Sutarto Hadi, Bingkai, dan Bayang-Bayang
Dalam sejarah universitas di Indonesia jarang sekali dijumpai rektor yang menulis pengalaman karirnya. Penyebabnya bisa bermacam-macam, mulai ketakmampuan menulis dengan baik dan benar, ketiadaan bahan tulisan, sampai anggapan diri bahwa tak ada jabatan yang menarik untuk ditulis.
Rektor Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Sutarto Hadi termasuk orang yang langka dalam hal ini. Ia menulis sendiri perjalanan karirnya, mulai dari menjadi guru sampai guru besar, dan sejak jadi dosen sampai jadi rektor. Bukunya berjudul Membingkai Bayang-Bayang, diterbitkan oleh Elex Media Komputindo (2019) dalam format cetak dan digital. Penulisannya tidak dilakukan dalam tekanan waktu yang khusus dan hierarki sistematika yang ketat. Penulisannya pun menggunakan ragam bahasa tutur yang enak dibaca.
Sebagian draft tulisan yang menjadi bagian buku ini pernah dimuat di media sosial sejak 2010. Artinya, bahan dasar buku ini telah diperam lebih dari lima tahun. Terbitnya buku ini juga menjadi tanda kesiapan penulisnya menerima reaksi dari pembacanya karena apa yang ia tulis bukan hanya tentang suka tapi juga duka dalam perjalanan karirnya yang pasti bersinggungan dengan peran pihak lain, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan.
Tata rangkaian tulisan-tulisan di dalamnya seperti susunan bingkai yang disusun bersama oleh penulis dan penyuntingnya. Pembaca bisa bebas memilih bingkai yang ingin dibaca. Dengan kata lain, buku ini bisa dibaca dari tengah atau belakang dan tak harus dari depan. Bahkan, pembaca bisa melewatkan bingkai-bingkai yang tak menarik minatnya. Inilah salah satu arti dari pemilihan kata “membingkai” untuk judul buku setebal 368 halaman ini. Namun, bingkai bukan hanya bermakna ornamental tetapi juga diskursif.
Dalam kajian media, orang mengenal teori framing atau pembingkaian. Dalam teori ini bingkai dimaknai sebagai cara sesuatu disajikan kepada audiens. Cara penyajian akan mempengaruhi orang dalam memproses informasi. Dengan kata lain, bingkai pada hakikatnya merupakan tindakan inklusi dan eksklusi informasi. Apa yang dikatakan dalam bingkai mungkin menyiratkan hal-hal yang berada di luar bingkai. Framing inilah yang menarik dibaca terutama oleh mereka yang seharusnya ada di dalam bingkai tapi tak ada atau bagaimana seharusnya mereka yang telah ada dalam bingkai digambarkan.
Buku yang sampulnya sederhana tapi elegan ini semakin rumit ketika ia membingkai sesuatu yang tidak terang benderang, apalagi remang-remang. Ia membingkai bayang-bayang. Secara leksikal bayang-bayang memiliki beberapa makna.
Pertama, bayang-bayang berarti ruang yang tidak mendapatkan cahaya karena terlindung benda. Dengan kata lain, buku ini semacam upaya penulisnya berbagi cahaya pengetahuan dan pengalaman yang mungkin saja berujung jadi bayang-bayang. Niat untuk memperjelas sesuatu justru menyimpan sesuatu yang mustahil diungkap seluruhnya. Tak ada bayang-bayang tanpa peran cahaya.
Kedua, bayang-bayang bisa berarti gambar pada cermin, air, dan semacamnya. Gambar pada cermin tentu bukan gambar utuh subjek atau objek yang bercermin. Dalam konteks beragam bingkai, buku ini bisa menjadi cerminan personal dan sekaligus institusional. Hanya mereka yang berada dalam cermin yang tahu apa saja yang tersembunyi dalam gelap bayang-bayang itu.
Ketiga, bayang-bayang juga berarti gambar dalam pikiran, angan-angan, atau khayal. Dalam buku ini Sutarto Hadi mengangankan banyak hal: pendidikan yang sehat dan maju, dunia yang mencintai matematika, pembelajaran yang humanis, realistis, dan menyenangkan, guru besar yang tidak hanya besar nama, dan lain-lain. Angan-angan terpenting yang sangat ingin dikenal dalam buku ini adalah kemampuan ULM meraih akreditasi A. Tonggak sejarah ini terjadi pada saat Sutarto Hadi memimpin, dan pencapaian itu menjadi tolak ukur pencapaian bagi rektor ULM selanjutnya. Meskipun demikian, derajat A itu masih menyisakan angan-angan yang lain secara kualitatif.
Keempat, bayang-bayang juga berarti tanda-tanda akan terjadinya sesuatu. Cerita perjalanan karir Sutarto Hadi bagi dirinya sendiri merupakan tanda-tanda yang jelas bagi terjadinya perubahan penting di ULM. Tanda-tanda perubahan itu ia serap dari banyak tempat, baik dari dalam dan luar negeri, dikumpulkan dalam dirinya, dan diwujudkan dengan penuh ketugulan di ULM. Oleh karena itu, kawan atau lawannya perlu membaca buku ini. Siapa tahu mereka bisa mengungkap lebih jauh tanda-tanda tersembunyi dalam buku ini untuk memahami yang mungkin akan terjadi.
Terakhir, bayang-bayang juga bisa berarti sesuatu yang seakan-akan ada, tetapi sebenarnya tak ada. Realitas ini bisa jadi konsekuensi logis dari pembingkaian dan persepsi penulis atas semua realitas yang dihadapinya. Untuk memastikannya, setiap pembaca bisa mencocokkan pernyataan dalam buku ini yang dianggap penting dengan pengalaman empiris masing-masing.
Apapun konsekuensi dari perspektif penulisan yang telah dipilih, buku ini merupakan dokumen sejarah yang penting bukan hanya bagi penulisnya tapi juga bagi sivitas ULM bahwa perubahan yang terjadi ULM akhir-akhir ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ada beragam konteks yang perlu dibaca secara lebih holistik dan buku ini salah satu konteks yang perlu untuk selalu dilihat.
Loktara, 8/7/2019
Radar Banjarmasin, 10 Juli 2019
Simak: Wawancara Sutarto Hadi dengan Smart FM (Jumat, 18 Oktober 2019)