Cerpen Perlawanan Zaidinoor
Gengsi cerpen terbit di Kompas tentu beda dari cerpen yang terbit di media lain. Kata sahabat saya yang beberapa cerpennya berhasil tampil di Kompas, honor cerpen di media ini sekitar Rp 1,4 jt tahun lalu (2020) tanpa potongan pajak. Kalau beruntung terpilih jadi cerpen pilihan, cerpenisnya bisa mendapatkan rezeki tambahan. Dengan kata lain, cuma Kompas yang punya tradisi memuliakan cerpen dan pengarangnya dengan ganjaran honor sebesar itu dan kemungkinan penghargaan tambahan. Oleh karena itu, setiap kali ada cerpenis dari Kalimantan Selatan (Kalsel) yang berhasil menerbitkan cerpennya di koran ini akan disambut dengan banyak ucapan selamat terlepas dari persoalan kualitasnya.
Selain karena gengsi itu, publikasi sastra karya sastrawan Kalsel di media bertiras nasional memang masih jarang. Apalagi di era hancurnya pusat-pusat sastra, keinginan untuk melakukannya sudah tidak bergairah. Mereka lebih memilih menerbitkan karya melalui media tanpa kurasi dan honor. Malah rela bantingan untuk mewujudkan antologi bersama.
Cerpenis asal Kalsel yang karyanya pernah terbit di Kompas pun sedikit. Keberadaan mereka akan diuji oleh waktu. Salah satunya adalah Zaidinoor (selanjutnya saya sebut Zaid), cerpenis asal Hulu Sungai Tengah. Cerpenis ini pun tak begitu dikenal dalam ritual sastra Kalsel. Dia bukan cerpenis yang tenar di Kalsel. Paling tidak dalam rentang 2014-2021.
Minggu ini (14/2/2021) cerpennya terbit lagi di Kompas. Judulnya “Akhirnya Kita Semua Menjadi Maling“. Kisah berlatar belakang kehidupan masyarakat perkebunan karet di Kalsel ini dikembangkan dengan bertumpu pada percakapan tokoh Budir dan Badal. Dua sahabat yang hidupnya sulit karena harga karet dunia yang anjlok. Katanya, ini cerpen keempatnya yang diterbitkan oleh Kompas.
Terlepas dari beberapa kesalahan tulis, cerpen ini menarik dan sangat kontekstual dengan musibah banjir yang kini menimpa Kalsel dan kabupaten tempat cerpenis tinggal termasuk yang terparah. Harga karet yang anjlok itu memang nyata tetapi tidak pernah ada masyarakat penyadap karet yang kemudian beramai-ramai saling mencuri. Meski begitu, jangan anggap ini hoaks. Ini imajinasi yang mengandaikan kesulitan yang mencapai puncak paling ekstrem. Produk imajinasi itu jelas hasil rekayasa penulis. Rekayasa itu bisa dipandang sebagai alegori bagi masyarakat yang mengalami musibah yang kemudian menghasilkan musibah susulan. Dalam kasus cerpen ini, krisis ekonomi akan menghasilkan krisis moral. Krisis seperti ini lazim terjadi di negeri kita. Tentu tidak di lahan karet, tapi dalam kehidupan nyata. Contoh paling aktual antara lain korupsi bantuan sosial.
Zaid mulai menulis cerpen pada 2011. Tak ada orang yang secara khusus memperkenalkan sastra kepadanya. Sejak sekolah dia memang gemar membaca karya-karya sastra. Namun, dia mengaku bahwa Budi Kurniawan adalah gurunya dalam menulis. Kata Budi, Zaid termasuk salah satu kru tabloid Urbana yang tulisannya sangat bagus. Saat di Urbana, ia menulis banyak feature yang mungkin sudah lupa apa saja judul-judulnya. Selain menulis feature, dia juga pernah menulis esai untuk Historead.co (“Menapaktilasi jejak leluhur“)
Pada 26 Oktober 2014 dia mengabarkan cerpen keduanya yang dimuat Kompas. Judulnya “Bulu Bariyaban”. Setelah saya baca, saya katakan bahwa cerpen tersebut lebih baik daripada cerpen sebelumnya, “Serpihan di Teras Rumah“. Saya suka pilihan katanya yang mengalir dan efektif. Namun sayang, tokoh aku dalam cerpen ini tak berdaya dan harus menerima warisan buruk dari datunya. Cerita ini memilih meneruskan daripada melawan mitos bariyaban.
Meski demikian, cerpen ini membuat kami ngobrol lama tentang mitos-mitos di Kalsel yang menjadi latar penciptaannya. Kata Zaid, mitos ini sudah jarang disebut. Bariyaban sejenis hantu tapi tidak setenar hantu dundun atau kuyang. Mitosnya sebenarnya bukan tentang sosoknya tapi ilmu hitamnya. Dalam cerpennya, Zaid mencampur mitos bariyaban dengan mitos kuyang agar lebih dramatis.
Zaid mengaku bahwa awalnya dia ingin membunuh si datu, tapi dia takut ada kemiripan dengan novel Larung karya Ayu Utami.
Pesan apa yang ingin disampaikan Zaid kepada pembaca dengan mengangkat mitos-mitos? Zaid ingin menyampaikan dinamika kejiwaan manusia. Mereka yang rela menjadi tumbal ilmu hitam bukan karena jahat, tapi karena keadaan, bentuk perlawanan terhadap keadaan yang kadang tidak berpihak kepada mereka. Tapi ada juga karena keserakahan. Dalam pemahaman Zaid, baik dan jahat itu kondisional. Tak ada kebaikan dan kejahatan yang absolut. Kebaikan dan kejahatan tergantung sudut pandang.
Dia pun membenarkan kesan saya bahwa dia saat menulis biasanya berusaha menghindari kalimat yang berbunga-bunga karena selain dia memang tidak bisa, dia berharap pembacanya hanya menikmati cerita tanpa perlu memikirkan kalimat-kalimatnya. Jadinya, dia berusaha menulis kalimat sesederhana mungkin.
Meskipun cerita “Serpihan di Teras Rumah” tak sebagus cerpen setelahnya, cerpen ini dipilih Kompas sebagai salah satu Cerpen Pilihan Kompas 2013. Tradisi penghargaan Kompas ini berhasil menyejajarkan namanya dengan para sastrawan ternama seperti Arswendo Atmowiloto, Budi Darma, Putu Wijaya, Gerson Poyk, Agus Noor dan Seno Gumira Ajidarma.
Cerpen terbaru Zaid minggu ini membuktikan keinginannya untuk menceritakan dinamika kejiwaan manusia yang tak mengenal lagi kebaikan dan kejahatan yang mutlak. Cuma penentunya bukan soal perbedaan sudut pandang, tapi struktur sosial yang membentuknya. Dengan cerpen ini Zaid ingin menawarkan cara memandang kebaikan dan keburukan dalam kerangka struktural. Kebaikan atau kejahatan itu lahir dari struktur. Kemiskinan struktural dalam cerpen ini hanya bisa dihapus dengan perlawanan.
Cerpen karya Zaid yang lain juga terbit di Banjarmasin Post (“Wanita yang Menangis Sendirian”), di Radar Banjarmasin (“Sungai Kesepian”), di Media Kalimantan (“Pemakan Hati”), dan di Kalatida. com (“Makam”)
Loktara, 16/2/2021