Puisi Kuliner yang Matang
Kolega saya di kampus suka memasak. Minat besarnya pada hobi ini membuatnya rajin membanding-bandingkan resep dan rasa dan mencoba resepnya sendiri pada akhirnya. Saya pernah satu tim dengannya dalam mata kuliah yang terkait dengan telaah kurikulum dan buku teks. Dalam mengajar, ia sering menggunakan hobinya itu sebagai analogi pembelajaran.
Saya masih ingat salah satu pernyataan-nya di kelas. Katanya, mengajar itu seperti memasak. Untuk menghasilkan masakan yang lezat dan bergizi, kita harus menyiapkan bahan yang berkualitas, alat masak yang baik, dan cara memasak yang tepat. Semua itu harus direncanakan dengan baik. Setelah masakan dihidangkan, kita harus siap dengan pujian dan kritik orang-orang yang mencicipinya.
Menganalogikan pembelajaran dan memasak itu seperti menganalogikan puisi dan kuliner. Untuk menghasilkan puisi yang bergizi, penyair harus mengolah bahan mentah yang berupa kata-kata umum menjadi diksi puitis yang berima dan menyatakan gagasan secara tak langsung. Persis seperti campuran bahan mentah yang menghasilkan produk baru. Dengan kata lain, puisi yang mentah berarti belum merebus kata-kata yang digunakannya menjadi matang. Kata yang belum matang dalam puisi itu belum berhasil pindah posisi dari denotasi ke konotasi. Puisi kuliner yang matang bukan hanya menyajikan informasi kuliner tetapi imajinasi kuliner, yakni menggeser kuliner dari lokasi makna denotatif, seperti kolega saya menggunakan hobinya sebagai kiasan pembelajaran.
Gejala puisi mentah versus matang dapat kita jumpai dalam Antologi Puisi Kuliner Gabin Barandam. Antologi yang disunting oleh Syarif Hidayatullah (2020) ini memuat karya puisi bertema kuliner 64 penulis puisi dari berbagai daerah di Indonesia. Tidak semua puisi di dalam buku ini matang.
Beberapa sajak ini saya anggap lebih matang dari yang tidak. Pertama, sajak “Gulai Cumi Isi Tahu” karya Eddie MNS Soemanto, penulis puisi kelahiran Padang 1968.
kalau saja tahu Sumedang itu tahu
akan terhidang di rumah makan Padang
ia takan cukup berani meradang
dalam gulai cumi isi tahu
dikocok bersama telur dan daun bawangtetapi tahu tetap saja tahu
walau suka pergi jauh merantau
ke mana-mana
ia tak kan pernah mau cerita
tentang penderitaan tersesat di dalam perut cumisementara kamu diam-diam mencatat pelanggan
Soemanto (dalam Hidayatullah, 2020: 20)
yang tak henti setiap makan siang
minta dihidangkan gulai cumi isi tahu
dengan bahasa Padang logat Sunda
Puisi menggunakan kuliner sebagai kiasan dari percampuran budaya yang bisa dialami siapa saja. Puisi ini menggunakan Padang-Sunda sebagai contoh kasus. Orang Padang dan Sumedang sama-sama suka merantau. Jejak mereka kasat mata di restoran-restoran yang berhasil mereka sebarkan di berbagai daerah. Perantauan mereka membuka kemungkinan identitas baru yakni Padang-Sunda. Identitas baru seperti ini menyegarkan persepsi mereka yang sudah merasa nyaman dan lazim dengan keotentikan identitas. Orang Padang yang tak otentik semacam ini ada dan perlu diakui seperti dalam kiasan: minta dihidangkan gulai cumi isi tahu. Ini metafora yang sangat puitis.
Puisi Eddie sebelumnya “Kriuk Ikan Asin” juga matang. Ia tak berakrobat dengan kata-kata yang sulit. Pesannya mudah ditangkap. Ketidaklangsungan maknanya juga berfungsi baik.
berdoa di bawah bulan
ditemani keranjang
dan harga murah
kamu mana mungkin
mendengar doaku
bahwa asin tubuhku
cukup dari peluh nelayan saja
tidak perlu garam
yang juga murah dan kasar
melumuri matikubahwa ada hidup sesudah mati
kamu pasti tahu
tak mau mati sengsara
dijemur sampai gosong
agar nanti digoreng
dan digigit kriuktapi harganya tak seberapa
Soemanto (dalam Hidayatullah, 2020: 19)
makanya aku ingin peluh nelayan saja
yang ikhlas bekerja
membuat lauk anak bangsa
yang di pinggiran dan di kota
yang di pantai dan pesisiran bisa nikmati kriuk dengan gembira
Dalam puisi ini kuliner dijadikan sudut pandang untuk bicara tentang ketimpangan sosial terkait dengan kehidupan nelayan. Pendekatan ini pun digunakan dalam sajak “Hikayat Sayur Besan” karya Yahya Andi Saputra, penyair dari Jakarta. Dalam sajak ini Yahya menggunakan kuliner sebagai sudut pandang untuk mengisahkan pertemuan berbagai karakter manusia. Sayur besan menjadi kuliner penting dalam siklus hidup orang Betawi. Ia bukan sekadar kuliner yang mengenyangkan tetapi simbol budaya tentang perjumpaan dengan berbagai kemungkinannya. Sayur dalam sajak ini menjadi personifikasi saksi pembentukan keluarga baru.
aku menyaksikan manusia tumbuh membesar
membengkak berkali lipat dalam sekejap
aku hanya sayur besan mengingat yang ingat
di kampungku, tanah Betawi, aku menjadi hikayat orang-orang mengulang-ulang menyebut keberadaanku dengan ocehan yang dilambung-lambungkan kadangkala diracik penuh misteri spektakuler menjadi seperti angin sepoi kadang puting beliung sehingga hidup tenteram atau penuh bom waktu rumah menjadi surga atau runtuhan amukan molotovaku hanya kumpulan terubuk, kentang, bihun, ebi agar berkecamuk sensasi dengan sadar kulibatkan petai aku berkuah santan dipercantik kunyit sehingga kuning selayaknya warna emas mencorong menyihir imajinasi menjadilah keagungmuliaan tuhan disematkan di dadaku karena tuhan menjelma dalam sinar kuning emas (kamu harus ingat simbol bintang kuning menyala)
landasan utama akidah kulhuwallahu ahad
aku diyakini menjaga rantai hidup semesta
alam mikro kosmos makro kosmos ditata langgeng selalu melahirkan jiwa baru yang seimbangharus kamu ingat aku hanya sayur besan mempertemukan jutaan karakter manusia merajut cinta dan mendirikan rumah tangga selebihnya biar mereka menentukan akhirnya aku hanya mengingatnya tanpa mencatatnya
Saputra (dalam Hidayatullah, 2020: 151)
Yahya juga menggunakan kuliner sagon sebagai metafor nasihat ibu kepada anaknya. Jumlah puisi yang mencapai tingkat seperti dua puisi ini sangat sedikit. Sebagian besar puisi kuliner masih denotatif, gagal menjadi puisi kuliner yang konotatif. Kematangan puitis puisi kuliner ini dapat dicapai dengan baik ketika penulisnya paham hakikat puisi yang puitis dan mengerti berbagai aspek (sejarah, ekonomi, budaya, tata boga) kuliner dalam kebudayaan yang sangat intim dengan pengalaman penulisnya.
Loktara, 3 Januari 2021