55 Tahun Unlam: Dalam Bayang-Bayang Mitos
Pengantar
Pembaca yang budiman, artikel ini ditulis menjelang Dies Natalis Unlam ke-55 ketika ia masih berakreditasi C. Saya tidak mengubah sedikitpun isi tulisan ini kecuali memperbaiki beberapa kesalahan ketik dan menambah ilustrasi foto dari masa kini. Sebagian kebenaran dari pernyataan-pernyataan dalam tulisan ini sangat terkait pada kondisi saat itu. Kini Unlam telah berusia 58 tahun dan akronimnya secara resmi telah diganti dengan ULM meski belum sepenuhnya bisa, seperti jelas tampak pada domain hosting laman daring staf ULM ini atau URL ULM yang utama tetap menggunakan unlam.ac.id. Tulisan ini saya publikasikan untuk mengingat sejauh mana kampus kita telah berubah dan apa yang masih perlu terus perlu diperbaiki. Harapannya, semoga bisa menjadi bagian dari upaya untuk bercermin bahwa di antara kebanggaan-kebanggaan yang kita tampilkan ke ruang publik, ada hal-hal mendasar yang memerlukan perhatian serius. Selamat membaca.
***
Di ujung Ramadhan 1434H, salah seorang petinggi Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) bertanya kepada saya: Bagaimana mengembalikan kebanggaan terhadap Universitas Lambung Mangkurat? Ia, sebagai sivitas yang telah mencapai gelar akademik tertinggi, bukan tidak tahu jawabannya. Pertanyaan itulah yang perlu disadari oleh semua sivitas dan para alumninya agar memberikan kontribusi sekecil apapun sebagai balok-balok kecil untuk membangun kebanggaan itu. Petanyaan itu pun menyiratkan beratnya beban untuk mengubah Unlam yang lamban menjadi lebih gesit.
Saya tak bisa melihat apa yang terjadi di dalam tata kelola universitas ini dan tak mampu menilai bagaimana kinerja lembaga untuk menjemput kebanggaan di masa depan. Namun, secara kasat mata siapapun bisa menyaksikan universitas ini sebagai semacam battle field kepentingan-kepentingan egosentris dari aspek arsitekturalnya dalam dunia nyata maupun dunia maya (virtual reality).
Sebagai orang luar dari sistem tata kelola lembaga ini paling tidak ada beberapa hal yang ingin saya usulkan agar lembaga ini melakukan hijrah arsitektural, hijrah sistem informasi akademik dan kepegawaian, dari kepemimpinan tua yang statis-konservatif ke kepemimpinan muda-inovatif, dan hijrah dari suasana batin egosektoral sentris ke komunal kolegial-profesional.
Lihatlah bagaimana Unlam sebagai sebuah kesatuan arsitektural. Unlam menempati dua ruang berjarak sekitar 30an kilometer dan beberapa fakultas dicat dengan selera mereka sendiri. Perkembangan fisik setiap fakutas terlihat timpang. Secara rupa yang bisa kita indra, Unlam tidak memiliki kebanggaan arsitektural yang mencerminkan rasa kerakatan secara mental.
Bahkan, pada tataran yang ekstrim, ada Program Studi yang punya jaket almamater sendiri, bukan kuning tetapi biru. Iklan rokok pun sudah masuk kampus ini tetapi ironisnya, mahasiswa dalam berkegiatan ekstra kurikuler dilarang bermitra dengan rokok. Secara simbolik antarfakultas berperang satu-sama lain. Ketimpangan yang lebih menggelikan yakni ketika beberapa fakultas di bawah naungannya memperoleh akreditasi B, Unlam sendiri sebagai lembaga induk justru terakreditasi C.
Oleh karena itu, perlu perencanaan strategis jangka panjang untuk merelokasi Unlam ke satu kawasan terpadu dan terintegrasi dan menjadi model bermasyarakat yang ideal, rasional, dan tentu pada akhirnya membanggakan. Beberapa contoh bisa diteladani, yakni keberanian UI Salemba pindah ke Depok dan Universitas Udayana pindah dari tengah kota di Denpasar ke Bukit Benua, Nusa Dua. Dengan rumah baru, Unlam bisa berimajinasi lebih jauh daripada tetap di kedua rumahnya kini yang terpisah dan tampak kurang terurus.
Lihat pula ruang-ruang layanan tata usahanya, kepegawaiannya, perpustakaannya. Sungguh terlampau sederhana jika tak bisa dikatatan sangatlah buruk atau kurang sedap dipandang mata. Dengan melihat segala rupa itu, Unlam bukan hanya telah pasrah pada anggapan sinis yang menyebutnya sebagai universitas lambat maju. Bahkan lebih dari itu: Unlam sudah terlalu lambat! Unlam ditinggal jauh oleh Universitas Palangkaraya (Unpar), Kalimantan Tengah. Unpar kini sudah masuk jajaran 50 perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Menyebut ketuaan Unlam membuat sivitasnya bimbang antara bangga dan prihatin.
Membangun kebanggaan terhadap Unlam tak bisa dilakukan secara sepotong-sepotong dan sendirian. Ikatan alumni dan pemerintah daerah perlu mengajak Unlam berunding untuk berubah karena Unlam bukan hanya milik sivitasnya tetapi juga simbol kemegahan institusi pendidikan tinggi di provinsi ini. Maju dan tidaknya Unlam cerminan besar kecilnya itikad Pemerintahan Provinsi Kalsel terhadap peran Perguruan Tinggi bagi pembangunan manusia di Kalsel.
Dengan memberikan rumah baru pada Unlam dalam satu kawasan terpadu serupa dengan semangat dalam mitos Lambung Mangkurat yang menunggu kehadiran Putri Junjung Buih. Junjung Buih tak mau duduk di tahta bekas Empu Jatmika yang dinilainya telah najis. Ia mau mahligai baru dengan persyaratan arsitektural yang dipilihnya sebagai simbol perubahan semangat kepemimpinan.
Tengoklah pula laman universitas. Bagaimana ia bisa menjadi situs kebanggaan jika fungsinya hanya menampung informasi searah dan secara sistemik belum memungkinkan untuk melakukan registrasi secara online, menyimak suasana keilmuan yang terjadi secara keseluruhan di Unlam, konsultasi akademik secara online, dan evaluasi kinerja dosen oleh mahasiswa secara online pula. Laman atau website Unlam itu pun cerminan betapa banyak hal positif yang secara sistem informasi belum terintegrasi.
Catatan:
Coba bandingkan kondisi wajah (interface) laman universitas dan fakultas berikut ini sebagai ilustrasi dari peryataan di atas:
- Laman Universitas: unlam.ac.id
- Laman FKIP: http://fkipunlam.ac.id/portal/
- Laman FISIP: http://fisip.ulm.ac.id/web/
- Laman FH: http://fh.ulm.ac.id/id/
- Laman Faperta: http://faperta.ulm.ac.id/id/
Ada rasa bangga saat mahasiswa angkatan 2002/2005 mulai bisa membayar SPP melalui ATM, Internet Banking, dan outlet bank rekannya di seluruh Indonesia. Itu baru terjadi di usia Unlam yang ke-51. Ada semangat baru untuk memberikan pelayanan prima kepada mahasiswa. Ada banyak waktu yang bisa dihemat untuk tata kelola administrasi keuangan dan akademik yang lebih efektif dan efisien. Rintisan ini tampaknya belum merambah tata kelola sistem informasi akademiknya.
Amburadulnya sistem informasi online Unlam dapat dilihat dari ketakseragaman sistem yang digunakan oleh setiap fakultas. Setiap fakultas mendesain lamannya sesuai dengan selera desainernya dalam hal memilih warna, jenis huruf, merancang peta laman, dan menentukan informasi apa yang perlu ada dan tidak. Sistem informasi yang belum terintegrasi itu menjadi noktah ironis bagi keberadaan Ilmu Pendidikan, Ilmu Manajemen, dan Ilmu Informatika. Publik pastilah bertanya, apa gunanya ilmu yang ada di universitas ini jika tidak berfungsi di lingkungannya sendiri?
Dua kulit luar Unlam itu mengingatkan kita pada mitos Lambung Mangkurat sendiri sebagai patih tua yang kejam terhadap generasi muda Negara Dipa yang punya peluang memimpin dan menjadikan perempuan sebagai intrik kekuasaan. Ia membunuh kemenakannya secara langsung dan membunuh saudara kandungnya secara tak langsung. Ia ingin suksesi kepemimpinan di Negara Daha di tangannya yang kejam.
Mungkin ada benarnya, nama Lambung Mangkurat sebagai nama mitos dipertimbangkan kembali seperti keyakinan orang-orang Nusantara bahwa nama yang tidak tepat akan membawa penyakit berkepanjangan. Kekecewaan terhadap Unlam yang berlarut-larut itu apakah hanya kebetulan atau kutukan suasana batin mitis Lambung Mangkurat?
Unlam harus dikembalikan sebagai lembaga akademik yang sesungguhnya, lembaga yang membudayakan penyelesaian masalah sebagai etos mendasar dari perilaku ilmiah. Oleh karena itu, kebanggaan itu akan tumbuh jika segala kepakaran di dalamnya teruji untuk mengatasi masalah di dalam Unlam sendiri. Tanpa bukti itu, orang boleh percaya bahwa Unlam berada dalam kutukan mitos Lambung Mangkurat.
Di peringatan Hari Kelahirannya tahun ini, Unlam tidak boleh berhenti pada sekadar menarasikan prestasi kuantitatifnya. Unlam harus mengejar kesatuan arsitektural, jas almamater, integrasi sistem informasi akademik, meremajakan fasilitas dan kepemimpinan serta membuang jauh watak Patih Lambung Mangkurat yang otoriter, culas, dengki, dan kejam. Selamat Ulang Tahun!
Banjarmasin, Agustus 2013