Buku dan Kesejahteraan
(Membaca Lagi Misi Walikota Banjarbaru)
Meskipun pada saat kontestasi politik elektoral kita sepakat bahwa ketiga pasangan calon walikota Banjarbaru memiliki visi dan misi pembangunan kota yang sama-sama baik, tetapi ketika warga kota ini telah menjatuhkan pilihan kepada pasangan Nadjmi-Jaya, kita patut menunggu perwujudan misinya, yaitu Terwujudnya Banjarbaru sebagai Kota Pelayanan yang Berkarakter. Menurut mereka “berkarakter” terdiri atas dua aspek penting, yaitu, pertama, sumber daya manusia yang berkarakter, yaitu terciptanya sumber daya manusia yang sehat, mempunyai etos kerja tinggi dan berakhlak mulia berdasarkan nilai-nilai religius. Kedua, kota yang berkarakter, yaitu kota yang mempunyai ciri khas sebagai kota yang tertata/direncanakan (urban design) sehingga menjadi tempat hunian yang indah, aman dan nyaman yang berwawasan lingkungan.
Visi tersebut, menurut walikota terpilih dalam janji kampanyenya, dapat dilakukan dengan perwujudan, penguatan, peningkatan, dan pelaksanaan lima hal sebagai berikut: Pertama, mewujudkan sumber daya manusia yang terdidik, sehat, berdaya saing dan berakhlak mulia. Kedua, meningkatkan penyediaan infrastruktur perkotaan yang merata, cerdas dan berwawasan lingkungan. Ketiga, memperkuat kemandirian, peningkatan kerjasama investasi, penyediaan prasarana dan sarana perekonomian, peningkatan kelembagaan dan peluang kewirausahaan. Keempat, melaksanakan reformasi birokrasi yang berorientasi kepada pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik berbasis teknologi informasi. Kelima, memperkuat cipta kondisi masyarakat yang aman, nyaman dan tertib.
Walikota dan warga kota yang lain mungkin punya persepsi dan strategi yang berbeda untuk mewujudkan cita-cita ideal tersebut. Akan tetapi sebagai warga kota, izinkanlah saya menyampaikan persepsi dan strategi yang juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari visi dan misi tersebut, yaitu strategi literasi atau segala upaya meningkatkan budaya baca warga kota.
Saya bahagia mendengar bahwa Pencanangan Nasional Gerakan Indonesia Membaca (GIM) di kota Banjarbaru telah dilaksanakan di Kelurahan Landasan Ulin Tengah Kecamatan Liang Anggang pada 2 Agustus 2016, pencanangan GIM ke-7 dari 31 Kabupaten/kota se-Indonesia yang dipilih oleh Kemendikbud. Akan tetapi saya juga sedih jika tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya, Banjarbaru tak mau lagi mengadakan Bursa Buku Murah (BBM) seperti telah dibuktikan oleh Banjarbaru Book Fair (BBF).
BBF relevan dengan misi ketiga, yakni peningkatan kerjasama investasi. BBF juga semacam bentuk penyediaan sarana perekonomian. Konon, BBF dise-lenggarakan oleh sebuah event organizer (EO). EO tersebut merekrut beragam penerbit dan toko buku. EO juga membayar retribusi Lapangan Murjani dan toilet mobil. Keuntungan material bagi Pemko itu tak terlalu berarti untuk kepentingan jangka panjang kota ini karena BBF mampu memberikan multi efek yang menguntungkan banyak pihak. Orang-orang dari seluruh pelosok Kalsel datang, pariwisata pun ikut bergeliat. Sungguh tidak layak jika pemerintah memposisikan diri sebagai pedagang dalam hal ini karena BBF dapat dijadikan sebagai bukti strategi pembagunan dari visi dan misi di atas. Para pencinta buku tentu sangat mengharapkan BBF karena diskon-nya yang gila-gila-an. Sungguh sayang dan keterlaluan jika Pemko kali ini tidak mampu dan tidak mau mengadakan BBF atau pameran buku semacam ini apapun nama dan siapapun pengelolanya. Ketiadaan BBF adalah duka bagi pencinta buku murah!
Banjarbaru tidak perlu terlalu muluk-muluk untuk bersaing dengan kota-kota literat di negeri-negeri yang jauh. Bersaing sajalah dengan Banjarmasin, yang meskipun Perpustarda-nya lebih buruk dari Banjarbaru, tetapi tingkat budaya bacanya jauh lebih tinggi jika dilihat dari aspek jumlah toko buku yang ada di kota itu, yaitu lebih dari 20 toko buku.
Tingkat budaya baca sebuah wilayah dapat diukur dengan mengacu antara lain pada parameter yang digunakan oleh Jack Miller, presiden pada Central Connecticut State University, Amerika. Pada survey tahunan kota paling literat di Amerika yang ke-12 tahun 2015, ia menerapkan ukuran berikut ini untuk membuat peringkat sepuluh kota terliterat di Amerika: keberadaan toko buku, sumber daya internet dan perpustakaan, tingkat pendidikan, dan sirkulasi koran (usatoday.com, 2015)
Menurut Miller, pemeringkatan derajat literasi yang sering dilakukan oleh banyak negara menunjukkan bahwa perilaku literat atau budaya baca sangat penting bagi kesuksesan individu dan bangsa dalam ekonomi berbasis pengetahuan yang menentukan masa depan global. Masyarakat yang tidak melakukan praktik literasi seringkali represif terhadap hak asasi manusia, brutal dan kasar. Ini terkait dengan pengetahuan yang bukan hanya sebagai hasil tetapi juga alat. Kesejahteraan ekonomi bangsa apapun sangat terkait dengan derajat literasi warganya. Dalam kajian yang pernah dilakukan oleh universitas tersebut, derajat literasi Indonesia dari 61 negara yang disurvey berada di posisi ke-60 (The Jakarta Post, 12/3/2016). Cobalah sesekali Pemko Banjarbaru mengukur berapa kira-kira derajat budaya baca warga Banjarbaru.
Thomas Corley, penulis buku Rich Habits: The Daily Success Habits of Wealthy Individuals (Kebiasaan Kaya; Perilaku Harian Orang-orang Kaya) menemukan fakta menarik tentang hubungan budaya baca dan kesuksesan individu. Ia menemukan bahwa hanya 67 persen orang kaya yang nonton TV selama satu jam atau kurang selama sehari. Hanya 6 persen orang kaya yang nonton reality show sementara orang miskin yang menontonnya sebanyak 78 persen. Sedangkan 86 persen orang kaya suka membaca dan 88 persen mengaku bahwa mereka membaca buku tentang peningkatan diri selama 30 menit atau lebih dalam sehari.
Terkait dengan fakta ini, mengampanyekan budaya buku melalui bursa buku murah kolosal adalah kampanye untuk menyejahterakan warga Banjarbaru secara khusus dan Kalimantan Selatan secara umum. Ini selaras dengan aspek pertama dan utama kata “berkarakter” pada visi walikota Banjarbaru, bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkarakter itu sehat, beretos kerja tinggi dan berakhlak. Menurut Corley, SDM berkarakter dapat diwujudkan melalui budaya membaca. BBF adalah salah satu bentuk festival besar bagi budaya itu. Terkait dengan telah dilaksanakannya beberapa kali BBF, Banjarbaru terkesan mundur jika baru mencanangkan budaya baca karena faktanya pesta budaya baca telah dipraktikkan kota ini sebelum pemerintah pusat mencanangkannya. Mari kita budayakan mengingat kebaikan dan menghentikan budaya latah!