Aktivitas Pengalaman Budaya

PERKAWINAN ADAT BANJAR

Latar Belakang

Sesuai dengan kodratnya yang dimiliki oleh manusia bahwa manusia diciptakan sebagai individu dan makhluk sosial. Sebagai individu, manusia diciptakan dengan mempunyai ciri yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya yaitu budaya, menurut Mary L, Connerly & Paul B, Pedersen (2005: 22) bahwa budaya merupakan komplesitas yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat dan lainnya. Dengan demekian, manusia atau individu dapat dikenali oleh orang lain dengan mengenali ciri-ciri tertentu yang dimilikinya, menurut Endy Marlina dan Arya Ronald bahwa Masyarakat memiliki budaya yang mempengaruhi habitat mereka yang bisa mengungkapkan budaya yang mendasari kehidupan sehari-hari mereka. Sebagai mahkluk sosial, manusia merupakan bagian dari masyarakat di sekitarnya. Bagian lingkungan terkecil yang mempengaruhi pola kehidupan manusia adalah keluarga (family). Setelah itu, individu tersebut mulai melakukan interaksi dengan lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat sekitarnya, menurut Soehardi bahwa lingkungan merupakan faktor yang bisa mempengaruhi budaya, baik budaya sosial mapun budaya fisik. Hal ini mengartikan bahwa seluruh tingkah laku manusia tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat yang ada di sekelilingnya dan berkolaborasi, sebagaimana telah disebutkan oleh Tegu Santoso bahwa yang dimaksud dengan kolaborasi adalah Kompleksitas budaya memprediksi tidak hanya lebih istilah warna dalam masyarakat, tetapi juga sejumlah besar istilah umum untuk mengklasifikasikan tumbuhan dan hewan. Hal ini mengartikan pula bahwa individu tersebut hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam keadaan hidup bersama ini masyarakat menciptakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa benda-benda (artifak), peraturan dan nilai nilai yang dipakai secara kolektif. Dengan mempergunakan kematangan dirinya, maka masyarakat tersebut menciptakan suatu bentuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu akan berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat lainnya. Dengan demikian, budaya akan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengenal masyarakat tertentu.

Pedoman hidup yang telah diciptakan itu dipakai secara bersama sama dan dilakukan secara turun temurun. Kebersamaan ini dapat dilihat dari serangkaian proses kehidupan manusia. Manusia lahir ke dunia selalu membutuhkan orang tua untuk dapat bertahan hidup. Pada usia anak anak, mereka akan mengadopsi nilai nilai yang diajarkan oleh orang tuanya tanpa ada protes yang berarti. Dalam hal ini, orang tua meletakkan dasar dasar pergaulan di dalam rumah dan di masyarakat. Setelah dia menginjak masa remaja, dia mulai mengadopsi nilai nilai yang ada di masyarakat, dan selanjutnya dia akan mulai belajar untuk hidup mandiri.
Individu dalam berperilaku mengacu pada sesuatu yang diyakini baik dan dianggap benar oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Keyakinan ini menjadi panutan bagi masyarakat secara umum. Keyakinan ini dapat bersumber dari agama atau kesepakatan umum. Keyakinan yang berasal dari agama tidak akan dapat dirubah oleh manusia, artinya bersifat dogmatis. Tetapi, masyarakat juga menciptakan suatu keyakinan yang lebih khusus lagi, dimana keyakinan ini menjadi panutan, pedoman hidup dan diagungkan. Keyakinan yang muncul di masyarakat ini diwujudkan dalam bentuk ide ide/pemikiran (idea), tujuan tujuan tertentu (goals), serta suatu perilaku yang sifatnya sangat mendasar dan diyakini kebenarannya oleh individu (spesific behavior). Hal ini lebih dikenal dengan istilah nilai/value.
Nilai yang dimiliki oleh seseorang akan memberikan arah bagi individu untuk mengartikan sesuatu hal yang berkenaan dengan perilaku yang akan ditampakkannya. Selain itu, nilai nilai yang dianutnya akan menjadi suatu gaya hidup individu tersebut. Dengan demikian, yang diinginkannya untuk masa depannya sudah mulai.
Nilai yang dimiliki oleh individu diadopsi dari lingkungan di mana dia berada. Lingkungan terkecil dan terdekat dengan individu adalah keluarga. Individu akan menginternalisasi nilai nilai yang ada dalam keluarga. Hal hal apa saja yang dianggap baik akan diinternalisasi oleh individu tersebut. Lebih luas lagi, individu juga mengadopsi nilai nilai yang berkembang di masyaraka, sebagaimana telah dikemukakan oleh Nicolas A Vacc dkk (2003: 12) bahwa setiap individu belajar tentang budaya berasal sebuah pandangan terhadap lingkungannya. Masyarakat ini merupakan tempat atau wadah bagi individu untuk melakukan sosialisasi. Adopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat akan di¬lakukan oleh individu. Selain dua hal tersebut, media massa (mass media) juga merupakan suatu media yang dapat dipergunakan oleh individu untuk mengadopsi nilai-nilai budaya tertentu, ketika memegang suatu nilai menurut keyakinan dan mengadopsinya dan dibangun dalam dirinya serta menyadari adanya sebuah perbedaan di antara kelompok maka dia termasuk kelompok etnik Lisa A, Suzuki & Joseph G, Panterotto (2008: 80).

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kehidupan manusia lekat dengan budaya. Budaya melingkupi dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan manusia yang terjadi secara kontekstual, bertdasarkan demands, dan kebutuhan sebagaimana menurut Victor Ganap bahwa Pada hakikatnya seni tradisi merupakan sebuah ekspresi kultural sebagai subjek kolektif yang terikat oleh karakteristik ranah budaya masing-masing sehingga identitas dan nilai kearifan lokalnya turut terbawa. Hampir semua aktivitas manusia tidak lepas dari pengaruh budaya, mulai dari makan, minum, tidur, berinteraksi dengan orang lain. Budaya ada dalam setiap peristiwa penting manusia mulai dari dari perkawinan, kelahiran hingga kematian. Menurut Suhartono W, Pranoto Pada dasarnya, budaya lokal merupakan aset dari kelompok etnis yang harus dijaga. Ini harus diasumsikan bahwa penerima budaya tidak mengabaikan tingginya nilai kearifan lokal. Dalam makalan ini akan mengangkat budaya dari kehidupana masyarakat Kalimantan Selatan khususnya masyarakat Pahuluan dalam proses adat  perkawinan adat banjar.

Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

  1. Bagaimana proses perkawinan adat banjar ?
  2. Apa makna yang terkandung dalam setiap proses perkawinan adat banjar?
  3. Hubungan makna yang terkandung dengan konseling lintas budaya?
  4. Implikasi terhadap Bimbingan dan Konseling ?

Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan menggali makna dari budaya yang di angkat dalam makalah ini untuk memberikan wawsan kepada pembaca bahwa dalam setiap buadaya tersimpan makna yang bisa kita jadikan sebuah dasar dalam pemberian bantuan pemahaman mengnai makna sebuah budaya dan implikasinya terhadap bimbingan konseli

BAB II

PEMBAHASAN

Perkawinan Adat Banjar

Provinsi Kalimantan Selatan terletak di sebelah selatan pulau Kalimantan. Secara geografis keadaan alamnya terdiri dari dataran rendah, rawa-rawa, sungai-sungai baik besar maupun kecil serta dataran tinggi dan pegunungan dengan lembah dan ngarainya. Di bagian selatan dan timur dilingkungi oleh pantai dan laut. Berdasarkan tempat tinggal dan asal etnisnya, suku Banjar terbagi atas tiga kelompok, yaitu :

  1. Banjar kuala: di daerah Banjarmasin dan kabupaten Banjar. Mereka berasal dari etnik Ngaju.
  2. Banjar batang banyu: di aliran sungai Barito dan terus ke sungai Negara hingga ke sungai Tabalong di Kelua. Mereka berasal darietnik Maanyan.
  3. Banjar pahuluan: di sepanjang kaki Gunung Meratus dari Tanjung sampai ke Pelaihari. Mereka berasal dari etnik Dayak dan Bukit.

Suku Banjar mengenal Daur Hidup dengan upacara tradisional yang salah satunya adalah Upacara Perkawinan. Upacara ini merupakan salah satu bagian dari Daur Hidup yang harus dilewati. Dahulu orang Banjar umumnya tidak mengenal istilah “berpacaran” sebelum memasuki jenjang perkawinan seperti yang kita ketahui sekarang. Namun, saat itu hanya dikenal istilah “batunangan”. Yaitu, ikatan kesepakatan dari kedua orang tua masing-masing untuk mencalonkan kedua anak mereka kelak sebagai suami isteri. Proses “batunangan” ini dilakukan sejak masih kecil, namun umumnya dilakukan setelah akil balig. Hal ini hanya diketahui oleh kedua orang tua atau kerabat terdekat saja. Suatu kehidupan yang paling menarik dan tak pernah terlupakan bagi individu masyarakat adalah acara “perkawinan”. Oleh sebab itu perkawinan tersebut selalu ditandai oleh sifatnya yang khas dan unik yang merupakan suatu tata traditional bagi setiap suku. Dalam peristiwa itu selalu terjalin dengan harmonis ketentuan menurut agama dan adat istiadat sebagai lembaga tak tertulis yang dipatuhi tanpa pertentangan  pertentangan antara satu dengan yang lainnya dalam strata masyarakat adat.
Suku banjar sebagai salah satu suku bangsa Indonesia di Kalimantan Selatan yang juga mempunyai tata cara keadatan tentang peristiwa perkawinan itu, meskipun keadatan tersebut telah mengalami perubahan  perubahan secara evolusi. Adat istiadat yang menurut kurun waktunya sangat menonjol adalah pada abad ke-18, suatu gambaran yang dapat dinilai secara fisik maupun psikis adalah pembauran antara peninggalan zaman Hindu, Islam dan pengaruh asing lainnya. Secara kronologis, maka peristiwa perkawinan menurut adat suku Banjar dapat diuraikan sebagai berikut:1) Basasuluh, 2) Batatakun atau Melamar, 3) Bapapayuan atau Bapatut Jujuran, 4) Maatar Jujuran atau Maatar Patalian, dan 5) Bakakawinan.

Proses Perkawinan Adat Banjar

  1. Basasuluh

Seorang laki-laki yang akan dikawinkan biasanya tidak langsung dikawinkan, tetapi dicarikan calon gadis yang sesuai dengan sang anak maupun pihak keluarga. Hal ini dilakukan tentu sudah ada pertimbangan-pertimbangan, atau yang sering dikatakan orang dinilai “bibit-bebet-bobot”nya terlebih dahulu. Setelah ditemukan calon yang tepat segera dicari tahu apakah gadis tersebut sudah ada yang menyunting atau belum. Kegiatan ini dalam istilah bahasa Banjar disebut dengan BASASULUH.

  1. Batatakun atau Melamar

Setelah diyakini bahwa tidak ada yang meminang gadis yang telah dipilih maka dikirimlah utusan dari pihak lelaki untuk melamar, utusan ini harus pandai bersilat lidah sehingga lamaran yang diajukan dapat diterima oleh pihak si gadis. Jika lamaran tersebut diterima maka kedua pihak kemudian berembuk tentang hari pertemuan selanjutnya yaitu Bapapayuan atau Bapatut Jujuran.

  1. Bapapayuan atau Bapatut Jujuran

Kegiatan selanjutnya setelah melamar adalah membicarakan tentang masalah kawin. Pihak lelaki kembali mengirimkan utusan, tugas utusan ini adalah berusaha agar masalah kawin yang diminta keluarga si gadis tidak melebihi kesanggupan pihak lelaki. Untuk dapat menghadapi utusan dari pihak keluarga lelaki, terutama dalam hal bersilat lidah, maka pihak keluarga sang gadis itu pun meminta kepada keluarga atau tetangga dan kenalan lainnya, yang juga memang ahli dalam bertutur kata dan bersilat lidah. Jika sudah tercapai kesepakatan tentang masalah kawin tersebut. Maka kemudian ditentukan pula pertemuan selanjutnya yaitu Maatar Jujuran atau Maatar Patalian.

  1. Maatar Jujuran atau Maatar Patalian

Merupakan kegiatan mengantar masalah kawin kepada pihak si gadis yang maksudnya sebagai tanda pengikat. Juga sebagai pertanda bahwa perkawinan akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para ibu, baik dari keluarga maupun tetangga. Apabila acara Maatar Jujuran ini telah selesai maka kemudian dibicarakan lagi tentang hari pernikahan dan perkawinan.

  1. Bakakawinan

Sebelum hari pernikahan atau perkawinan, mempelai wanita mengadakan persiapan, antara lain:

  1. Bapingit dan Bakasai

Bagi calon mempelai wanita dan pria yang akan memasuki ambang pernikahan dan perkawinan, dia tidak bisa lagi bebas seperti biasanya, hal ini dimaksudkan untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan (Bapingit). Dalam keadaan Bapingit ini biasanya digunakan untuk merawat diri yang disebut dengan Bakasai dengan tujuan untuk membersihkan dan merawat diri agar tubuh menjadi bersih dan muka bercahaya atau berseri waktu disandingkan di pelaminan.

  1. Batimung

Hal yang biasanya sangat mengganggu pada hari pernikahan adalah banyaknya keringat yang keluar. Hal ini tentunya sangat mengganggu khususnya pengantin wanita, keringat akan merusak bedak dan dapat membasahi pakaian pengantin. Untuk mencegah hal tersebut terjadi maka ditempuh cara yang disebut Batimung. Setelah Batimung badan calon pengantin menjadi harum karena mendapat pengaruh dari uap jerangan Batimung tadi.

  1. Badudus atau Bapapai

Mandi Badudus atau bapapai adalah uapacara yang dilaksanakan sebagai proses peralihan antar masa remaja dengan masa dewasa dan juga merupakan sebagai penghalat atau penangkal dari perbuatan-perbuatan jahat. Upacara ini dilakukan pada waktu sore atau malam hari. Upacara ini dilaksanakan tiga atau dua hari sebelum upacara perkawinan.

  1. Perkawinan

Upacara ini merupakan penobatan calon pengantin untuk memasuki gerbang perkawinan. Pemilihan hari dan tanggal perkawinan disesuaikan dengan bulan Arab atau bulan Hijriah yang baik. Biasanya pelaksanaan upacara perkawinan tidak melewati bulan purnama. Kegiatan pada upacara perkawinan tersebut adalah :

  • Badua Salamat Panganten

Hal ini ditujukan untuk keselamatan pengantin dan seluruh keluarga yang melaksanakan upacara perkawinan itu. Dalam hal ini pembacaan doa-doa dipimpin oleh Penghulu atau Ulama terkemuka di kampung tersebut. Selesai prosesi tersebut para undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang telah disediakan. Hal ini berlangsung hingga acara Maarak Pengantin.

  • Bahias atau Menghias Penganten

Sekitar jam 10 pagi, tukang rias sudah datang ke rumah mempelai wanita untuk merias. Kegiatan ini meliputi tata rias muka, rambut dan pakian, serta kelengkapan lainnya seperti Palimbayan dan lainnya. Bagi pengantin pria, bahias ini dilakukan setelah selesai merias penganten wanita.

  • Maarak Panganten

Apabila pihak pengantin sudah siap berpakaian, maka segera dikirim utusan kepada pihak pria bahwa mempelai wanita sudah menunggu kedatangan mempelai pria. Maka kemudian diadakanlah upacara Maarak Pengantin. Pada waktu maarak pengantin biasanya diiringi dengan kesenian Sinoman Hadrah atau Kuda Gepang. Pihak wanita juga mengadakan hal yang sama untuk menyambut mempelai pria juga untuk menghibur para undangan.

  • Batatai atau Basanding

Kedatangan pengantin pria disambut dengan Salawat Nabi dan ketika Salawat itu dikumandangkan pengantin wanita keluar dari dinding kurung untuk menyambut pengantin pria. Di muka pintu, pengantin pria disambut oleh pengantin wanita, untuk beberapa saat mereka bersanding di muka pintu, kemudian mereka di bawa ke Balai Warti untuk bersanding secara resmi. Apabila telah cukup waktu bersanding, kedua mempelai diturunkan dari Balai Warti untuk kemudian dinaikkan keusungan atau dinamakan Usung Jinggung, yang diiringi kesenian Kuda Gepang. Setelah di Usung Jinggung kedua mempelai disandingkan di petataian pengantin yang disebut Geta Kencana. Kemudian dilanjutkan dengan sujud kepada orang tua pengantin wanita dan para hadirin serta memakan nasi pendapatan (Badadapatan). Setelah itu kedua pengantin berganti pakaian untuk istirahat.

  • Bajajagaan Panganten

Pada malam hari pertama sampai ketiga sejak hari perkawinan, biasanya diadakan acara Bajajagaan atau menjagai pengantin, yang isinya dengan pertunjukan kesenian, seperti Bahadrah atau Barudat (Rudat Hadrah), Bawayang Kulit (Wayang Kulit), Bawayang Gong (Wayang Orang), Mamanda dan sebagainya.

  • Sujud

Tiga hari sesudah upacara perkawinan, kedua mempelai kemuadian di bawa ke rumah orang tua pengantin pria untuk sujud kepada orang tua pengantin pria. Malam harinya juga diadakan acara menjagai pengantin dengan maksud untuk menghibur kedua mempelai yang sedang berkasih mesra itu. Keesokan harinya mereka dibawa lagi ke rumah mempelai wanita untuk selanjutnya tinggal di tempat mempelai wanita bersama orang tua mempelai wanita untuk mengatur kehidupan berumah tangga. Apabila telah mampu untuk mencari nafkah sendiri barulah berpisah dalam artian berpisah dalam hal makan saja, namun tetap tinggal bersama orang tua mempelai wanita.

Makna yang Terkandung dalam Proses Perkawinan Adat Banjar

Makna yang terkandung dalam proses perkawinan adat banjar dari proses pertama sampai akhir adalah :

  1. Segala sesuatu tujuan yang kita harapkan selalu ada proses yang di tempuh.
  2. Tidak pernah mengeluh untuk mendapatkan dan mencapai sesuatu.
  3. Saling bahu membahu dalam memcapai proses yang diinginkan.
  4. Bekerja sama dan kompak dalam menjalankan kegiatan yang sifatnya berkelompok.
  5. Saling menghormati dan memberikan toleransi kepada orang lain.
  6. Sebelum kita mendapatkan apa yang kita inginkan kita terlebih dahulu mencari tahu apa yang kita inginkan.

Implikasi Terhadap Bimbingan dan Konseling

Bimbingan dan konseling merupakan unit pelayanan bagi siswa, melalui layanan bimbingan konseling itulah siswa akan mendapatkan bantuan kepada konseli. Setiap konselor mempunyai 150 siswa asuhan yang artinya terdapat 150 oarang yang berda dalam asuhan satu konselor dengan latar belakang buda mereka yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan adanya bahwa seorang konselor harus mengetahui bahwa adanya keragaman multibudaya dalam lingkungannya. Dengan mengetahui keragaman tersebut konselor bisa memahami dan bekerja sama dengan konseli dengan latar belakang budaya yang berbeda pula, menurut Colin Lago (2006: 11) seorang konselor sebelum melakukan dengan konseling harus mengenal terlebih dahulu kondisi konseling yang berarti kondisi konseli juga dan harus bersikap empati agar proses ytang berlatar belakang yang berbeda bisa berjalan lancar. Konselor yang peka akan adanya keragaman pasti akan bisa menyesuaikan dengan konselinya, begitu juga ketika konselor memberikan bantuan kepada konseli dia akan lebih mudah bekerjasama apabila konelor tidak peka dan hanya menunjukkan sikap konselor kepada budayanya sendiri hal ini akan menimbulkan konflik antar etnis seperti yang disebutkan oleh  Yo Jackson (2006: 2). Tujuan konselor adalah membantu menyelsaikan problema siswa dengan mengggunakan pndekatan yang bervariasi dan yang perlu diingat kesabaran dalam menghadapi proses penyelesaian itulah yang menunjukkan bahwa seorang konselor yang bisa menerima kehadiran dirinya sebagai seorang konselor yang baik. Oleh karena itu segala sesuatu perlu proses terlbih da

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Dalam proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor sebagai agen kedua (second agent) akan membantu klien (first agent) dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien. Agar pelaksanaan konseling dapat berjalan dengan baik maka ada rambu-rambu yang seharusnya disadari oleh konselor. Rambu-rambu ini diwujudkan dalam bentukpernyataan sebagai konselor lintas budaya yang efektif. konselor lintas budaya yang efektif adalah konselor yang:

  1. Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia itu berbeda latar belakang budayanya.
  2. Sadar bahwa “tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral”.
  3. Memehami bahwa kekuatan sosiopolitik akan mempengaruhi dan akan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok.
  4. Dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup.
  5. Jujur dalam menggunakan konseling, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.

Adapun menurut Madonna G, Constantine & Derald Wing Sue (2005: 132) ketikas kita berhadapan dengan konseli yang berbeda dari kita poin utama adalah kesadaran akan sikap dan keyakinan budaya seseorang, penggabungan perspektif tentang budaya dan menerapkan perspektif dalam mencapai perubahan.

Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:

  1. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien.
  2. Konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor.
  3. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.

Aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1) latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri. Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana dia berasal, dan klien membawa superangkat budaya yang dibawa dari, lingkungan dimana dia berasal ketika konselor menyadari akan adanya perbedaan tersebut berarti konselor sudah memahami akan adanya multicultural sepeti yang dijelaskan oleh Mary Dilg (2003: 8). Dalam hal ini seorang konselor harus bersikap professional dalam upaya kelancaran proses konselingnya sebagaimana disebutkan oleh Sabar Rutoto bahwa seorang konselor harus bersikap professional dalam melaksanakan profesinya demi tercapainya proses konseling yang diharapkan.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal yang penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa tugas perkembangan masing masing masing. Dan kita ketahui bersama bahwa masing masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah tidak sama. Konselor akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan usianya. Begitu pula dengan klien, dia akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan umurnya. Berdasarkan hal tersebut hendaknya sebagai seorang konselor kita bisa menyesuaikan dengan kondisi konseli baik latar belakang budayanya, tempat tinggalnya maupun usianya agar terhindar mispersepsi terhdapa orang yang akan kita tangani dan menghindari konflik yang bisa terjadi Jeffery Scott Mio (1999: 3),  jika konselor mengabaikan budaya konseli seperti yang disebutkan oleh Johni Najwan (Jurnal) bahwa salah satu alternatif untuk menyelesaikan konflik antara budaya dan konflik antar etnis di Indonesia diperlukan adanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai fungsi dan peranan hukum dalam kehidupan masyarakat yang multi budaya dan multi etnik.

 

RUJUKAN

Najwan, Johni. 2009. Konflik Antar Budaya dan Antar Etnis di Indonesia Serta Alternatif Penyelesaiannya. Universitas Jambi. (Online) dalam Jurnal Hukum(http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/5%20Johni%20Najwan.pdf) di Akses 15 Desember 2013.

Pranoto W, Suhartono. 2005. Budaya Daerah Dalam Era Desentralisasi. (Online) dalam Jurnal Humaniora  (http://jurnal-humaniora.fib.ugm.ac.id/site/karyadetail-new.php?id=271) di Akses 15 Desember 2013.

Soehardi. 2000. Budaya Arif Lingkungan dan Solidaritas Sosial: Konteks Konservasi Sumber. (Online) dalam jurnal Humaniora (http://jurnal-humaniora.fib.ugm.ac.id/site/karyadetail-new.php?id=355) di Akses 15 Desember 2013.

Marlina, Endy & Ronald, Arya. 2011. Ekspresi Budaya Membangun pada Masyarakat Jeron Beteng, Kecamatan Kraton, Yogyakarta. (Online) dalam Jurnal Humaniora (http://jurnal-humaniora.fib.ugm.ac.id/site/karyadetail-new.php?id=445) di Akses 15 Desember 2013.

 

Santoso, Teguh. 2004. Kajian Sosio Budaya Kumpulan Sajak Madura “Akulah Darahmu” Karya D. Zawawi Imron. (Online) dalam Jurnal Humaniora (http://jurnal-humaniora.fib.ugm.ac.id/site/karyadetail-new.php?id=136) di Akses 15 Desenber 2013.

Ganap, Victor. 2012. Konsep Multikultural Dan Etnisitas Pribumi Dalam Penelitian Seni. (Online) dalam Jurnal Humaniora (http://jurnal-humaniora.fib.ugm.ac.id/site/karyadetail-new.php?id=475) di Akses 15 Desember 2013.

Rutoto, Sabar. 2009. Harapan Dantantangan Profesionalisasi Layanan Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah.  (Online)  dalam Jurnal (http://himcyoo.files.wordpress.com/2012/04/harapan-dan-tantangan-profesionalisasi-layanan-bk-di-sekolah.pdf) di Akses 15 Desember 2013.

Lago, Colin. 2006. Race, Culture and Counselling The Ongoing Challenge. New York: Open University Press.

Connerley, Mary L & Pedersen, Paul B. 2005. Leadership In A Diverse and Multicultural Environment Developing Awareness, Knowlage and Skill. California: Sage Publications. Inc

Suzuki, Lisa A & Panterotto, Joseph G. 2008. Handbook Of Multicultural Assessment Clinical, Psycological, and Educational Aplications. San Fransisco: John Wiley & Sons, Inc.

Vicc, Nicolas A. Davaney, Susan B & Brendel, Johnston M. 2003. Counseling Multicultural and Diverse Populations; Strategies For Practitioners. New York: Taylor & Francis Group.

Constantine, Madonna G & Sue, Derald Wing. 2005. Strategies For Building Multicultural Competence in Mental Health and Educations Settings. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.ary.

Dilg, Mary. 2003. Thiriving In The Multicultural Classroom; Principles and Practices For Effective Teaching. New York: Teachers Collage Press.

Mio, Jeffery Scott. 1999. Key Words In Multicultural Interventions. London: Greenwood Press.

Jackson, Yo. 2006. Encyclopedia Of Multicultural Psychology. California: Sage Publications, Inc.

 

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *