Cerpen Multinarator dan Kritik Sastra Wangi
Tulisan ini tidak bermaksud membela cerpen “Mata untuk Mama” (MuM) yang telah dikritik R. Ayuningrum (Radar Banjarmasin, 15 Mei 2005) sebagai cerpen yang inkonsisten dalam membangun tokoh karena menggunakan kata ganti yang berubah-ubah sehingga cerpen ini, menurutnya, sulit dipahami (lihat paragraf ke-3 dari tulisannya, “Bebas, Bukan Berarti Inkonsisten).
Ketika “MuM” itu terbit, Ali Syamsuddin Arsyi mengirim SMS kepada saya. Menurutnya, bahasa cerpen ini mengalir lancar, alurnya zigzag, dan akhir ceritanya tak jelas. Selain dia, ada seorang teman di KPU Tabalong yang mengaku cukup tercengang ketika membaca “MuM”. Tetapi, baru R. Ayuningrum yang menyempatkan diri mengeritik secara tertulis.
Baru kali ini pula saya membaca kritik sastra yang ditulis oleh perempuan dengan bahasa yang begitu “wangi” di Cakrawala ini. Karenanya, saya mengacungkan dua jempol bagi upayanya dan semoga semangatnya tak surut untuk terus mengeritik karya-karya sastra yang tampil di Cakrawala ataupun karya sastra nasional yang beredar di banua. Anda adalah aset berharga bagi dunia kritik sastra di banua ini, bahkan bangsa ini, karena dunia kritik sastra kita masih didominasi oleh laki-laki.
Tanpa bermaksud membela “MuM”, saya ingin menyatakan bahwa kritik yang Anda tulis tidak sepenuhnya benar karena, kata Plato (lihat Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, 1988: 219), kebenaran itu bertingkat: tak ada ya dan tidak yang absolut. Ada ya yang bernuansa tidak dan sebaliknya. Setiap hari kita sering memainkan kebenaran yang semacam ini.
Demikian juga tatkala saya menyatakan bahwa cerpen itu tak perlu saya bela, pengertiannya pun dapat berada pada tataran kebenaran yang hierarkis tadi. Di samping itu saya percaya bahwa ketika karya telah dilempar ke ruang publik, ia tak lagi menjadi milik pengarangnya. Ia menjadi dirinya sendiri sebagai organisme yang harus bertarung dengan teks-teks lain. Bahkan riwayat hidupnya ditentukan sikap pembaca terhadapnya. Ketika ia tak dibaca, tewaslah ia.
Tetapi mengapa saya masih perlu menulis tanggapan ini jika tidak untuk membelanya? Tujuannya adalah untuk mendiskusikan latar teori yang ada di balik penulisan cerita itu, teori yang menjadi inspirasi bagi alurnya yang zigzag dan sudut pandangnya yang untuk sementara ini dipandang inkonsisten. Muara akhir dari dialog antara tanggapan ini dan kritikan R. Ayungingrum adalah dalam rangka saling memberikan masukan. Sastrawan dan kritikus harus sama-sama berjiwa besar menghadapi kritikan karena dengan cara demikian wawasan dan gagasan mereka semakin terasah, tidak stagnan. Sastrawan dan kritikus jadi besar bukan karena arogan.
Inkonsistensi yang Konsisten
Ada banyak pilihan yang tersedia bagi pengarang untuk menggunakan tokoh yang dianggap cocok mengisahkan cerita. Tokoh pencerita itu disebut narator atau juru cerita. Secara umum ada dua macam narator yang sering digunakan pengarang, yaitu narator orang pertama (cerita diceritakan oleh “aku” yang mungkin hadir dalam cerita sebagai tokoh utama ataupun bukan tokoh utama) dan narator orang ketiga (cerita diceritakan oleh narator yang berada di luar cerita dan menunjuk tokoh-tokoh dalam cerita dengan sebutan “dia”, “mereka”, dan nama-nama mereka) (lihat Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, 1998: 246-266; lihat juga Alex Martin dan Robert Hill, Modern Novels, 1996: 15-18).
Ada narator dan penyudutpandangan ketiga yang jarang digunakan yaitu narator campuran aku dan dia, dia dan dia yang bernuansa aku, ataupun aku dan aku yang bernuansa dia. Salah satu narator jenis inilah yang dicoba pada “MuM”.
Secara sadar saya menggunakan teknik multinarator dan multisudutpandang. Eksperimen ini, menurut Martin dan Hill, adalah ciri tipikal eksperimen prosa abad ke-20, sebagai refleksi realitas zaman yang semakin rumit, ambruknya keyakinan pada kebenaran-kebenaran yang mutlak, serta ketertarikan pengarang pada persoalan psikoanalisis, dan pengakuan terhadap pentingnya pengalaman dan opini individual.
Memang benar, “MuM” adalah satu-satunya cerpen eksperimental saya dari beberapa cerpen yang pernah saya tulis. Tetapi eksperimen ini sebenarnya diilhami oleh teknik multinarator yang juga digunakan Ayu Utami dalam Saman (1998). Meskipun secara konsisten Utami menggunakan sudut pandang “aku”-an, “aku” dalam Saman mengacu pada tokoh yang berbeda sehingga sanggup membingungkan pembaca yang sudah terbiasa dengan “aku” yang secara konsisten hanya mengacu pada satu tokoh.
Coba buka Novel Saman dan perhatikan halaman 116 (“aku” adalah Shakuntala), 170 (“aku adalah Saman), dan 171 (“aku” adalah Yasmin). Padahal pada halaman sebelumnya (lihat sekitar halaman 40) novel ini diceritakan oleh narator “dia”-an. Novel ini memang membingungkan tetapi sangat inovatif dan karenanya menjadi Best Seller atawa laris manis (sampai tahun 2000 novel ini telah memasuki cetak ulang yang ke-15). Inkonsistensi yang konsisten ternyata bernilai, punya harga. Inkonsistensi yang tak boleh dilakukan prosais adalah inkonsitensi yang ngawur dan tak berpendirian.
Inkonsistensi yang konsisten dalam pemilihan narator juga dapat kita lihat dalam karya-karya penulis asing seperti dalam karya William Faulkner, The Sound and the Fury (1929) dan As I Lay Dying (1930), yang mendeskripsikan peristiwa melalui narator yang berbeda. Selain itu, dalam novel The Collector (1963) karya John Fowles, kisah penculikan dideskripsikan oleh si penculik dalam paruh pertama novel itu, dan oleh korbannya pada paruh kedua.
Secara konsisten saya mencampur sudut pandang pertama dan ketiga pada kelima segmen “MuM”. Ada “dia” dari sudut pandang “aku” yang ada dalam cerita dan ada pula “dia” dari sudut pandang narator yang ada di luar cerita dan narator yang ada di luar itu belum tentu berarti pengarang. Pernyataan kritis R. Ayuningrum pada paragraf ke-7 telah menyamakan narrator dengan author. Juru cerita itu tak sama dengan pengarang. Uraian lengkap mengenai hal ini dapat kita baca dalam Story and Discourse: Narrative Structure in Fiction and Film (Seymour Chatman, 1978:147-195). Semoga masukan ini dapat membuat kritik Anda yang lain semakin tajam. Teruslah mengeritik sebelum mengeritik itu dilarang. Salut juga buat Anda!
Karena Anda sangat menghargai konsistensi, saya ingin mengingatkan bahwa ada inkonsistensi dalam tulisan Anda dalam menggunakan kata “Bung” di depan nama saya. Ada apa dengan Sainul yang ber-”bung” dan yang tidak ber-“bung”? (lihat paragraf ke-1, ke-2, ke-8, dan ke-9, lalu bandingkan). Bukankah dalam konvensi penulisan nama dalam jurnalisme imbuhan panggilan yang bernuansa subyektif harus dijauhi? Ini sekedar mengingatkan dan tak perlu ditanggapi. Meskipun demikian, kritik Anda tetap “mewangi”. Terima kasih.
Banjarmasin, Mei 2005