Krisis Keterampilan Berbahasa Indonesia

Krisis Keterampilan Berbahasa Indonesia

Mari kita pikirkan kembali pribahasa “bahasa menunjukkan bangsa” yang berarti bahwa baik atau buruk sifat dan tabiat orang dapat dilihat dari tutur kata atau bahasanya. Dengan demikian, bahasa merupakan indikator penting bagi martabat seseorang, sekelompok orang, lembaga, organisasi, partai, ataupun bangsa. Jika kita ingin melihat kualitas manusia dari sebuah masyarakat, tengok saja keterampilan bahasa masyarakat tersebut. Meskipun demikian, pribahasa ini juga perlu disikapi dengan kritis bahwa di era pascakebebaran, niat buruk bisa dibungkus dengan baik.

Ada empat ranah keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Menyimak berbeda dari mendengar. Untuk menjadi penyimak yang baik, orang memerlukan latihan seperti halnya latihan untuk menguasai keterampilan bahasa yang lain. Penyimak yang baik harus memiliki perangkat pemahaman leksikal, gramatikal, semantik, dan pragmatik yang baik. Perangkat ini pun diperlukan untuk keterampilan berbahasa yang lain. Tanpa perangkat tersebut, orang akan kesulitan memberikan respons yang tepat dalam komunikasi yang efektif.

Demikian pula dengan berbicara. Keterampilan ini bukan semata bicara soal kemampuan seseorang menghasilkan suara. Dalam konteks pendidikan sikap berbehasa, keterampilan berbicara berarti kemampuan sesorang menghasilkan suara kebahasaan yang sadar waktu dan fungsi. Demikian pula dengan membaca dan menulis.

Masalahnya, apakah lembaga pendidikan formal atau nonformal kita memiliki data yang valid untuk melihat dengan jelas bagaimana sesungguhnya kondisi keterampilan berbahasa bangsa kita atau masyarakat kita? Jika sampai hari ini tak ada, mari kita akui saja bahwa kita memang bangsa yang sangat pemalas memetakan masalah kebangsaan yang berpangkal dari masalah kebahasaan.

Empat tahun silam, Penyair Taufiq Ismail pernah mengeritik kurikulum pendidikan bahasa dan sastra yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Menurut dia, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah hanya berkutat pada tata bahasa. Murid SD disuruh menghafal awalan, sisipan, akhiran; di SMP dan SMA pun sama. Akibatnya, peserta didik merasa bosan karena tidak membuka ruang bagi siswa untuk berkreasi. Taufiq melihat dua hal yang perlu diperbaiki, yakni kecintaan membaca buku dan kemampuan menulis peserta didik.

Harapan itu sulit diraih jika para guru juga lumpuh di dua hal tersebut. Guru bahasa Indonesia juga menjadi bagian integral dari kenyataan rendahnya minat baca di Indonesia. Minat baca masyarakat Indonesia terbilang masih rendah. Hasil survei UNESCO pada 2011 menunjukkan indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih mau membaca buku secara serius (tinggi). Bahkan dalam pemeringkatan literasi internasional, Most Literate Nations in the World, yang dirilis oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia berada di urutan ke-60 di antara total 61 negara. Kondisi yang sama juga terjadi pada pemeringkatan tingkat pendidikan Indonesia di dunia yang dari tahun ke tahun belum beranjak dari papan bawah dalam berbagai survei internasional. Salah satunya World Education Forum di bawah naungan PBB yang menempatkan Indonesia di posisi 69 dari 76 negara.

Salah satu cara untuk mengatasi krisis keterampilan berbahasa Indonesia di sekolah antara lain dengan memacu guru mengikuti hibah kompetisi membaca dan menulis agar mereka pada akhirnya menjadi model literasi bagi para peserta didik mereka. Pemerintah perlu mengupayakan penghargaan tahunan bagi para guru yang memiliki budaya membaca dan menulis yang baik.

Selain itu, seleksi masuk program studi yang menyiapkan generasi pendidik bahasa dan sastra Indonesia di sekolah perlu diperketat untuk memutus lingkaran setan yang memandang rendah bahasa sebagai indikator martabat bangsa. Selama ini, calon mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia (PS-PBI), khususnya di kampus tempat saya mengajar, hanya diuji kemampuan kognitifnya. Kecakapan psikomotor dan afektif mereka dalam kaitannya dengan keterampilan berbahasa Indonesia masih diabaikan. Calon mahasiswa PS-PBI perlu diuji kecakapan menyimak, berbicara, dan menulis. Tanpa uji menyimak, calon guru bahasa dengan gangguang pendengaran dan kemampuan menyimak yang rendah bisa lolos. Tanpa uji keterampilan dasar berbicara, calon guru yang memiliki gangguan bicara bisa lolos.

Lebih dari itu, fakultas yang menyiapkan guru harus memperbaiki pembelajaran keterampilan bahasa Indonesia. Pembelajaran keterampilan berbahasa Indonesia lebih efektif jika dilakukan dalam kelas-kelas kecil yang terdiri atas 10-15 peserta, sehingga pembelajaran tidak hanya mengejar honor dan formalitas jam semester. Pembelajaran bahasa Indonesia di kelas besar dengan jumlah peserta lebih dari 100 tidak akan membantu mengatasi krisis ini.

Dalam kondisi krisis yang sangat parah,  kampus juga perlu mengagendakan program-program ekstrakurikuler pelatihan menulis terutama bagi mahasiswa yang terindikasi rendah kemampuan menulisnya. Program ini akan mempermudah proses penyusunan tugas akhir dan sekaligus memperbaiki kualitasnya.

Jika kita cukup punya waktu, tengoklah tugas akhir mahasiswa. Jika masih kita temukan paragraf yang tidak logis, sistematis, dan efektif berarti tugas akhir itu berada dalam pusaran krisis berbahasa Indonesia. Di sana sebenarnya pertaruhan wajah lembaga pendidikan apapun, karena bahasa menunjukkan bangsa.

Jadi, krisis keterampilan berbahasa Indonesia yang kini dihadapi bangsa kita adalah akumulasi lingkaran krisis pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dan Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan yang menyiapkan calon guru bahasa Indonesia.

Banjarmasin Post, 13/07/2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *