Maintil

Maintil

Akhirnya, pada 18 Desember 2020, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalimantan Selatan (Kalsel) menetapkan hasil akhir rekapitulasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kalsel 2020. Petahana Sahbirin Noor (01) menang tipis atas penantangnya, Denny Indrayana (02) dengan perolehan suara sebanyak 851.822. Sedangkan penantangnya mendapatkan  843.695 suara.  Selisih suara sebanyak 8.127. Kemenangan yang sangat tipis, setipis kulit bawang. Sedikit lagi menang dan sedikit lagi kalah. Maintil kata orang Banjar. Angka itu berpotensi menjatuhkan salah satu dari dua calon.

Data Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) KPU menunjukkan bahwa petahana unggul di 5 dari 13 daerah, yaitu Kabupaten Tapin, Balangan, Tanah Bumbu, Batola dan Banjar. Sementara, penantangnya unggul di 8 daerah, yakni di Kota Banjarmasin, Banjarbaru, Kabupaten Tanah Laut, Kotabaru, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara dan Tabalong.

Kawan FB saya, Khairiadi Asa, dengan sabar menelisik lokasi kemenangan dan kekalahan kedua Paslon dengan bermodal data Sirekap KPU. Dua hari kemudian dia mengumumkan temuannya.

“Jika kita petakan secara keseluruhan hasil Pilgub Kalsel 2020 ini memperlihatkan, Paslon 02 lebih signifikan menang di wilayah perkotaan dan Paslon 01 wilayah perdesaan (dalam hal ini dilihat dari kecamatan yang menjadi ibukota kabupaten/kota, pusat ekonomi/pendidikan dan kecamatan pinggiran yang berkarakter perdesaan). Hal ini juga terlihat di Tabalong, ada perbedaan hasil antara “kecamatan perkotaan” dengan “kecamatan perdesaan”. 01 (43,9 %) 02 (56,1 %)” Demikian tulis Khairiadi.

https://www.facebook.com/khairiadi.asa/posts/3366923016766807

Khairiadi juga menemukan hal baru di Banua Enam. Dia mencatat, 

“Untuk wilayah Hulu Sungai (Banua 6), Hulu Sungai Utara dalam beberapa kali pemilu legislatif terakhir termasuk lumbung suara Golkar. Namun, dalam Pilgub 2020 ini justru dimenangkan Paslon 02. Artinya, tidak selalu linear antara prestasi di Pileg dengan Pilkada (Gubernur). 01 (44,3%), 02 (55,7%)”

https://www.facebook.com/khairiadi.asa/posts/3366053886853720

Baginya, fakta keunggulan 01 di wilayah pedesaan tidak bisa ditafsirkan bahwa pemilih kota lebih jujur. Untuk memastikan dugaan semacam itu diperlukan penelitian khusus. Namun, yang pasti pemilih kota memiliki akses terhadap informasi dan komunikasi lebih terbuka, ekonomi dan pendidikan lebih mapan sehingga lebih imun terhadap serangan fajar.

Bagi pemilih yang belum surplus secara ekonomi, serangan fajar amat berarti. Bagi mereka, itu bukan soal harga diri tetapi soal bertahan hidup di hari pencoblosan. Sebab, kerja mereka sehari belum tentu mendapatkan penghasilan Rp 100-150 ribu. Konon, besaran serangan fajar sebesar itu. Bagi kelompok pemilih yang sangat pragmatis karena faktor ekonomi ini, janji kandidat yang biasanya juga tidak ditepati tak perlu ditunggu lama. Ada serangan fajar, ada suara. Apakah karena ini mereka tak bermartabat? Atau keberadaan pemilih seperti ini cerminan pemerintah yang tak bermartabat karena tak mampu menaikkan taraf hidup dan pendidikan mereka sehingga imun dengan politik uang?

Dalam konteks pemilih yang aksesnya rendah terhadap informasi yang berpotensi berdampak bagi keunggulan petahana ini mirip dengan kemenangan Jokowi yang lebih banyak ditentukan oleh pemilih yang nyaris tak tersentuh oleh media kampanye sehingga pilihan mereka banyak dipengaruhi oleh tokoh panutan mereka, yakni para pendengung luring.

Kemenangan ini amat ironis jika dihubungkan dengan kekuatan modal kapital dan partai pendukung. Petahana diusung oleh lima partai (Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Nasdem, dan Partai Kebangkitan Bangsa). Kemenangan semacam ini harus dibawa tafakur bahwa masyarakat Kalsel lebih banyak yang tidak memberikan legitimasi penuh baik kepada petahana maupun proses politik tahun ini. Ada ketidakpercayaan yang besar baik kepada petahana maupun proses politik. Mungkin mereka banyak yang pesimis mengingat tradisi politik uang yang sudah lama eksis. Dalam konteks politik uang yang kecurangannya seperti kentut, wajar jika masyarakat kemudian memilih golput sambil menggerutu, “Demokrasi sudah mati. Suara rakyat sangat gampang dibajak oleh para cukong.”

Menang tipis mirip dengan menang tapi kalah. Persis seperti kasus Pilkada Medan. Dalam kalkulasi resmi KPU, menantu presidenlah pemenangnya. Namun, jika angka itu dibandingkan jumlah yang golput, dia kalah. Jika benar bahwa partisipasi politik pada Pilkada tahun ini 65 persen, berarti siapapun yang menang hanya mendapatkan legitimasi rakyat sekitar 32 persen. Legitimasi ini tidak layak untuk modal baampik, bersuka cita.

Terlalu tendensius ketika angka partisipasi ini dijadikan sebagai kegagalan KPU mendongkrak partisipasi pemilih. Kawan saya di KPU Kalsel menjelaskan bahwa ada beberapa penyebab yang dapat disebutkan. Pertama, masalah pandemi yang berkepanjangan sehingga membuat sebagian masyarakat menghindari kerumunan walaupun KPU sudah menjamin Pilkada dilakukan dengan standar kesehatan Covid-19. Kedua, pada hari H sebagian besar wilayah dilanda hujan deras dan sedang. Ketiga,  kampanye tidak bisa dilakukan secara maksimal oleh Paslon dan tim karena masa pandemi. Juga harus diketahui publik bahwa persoalan partisipasi bukan hanya tanggung jawab KPU, tapi juga Paslon dan tim serta masyarakat.

Dalam kondisi kalah tipis, penantang tampaknya akan kesulitan menerima slogan politik “manang kada baampik, kalah kada manampik“, menang tidak bergembira berlebihan, kalah berlapang dada. Bagaimana bisa lapang dada kalau penantang sudah menemukan indikasi-indikasi kecurangan sejak masa kampanye sampai perhitungan suara. Benar tidaknya, biarlah pengadilan yang membuktikan. Yang penting, para pemilih bisa tenang seperti penonton yang menikmati drama akhir dan awal tahun. Tak ada gunanya ikut-ikut naik panggung perselisihan politikus. Toh dampak langsung mereka terhadap hidup kita tidak terasa?

Apa pun yang akan terjadi, jika petahana menang, dia punya kesempatan untuk memperbaiki nama baiknya. Jika penantang yang menang, kita harus berhenti jadi pendukungnya dan bersama-sama menagih janji-janjinya. Jika banyak bohongnya, jangan beri kesempatan dua periode. Cukup sekali saja. Hanya dengan begitu, kopi kita tetap enak rasanya dan yang terpenting tak kehilangan teman gowes dan ngopi.

Loktara, 22/12/2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *