalsel atau sejak didirikannya jurusan pendidikan bahasa dan seni, atau sejak munculnya lembaga-lembaga yang menggeluti sastra,  jawabnya mungkin sedikit mudah.

Jika dispekulasikan dengan awal adanya Prodi PBSID, bisa diasumsikan bahwa sejak saat itu ilmu sastra masuk dalam kurikulumnya. Penelitian sastra di lembaga ini tentu telah dimulai sejak pembicaraan pertama tentang sastra telah dimulai yang jejak pertamanya dapat dibaca dalam skripsi pertama alumninya. Makalah ini membicarakan bagiamana ketiga bagian ilmu sastra, yaitu teori, sejarah, dan kritik sastra dikaji dalam kaitannya dengan genre sastra yang ada. Namun, jawaban pastinya dapat dijawab dengan penelitian sejarah ilmu sastra di Kalsel yang lebih komprehensif.

            Setelah melihat kembali penelitian sastra selama hampir enam tahun, sebagaimana judul-judulnya dapat dilihat dalam lampiran, kecenderungan penelitian sastra di Kalsel dapat dilihat dari kecenderungan penelitian yang ada di universitas tertua di Kalsel ini. Dari segi pilhan genre sastra, novel merupakan karya sasra yang lebih banyak diteliti daripada puisi ataupun drama. Perhatian peneliti terhadap drama sebagai sebuah genre sastra masih sangat minim. Sebagai sebuah akumulasi kegiatan pembelajaran sastra, hal ini perlu menjadi bahan introspeksi. Naskah drama dan skenario film bukan lagi bahan kajian yang langka saat ini. Buku-buku mengenai drama pun semakin beragam, tetapi mengapa perhatian calon sarjana tampak mengabaikan satu genre ini?

Kelangkaan perhatian juga dialami oleh genre karya sastra terjemahan, baik puisi maupun prosa. Padahal saat ini karya-karya sastra terjemahan berlimpah di pasaran. Jika keberadaannya tidak tersentuh oleh penelitian, tentu publik tidak punya cara pandang alternatif dalam memosisikan sebuah bacaan yang tidak ada yang tidak berpolitik.

Dari segi pendekatan penelitian, pendekatan intrinsik tampak paling dominan sehingga ada kesan terjadinya reduplikasi lembut antara penelitian yang satu dengan yang lainnya. Ini terjadi mungkin karena lembaga tidak memiliki pangkalan data tema penelitian yang telah dilakukan yang dapat menghindarkan mereka dari kesan tersebut. Di samping itu, kajian-kajian yang bersifat intrinsik terkesan menjadi penelitian “jalan pintas” karena tema topik yang reduplikatif  dan terlalu sempit. Sehingga wajar pada masa-masa tertentu dalam perjalanan sejarah penelitian sastra di lembaga ini, sastra menjadi pilihan peneilitian yang “menyenangkan”. Namun, lembaga ini pun mulai belajar bahwa tak ada ilmu yang terus-menerus “menyenangkan”. Akhir-akhir ini, mahasiswa calon peneliti sastra harus bekerja keras dan bahkan “agak kurang menyenangkan” untuk menyelesaikan penelitian sastra.

Demikianlah nasib ilmu sastra di tengah dominasi kecenderungan ilmu pendidikan dan bahasa. Jika judul-judul penelitian dalam lampiran makalah ini dibaca, betapa cara berpikir kebahasaan dan pendidikan sangat mewarnai kecenderungan penelitian sastra dalam lembaga ini. Maka muncullah kajian sastra tentang nilai-nilai moral, nilai-nilai, nilai-nilai budaya, dan nilai-nilai yang lainnya. Kecenderungan semacam ini pun dapat dijumpai di lembaga-lembaga yang lain di luar Kalsel. Wajar jika implikasinya adalah ilmu sastra dianggap sekedar ilmu sesempit itu.

Meskipun demikian, sebenarnya ilmu sastra dapat diberi ruang yang lebih luas agar tidak terus menerus menjadi subordinasi dari ilmu bahasa dan ilmu pendidikan. Ilmu sastra perlu disejajarkan sehingga mampu memberikan konstribusi secara simultan kepada keduanya. Oleh karena itu, jangkauan genre sastra untuk penelitian sastra di lembaga ini perlu diperluas sampai merambah bacaan-bacaan yang tergolong sastra populer. Sastra ini akrab dengan remaja dengan bahasa pergaulan yang kontradiktif dengan pembelajaran bahasa di sekolah. Justeru masalah ini belum pernah menjadi masalah yang dipandang perlu diangkat untuk penelitian sastra untuk mengetahui bagaimana kedekatan seseorang dengan bacaan sastra dapat mempengaruhi kemampuan bahasanya.

Bahkan sampai hari ini belum ditemukan di lembaga ini penelitian yang menelaah penerimaan sekelompok pembaca terhadap satu karya sastra yang telah mereka baca. Inilah yang disebut penelitian resepsi sastra. Penelitian ini mengintegrasikan pendekatan intrinsik dan ekstrinsik, berusaha menghubungkaitkan struktur pikiran cerita dengan struktur pikiran pembaca. Makna karya sastra adalah hikmah dari pertemuan dua struktur yang mungkin sama dan mungkin juga berlawanan.

Jika beberapa sampel dari daftar hasil penelitian terlampir itu dibaca lebih jauh. Sebagian besar, yang tampil dengan judul-judul “aneh” dan tampak unik, masih terkesan sebagai penelitian yang jauh panggang daripada api atau jauh judul daripada isi. Teori dan analisis pada sebagian penelitian itu masih tampak seperti air dan minyak dalam satu wadah. Teori jalan sendiri dan analisis begitu juga. Hal ini tentu tak bisa terus dibiarkan dengan alasan bahwa penelitian calon sarjana sekedar sebagai sebuah latihan penelitian. Tetapi yang lebih bijaksana adalah membiasakan mereka selama dalam proses perkulaiahan untuk berlatih menulis kritis dan analitis pada perkuliahan apapun. Calon sarjana yang juga sebagai calon peneliti perlu dilatih membiasakan diri menganalisis menggunakan konsep-konsep keilmuan yang sedang dipelajarinya, bukan dilatih menghapalkan konsep-konsep semata.

Keberadaan sastra lisan yang sangat kaya di Kalsel tenyata, berdasarkan daftar lampiran hasil penelitian itu, tak diimbangi dengan penelitian yang memadai. Penelitian sastra lisan yang telah dilakukan masih menggunakan pendekatan sastra tulisan padahal karakteristik teks sastra lisan dan sastra tulisan jelas berbeda. Perbedaan ini menuntut pola penelitian yang khas sebagaimana yang direkomendasikan oleh Amen Sweeney atau Albert B. Lord. Bahkan sejauh ini kajian sosiologi sastra belum pernah dilakukan untuk penelitian sastra lisan.

Bahkan penelitian yang sebenarnya sangat diharapkan sebagai dasar pengembangan pembelajaran sastra lisan Kalsel di sekolah-sekolah sebagai muatan lokal dalam kurikulum tampaknya belum pernah dilakukan. Tradisi bakisah (Story Telling) berpotensi besar untuk melatih kreatifitas siswa di sekolah dalam berolah kata, pikir, logika, dan sastra. Tetapi, kelayakannya untuk dijadikan muatan lokal mungkin memerlukan penelitian awal sebagai landasan kelayakan yang penting untuk menentukan kebijakan. Penelitian yang diharapkan itu tampaknya perlu didorong kemunculannya pada masa yang akan datang dalam rangka merayakan penelitian sastra yang berorientasi kebermanfaatan secara sosial.

Penelitian dalam bidang sejarah sastra pun belum banyak dilakukan. Demikianlah penelitian sastra yang “kurang menyenangkan” biasanya kurang diminati. Padahal penelitian untuk bidang ini sangat bermakna secara sosial kemasyarakatan sastra dan pendidikan karena hasil kajiannya dapat menunjukkan kepada khalayak bagaimana seorang pengarang berproses menulis, bagaimana sebuah genre sastra tumbuh, berkembang, dan mati, dan bagaimana lembaga-lembaga sastra mulai bersemi dan kemudia layu. Penelitian semacam ini justeru lebih realistik untuk digunakan mengukur kemajuan-kemajuan kesastraan di Kalsel. Penelitian ini memerlukan kemampuan deskripsi dan analisis yang kuat mengenai setiap fakta yang ditemukan dalam kenyataan kesastraan di daerah. Ini jauh lebih bermakna daripada sekedar penelitian sastra yang sangat filosofis yang cenderung mengabstrakkan karya sastra yang bagi orang awan sudah sangat abstrak. Penelitian yang terlalu filosofis malah menjauhkan sastra dari khalayak awam yang ingin mengenalnya dengan cara yang sederhana, dengan cara yang mudah, jelas, dan terang.

Namun kecenderungan penelitian yang sangat simplistis tersebut masih dapat dipahami sebagai bagian dari kondisi sistemik atmosfer keilmuan di daerah yang tentu berbeda dengan iklim dan fasilitas penunjang keilmuan dan penelitian sastra di pusat. Oleh karena itu, jalinan kerjasama antara lembaga-lembaga penelitian sastra di daerah dan pusat dalam memfasilitasi kemudahan mengakses informasi-informasi penting untuk penelitian sastra melalui teknologi yang ramah pengguna (friendly users technology) sangat diperlukan. Meskipun sekarang internet telah mudah diakses di Banjarmasin (dan masih sulit diakses secara masif dan lancar di sebelas kabupaten lainnya), menemukan informasi yang tepat untuk keperluan penelitian-penelitian sastra yang baru masih sangat sulit dilakukan oleh banyak peneliti, terutama mereka yang masih menghadapi kendala dalam mengatasi bahasa Inggris.

Dinamika keilmuan tentu tak dapat dilepaskan dari daya dukung lingkungan sekitarnya: pemerintah yang peduli ilmu sastra, lembaga pendidikan yang peduli ilmu sastra, dan pranata sosial lainnya yang menjadikan sastra sebagai bagian integral dalam kehidupannya.

Lembaga-Lembaga Sastra di Kalsel

Lembaga resmi yang memberikan perhatian yang relatif konsisten terhadap pengembangan kegiatan bersastra di daerah adalah Dewan Kesenian di setiap kabupaten yang ada di Kalsel. Di samping itu, ada lembaga-lembaga yang secara khusus menggali postensi sastra daerah seperti Lembaga Budaya Banjar dan LK3 yang aktif mengadakan kajian-kajian mengenai sastra di Kalsel terutama sastra Banjar. Pusat bahasapun dapat disebut dalam hal ini meskipun kegiatannya lebih dominan mengarah pada pengembangan keilmuan kebahasaan daripada kesastraan.

Selain lembaga resmi di beberapa kabupaten dan kota terdapat lembaga swadaya masyarakat seni yang juga rutin mendiskusikan sastra. Kecenderungan dominannya hanya berkembang di enam wilayah, Banjarmasin, Banjarbaru, Martapura, Kandangan, Tabalong, Kotabaru, dan Amuntai. Dari keenam wilayah ini, Banjarmasin, Banjarbaru, dan Kotabaru lebih dinamis perhatiannya terhadap sastra dengan melakukan banyak kegiatan diskusi, lomba, dan pelatihan yang terkait dengan sastra. Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) terdapat di Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar (Martapura), dan di Kabupaten Kotabaru. Dua SSSI yang pertama dibentuk oleh dan secara jarak jauh mendapatkan pembinaan dari Horison Jakarta dan yang terakhir dibentuk secara swadaya dan juga didukung oleh Horison.

Institusi sosial lain yang turut menopang eksistensi perhatian publik sastra di Kalsel terhadap sastra adalah Aruh Sastra (semacam pesta rakyat kesastraan) yang dilaksakan secara bergilir oleh pemerintah daerah kabupaten yang ada di Kalsel setiap tahun. Aruh Sastra pertama dilaksanakan di Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan), dan tahun ini, yang ke-4 akan diadakan pada 18 Agustus 2007 di Amuntai (Ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara). Kegiatan yang pada awalnya merupakan kegiatan yang murni sastra, kini kabarnya sudah menjadi komoditas politik.

Fenomena pengkajian sastra non-formal selama dua tahun terakhir marak dilakukan di kota Banjarbaru. Di kota ada beberapa kelompok berkesastraan yang tidak sebatas berkarya, tetapi juga mengkaji karya mereka bersama sebelum dipublikasikan. Misalnya, Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (fokus pada puisi), Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan Kalimantan (LPKPK) (fokus pada penerbitan karya sastra lokal), Rumah Cerita Banjarbaru (fokus pada diskusi cerita pendek), Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru (fokus pada puisi), dan Forum Taman Hati (fokus pada beragam karya seni). Lembaga-lembaga serupa juga dapat kita temukan di Banjarmasin, seperti Lembaga Pendidikan Banua Banjarmasin, Rumah Pustaka Folklor Banjar, Forum Kajian Budaya Banjar, Lembaga Budaya Banjar, dan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) yang secara periodik menerbitkan Jurnal Kebudayaan Kandil. Lembaga serupa pun dapat kita temukan di Kandangan, Tanjung, dan Kotabaru. Namun, lembaga-lembaga itu tampak belum terintegrasi secara sistemik membangun atmosfer kreatifitas dan keilmuan sastra.

Lembaga pers pun punya peran besar dalam mendorong perkembangan keilmuan sastra di Kalsel. Namun, meskipun ada empat media massa yang dapat disebut besar, yaitu Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Kalimantan Post, dan Mata Banua, sastra selama tiga tahun terakhir mendapatkan porsi yang memadai hanya di Radar Banjarmasin Minggu dalam rublik Cakrawala Sastra dan Budaya. Dalam ruang ini kita dapat menjumpai resensi, puisi, cerpen, dan kritik sastra hampir setiap minggu. Di samping itu, beberapa jurnal di perguruan tinggi, seperti Jurnal Vidya Karya (terbit sejak 1971), Jurnal Metafor (terbit mulai 1997) di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Unlam, Jurnal Lentera (terbit mulai tahun 2005) di STKIP PGRI Banjarmasin, Jurnal Kalimantan Scientie edisi Humaniora, dan Jurnal Wiramartas (terbit mulai tahun 2004) di Jurusan Pendidikan IPS FKIP Unlam Banjarmasin juga mewadahi pemikiran-pemikiran keilmuan sastra.

Penutup

Uraian dalam makalah ini berdasarkan hasil pengamatan sekilas tentang kecenderungan penelitian sastra yang berlangsung di Prodi PBSID FKIP Unlam sebagai produsen utama  tenaga pendidik untuk segala tingkatan dan penyedia tenaga yang diperlukan oleh lembaga-lembaga kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan yang ada di propinsi ini. Dinamika penelitian sastra yang terjadi di dalam lembaga ini dapat menjadi dasar yang cukup kuat untuk memprediksi kecenderungan perkembangan ilmu sastra di sekolah dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Meskipun mungkin terjadi perkembangan kecenderungan ke arah yang lain, perkembangannya mungkin sangat baru dan lamban dan mungkin pula baru pada tahap mencoba membangun kecenderungan yang baru. Dengan kata lain, sustainability keilmuan sastra di satu sisi secara formalistik kuantitatif dapat bertahan di lembaga-lembaga formal.

Uraian di atas menunjukkan bahwa penelitian sastra menjadi pilihan yang sangat diminati oleh para sarjana. Secara kuantitas dari tahun ke tahun, cukup menggemberikan tetapi secara kualitas masih memerlukan peningkatan. Dari sisi genre, penelitian masih lebih banyak melihat novel dan pada sisi pendekatan, penelitian masih lebih banyak mendekati sastra secara struktural, intrinsik dan  moralistik. Bahkan ditemukan pula tema penelitian yang sangat “rumit” tetapi dengan jangkauan analisis yang sangat dangkal, menyimpang, kalau tidak bisa disebut tidak menganalisis sama sekali. Penelitian yang bersifat historis, diakronis, analitis, sosiologis, komparatif, dan kritis perlu semakin dikedepankan.

Oleh karena itu, persoalan semacam ini perlu diperbaiki dengan melakukan penguatan pembelajaran teori sastra yang mengakomodasi perkembangan ilmu sastra yang baru yang semakin ekstrinsik meskipun tetap melibatkan analisis unsur-unsur intrinsik dalam menjelaskan segala jangkauan kemungkinan kontekstual ekstrinsiknya. Perbaikan kualitas penelitian ke yang akan datang dalam lembaga ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan materi dalam tiga pilar utama ilmu sastra, yaitu teori sastra sejarah sastra, dan kritik sastra.

Pendokumentasian hasil penelitian dalam bidang sastra sesederhana apapun sangat penting sebagai bahan evaluasi perkembangan pencapaian ilmu sastra di daerah ini. Karena itu, Prodi PBSID dan perpustakaan di lingkungan Unlam seharusnya bukan hanya memiliki daftar judul penelitian tetapi punya basis data abstrak penelitian sastra yang dapat diakses secara terbuka untuk menghindari terjadi reduplikasi langsung ataupun tidak langsung sehingga kebaruan penelitian dalam bidang ilmu sastra di daerah ini selalu ada yang baru.

 Ilmu sastra ada tentu untuk memberikan manfaat nyata bagi bangsa, negara, dan daerah ini. Karena itu, penelitian-penelitian sastra sebagai penyangga utama tulang-tulang rangka ilmu sastra sebisa mungkin berupaya untuk memberikan dampak positif dan konstruktif bagi wawasan kultural pembacanya, yaitu antara lain mendorong kemajuan dalam proses kreatif kesastraan di daerah, mendorong proses cinta baca dan menulis dalam masyarakat, dan menjadi pelindung pembaca awam dari karya-karya sastra yang memiliki kecenderungan besar untuk menyesatkan pembacanya.

 Dalam rangka pengembangan ilmu sastra yang bermakna secara sosial tersebut, pemerintah daerah atau lembaga-lembaga penting di daerah perlu memberikan hibah terbuka untuk mendorong penelitian aset-aset kesastraan lama yang mungkin untuk dilakukan secara mandiri oleh para calon sarjana yang tertarik dengan bidang ini. Ini lebih baik daripada penelitian dilakukan dengan dana yang sangat besar tetapi tidak dilakukan dengan kaidah-kaidah penelitian yang memadai. Pemberian hibah biaya penelitian untuk tema sastra daerah yang cukup penting akan mengektensifikasi arah penelitian yang cenderung konvergen tersebut.

 

Daftar Rujukan

  • Goody, Jack. 1987. The Interface between the Written and the Oral. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Hermawan, Sainul dan Jarkasi (eds.). 2005. Sastra Banjar Kontekstual. Yogyakarta: Ircisod.
  • Hermawan, Sainul. 2006. Teori Sastra dari Marxis sampai Rasis, Sebuah Buku Ajar. Banjarmasin: PBS FKIP Unlam.
  • Jauss, Hans Robert.  1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.
  • LK3. 2006. “Sastra Banjar”. Jurnal Kebudayaan Kandil. Banjarmasin.
  • Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1977. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
  • Wilarjo, L. 2006. “Ilmu dan Humaniora” dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. Jujun S. Suriasumantri (ed.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *