When Things Come to A Full Circle

Minggu ini, ada dua kejadian yang membuat saya semakin ngerasa, life works in such a mysterious way.

  • Interviewed vs Interviewing

Tahun ini, saya kembali mendapatkan kehormatan waktu diberi kepercayaan oleh pihak AMINEF untuk menjadi salah satu panelis yang mewawancara calon Fulbright awardee. Tahun lalu saya juga menjadi salah satu panelis untuk wawancara calon mahasiswa PhD, tahun ini yang saya wawancara adalah calon mahasiswa Master Degree. Eh, frankly speaking, waktu saya baca aplikasi mereka, malah sayanya yang insekyur lho. Setdah. All those applicants have this impressive academic records and CV. Anyway. Waktu hari H wawancara, kebetulan saya adalah orang pertama yang masuk Zoom room untuk wawancaranya, bersama dengan Mbak Rianti dari AMINEF. Sebenernya bukan karena saya rajin or anything, tapi karena saya sempet lupa bahwa waktu wawancaranya itu dalam WIB. Bukan WITA. Nggak lama kemudian, pewawancara kedua, Dr. Swazey dari AMINEF masuk ke Zoom Room. Lalu si Mbak Rianti ngomong gini, “Baik, kita tunggu satu lagi pewawancaranya ya, Pak Bana.”

Begitu denger Mbak Rianti ngomong gitu, I immediately froze. Terus, saya dengan paniknya nanya, “Mbak, Pak Bana tuh Pak Bana yang dosen ITB?”

Waktu Mbak Rianti mengiyakan, I FREAKED OUT.

Kenapa? Karena sembilan tahun yang lalu, waktu saya berada dalam posisi orang yang diinterview, Pak Bana was the one who interviewed me!!!

Dan begitu Pak Bana masuk ke Zoom Room-nya, all those memories from 9 years ago flooded my mind. Alhamdulillah, beliau di usia yang sudah sepuh begitu masih keliatan sehat (as well as you can be with this whole pandemic thing going on). Saya dengan setengah terbata-bata, menyapa beliau dan ngomong, “Bapak dulu mewawancara saya lho Pak, 9 tahun yang lalu.”

Beliau cuma tertawa saja waktu itu.

Me? Masih takjub. Ya Alloh, bisa kek gini ya, hidup tuh :’).

Selama wawancara, Pak Bana ya seperti yang saya ingat waktu wawancara dulu. Tetap baik hati, dan encouraging ke para applicant. Waktu wawancara selesai pun, Pak Bana ramah banget ke saya.

Duh, Pak. Sehat-sehat selalu ya, Pak. Bapak sudah banyak sekali menebar benih-benih kebaikan. Entah Bapak sadar ataupun tidak, banyak sekali orang-orang merasa terbantu dan terinspirasi oleh Bapak.

  • Like father, like daughter

Semester ini, Alhamdulillah 8 orang mahasiswa yang mengerjakan TA-nya di bawah bimbingan saya bisa lulus dan meraih gelar S.Si. Salah satunya si Indah. Saya juga sebenernya cukup deket sama Indah, semenjak sebelum dia mulai TA sih. Saya belajar banyak dari dia soal punya ambisi dan kerja keras. Bayangkan saja, dia menikah waktu tahun ketiga kuliah, dan saat mengerjakan TA, dia dalam kondisi punya anak umur setahun lebih dikit. Di semester yang sama dengan saat dia skripsi, dia juga ngambil KKN. Dan memang ya, kerja keras tuh tidak pernah mengkhianati hasil. Dalam kondisi dia yang seperti itu, dia berhasil menyelesaikan studi S1, masa studi 8 semester dan IPK 3,3. Like, I learned a lot from her. Nah, waktu Indah ini menikah, kebetulan saya datang ke resepsinya dia, di Banjarbaru. Dan waktu itu memang kebetulan ada kenalannya Abah dan Mama saya yang mantu di Banjarbaru juga. Jadi aja waktu kawinan Indah itu, saya datang bersama kedua orang tua saya.

Pas salaman sama pengantin dan keluarganya, baru sadar: bapaknya Indah ini dulu adalah mahasiswa Abah saya waktu Abah masih ngajar di Teknik Sipil berpuluh-puluh tahun yang lalu. I mean, what a coincidence! Jadi kemaren ceritanya Indah sowan ke rumah saya, bareng dengan bapaknya itu. Si Bapak tuh sempet memandang berkeliling dan ngomong, “Saya terakhir ke sini lebih dari 30 tahun yang lalu Bu, konsultasi skripsi dengan Bapak.”

These are probably just some small things, but for me, these are the kind of things that have come to a full circle. The kind of things that show that the world works in a mysterious way. And I wonder, what other things that the world will show me next 🙂

For now, Ami, over and out 😀

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *