Urgensi Pedagogi Ponpin

Urgensi Pedagogi Ponpin

Survei Literasi Digital

Akhir November 2018 saya mengadakan survei literasi digital terhadap siswa SMP dan sederajat di Kalimantan Selatan menggunakan angket daring yang disebarkan melalui grup whatsapp siswa. Survei ini diikuti oleh 818 responden dari beberapa SMP yang ada di Banjarmasin, Banjar, Banjarbaru, Tanah Bumbu, Tanjung, dan Tapin. Survei ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan responden tentang smartphone atau telepon pintar (ponpin) dan penggunaannya. Hasil survei ini penting untuk dipertimbangkan oleh sekolah untuk mencabut larangan membawa ponpin ke sekolah dalam rangka peningkatan kompetensi guru menghadapi perubahan zaman. Sekolah perlu terlibat untuk membuat guru dan siswa melek digital.

Survei ini mengungkap bahwa 80.8 persen atau 661 responden mengaku dilarang membawa ponpin ke sekolah. Larangan ini tentu terkait dengan kekhawatiran guru terhadap penyalahgunaan atau dampak negatif ponpin di sekolah, antara lain gangguan konsentrasi belajar dan kemungkinan mengakses atau menyimpan konten pornografi. Mungkin karena pertimbangan itu 74.6% responden setuju dengan larangan itu. Namun, sebagian besar responden (82.2%) juga setuju jika sekolah memanfaatkan ponpin sebagai media pembelajaran.

Karena sekolah tidak membuka diri pada ponpin, siswa menggunakan ponpin lebih banyak untuk keperluan komunikasi dengan keluarga atau sahabat, daripada untuk keperluan pedagogi. Sekolah tampak tak mau terlibat untuk lebih jauh ikut menanamkan nilai literasi digital. Literasi digital sepenuhnya diserahkan kepada keluarga siswa. Padahal, ponpin memiliki fitur yang memungkinkan pembelajaran yang lebih menarik dengan mengakomodasi limpahan berbagai jenis informasi dari jaringan internet. Selain itu, responden yang disurvey telah menggunakan ponpin sejak SD (56.1%) dan SMP (42.2%). Hampir semua ponpin mereka (97.6%) bisa terhubung dengan internet. Sayangnya, mereka menggunakan ponpin baru sebatas untuk berkomunikasi dengan orang tua (65.8%), main game online (31.7%), membaca berita di media online (12.6%), dan menghubungi transportasi online (17%). Penggunaan ponpin yang terkait dengan pembelajaran di sekolah hanya sebesar 0.4%.

Sebagian besar responden merupakan pengguna media sosial Whatsapps (95.5%) dan Instagram (71.4%). Mereka juga mampu mengunduh video dari Instagram (30.6%), Whatsapps (51%), dan YouTube (61.2%).

Fakta ini menunjukkan bahwa mereka sangat siap untuk mendapatkan pembelajaran yang melibatkan penggunaan ponpin. Larangan membawa ponpin ke sekolah justru memberikan kesan bahwa sekolahlah yang tidak siap menghadapi siswa milenial. Sekolah yang takut dan tak sanggup mengelola penggunaan ponpin siswa tanpa disadari telah melupakan peran sosialnya untuk ikut serta menanamkan nilai dan norma literasi digital.


Pembelajaran Berbasis Ponpin

Meskipun dilarang, ada saja beberapa guru yang mulai mencoba meluaskan kelas dengan menggunakan aplikasi Whatsapps. Dalam sebuah pelatihan literasi digital di salah satu kabupaten yang disurvei, seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia pernah berbagi cerita ini. Ketika ia ingin mengajar unsur-unsur syair, guru tersebut mengarahkan siswa pada playlist di YouTube tentang beragam syair dan membaca berbagai artikel jurnal tentang syair atau buku-buku syair yang dapat dibaca dari aplikasi Ipusnas, aplikasi peminjaman buku yang dibuat oleh Perpustakaan Nasional.

Langkah ini seharusnya juga harus diikuti oleh perpustakaan daerah untuk mendigitalkan koleksinya agar mudah diakses oleh sekolah. Dengan pembelajaran berbasis ponpin seperti ini, wawasan siswa tentang syair tidak dibatasi oleh bahan yang kurang berkualitas dalam buku teks atau Lembar Kerja Siswa. Bahan ajar jadi lebih variatif dan otentik dan menarik.

Bahkan latihan menulis teks hasil observasi dapat dilakukan dengan melibatkan penggunaan instagram, pelajaran tentang membedakan fakta dan opini dapat melibatkan penggunaan banyak beragam teks dalam laman media daring, murid pun dapat dilatih menggunakan dokumen google untuk kerja kelompok dari tempat terpisah, dan guru juga dapat meluaskan ruang kelasnya dengan menggunakan edmodo, schoology, atau google classroom. Pendeknya, ponpin siswa bisa memiliki makna tambahan, bukan hanya sekadar tempat ngobrol dan selfie, tetapi sebagai ruang kelas maya.

Bayangkan betapa menariknya jika pembelajaran tentang teks hasil observasi dilakukan dengan melibatkan ponpin. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dan diminta mengobservasi objek yang berbeda di sekitar sekolah. Mereka bisa membuat foto atau video objek yang diamati dan memasukkannya ke dalam powerpoint untuk selanjutnya dipresentasikan di depan kelas melalui LCD atau smart TV. Sekarang, semua ini dapat dilakukan dengan ponpin.

Untuk menghadirkan sekolah yang adaptif terhadap era 4.0, sekolah harus menyediakan akses internet yang baik dan aman. Selain itu, larangan membawa ponpin diubah menjadi norma berponpin di sekolah. Norma ponpin ini mengatur kapan, di mana, dan bagaimana ponpin boleh digunakan di sekolah. Persis seperti standar norma ponpin di pesawat. Larangan terhadap norma tentu mendapat sanksi. Norma itu juga harus jelas tertuang dalam kontrak pembelajaran. Jika ini dilakukan, sekolah ikut mendidik siswa bijak dalam berponpin.

Tentu pula, sekolah perlu menyiapkan loker penyimpan ponpin di kelas. Memang ini perlu biaya tetapi ini sangat berguna untuk menunjukkan peran sekolah mengawal perilaku manusia di era digital. Selain kesiapan alat, sekolah perlu melatih sekelompok guru yang masih kesulitan mengoperasikan ponpin untuk keperluan pembelajaran. Sudah seharusnya sekolah berani membuka diri agar ponpin diizinkan untuk digunakan sebagai sebagai sarana pembelajaran di kelas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *