Seni-Sastra sebagai Jalan Budaya dan Pembentuk Kepribadian dalam Menghadapi Paham Fundamentalisme

Seni-Sastra sebagai Jalan Budaya dan Pembentuk Kepribadian dalam Menghadapi Paham Fundamentalisme

Perdamaian selalu terisi jawaban bagi setiap masalah yang ada,
sedangkan terorisme selalu terisi masalah, bagi setiap jawaban yang ada
(AM. Hendropriyono, 2009)

Di dalam disertasi filsafatnya tentang terorisme, Hendropriyono menyatakan bahwa terorisme merupakan tindak kejahatan yang tidak tunduk pada aturan apa pun, karena nilai kebenarannya terletak dalam dirinya sendiri–di sini terorisme dikaji dalam perspektif filsafat analitika bahasa (Disertasi Fakultas Filsafat UGM, 2009). Kejahatan terorisme ini pun, sebenarnya adalah puncak dari paham fundamentalisme–saya lebih memilih terma “fundamentalisme” untuk menunjuk pandangan/gerakan politik agama yang bersifat “keras-eksklusif”, ketimbang terma “radikal” yang artinya lebih netral: mendasar. Fundamentalisme, suatu ketaatan radikal manusia terhadap keyakinannya, dengan didasari cara pandang politis yang anti-budaya. Biasanya, sikap politik para fundamentalis yang eksklusif dan antibudaya ini cenderung tertutup, keras kepala, dan merasa benar sendiri. Dalam konteks masyarakat kontemporer kita, eksklusivitas kebenaran yang keras kepala itu pun telah melahirkan destruksi-destruksi sosial yang mengancam tatanan kehidupan berbangsa kita.

Tragedi bom bunuh diri di Kampung Melayu Jakarta tempo hari (24/05/’17) adalah anasir sangat nyata atas fundamentalisme antibudaya itu, aksi teror. Lagi-lagi, tenun kedamaian yang susah-payah kita rajut bersama selama ini terkoyak kembali. Kita pun harus hidup dalam kecemasan dan saling mencurigai. Kecemasan itu bisa kita rasakan lebih jelas, jika melihat data survei nasional tahun lalu (2016) dari Wahid Institut dan LSI. Di situ dinyatakan bahwa 59,9 persen dari 1.520 responden mengidap rasa kebencian kepada suatu kelompok. Ya, kebencian!

Kalau kita hanya menggunakan metode-metode konvensional, pendekatan politik hukum misalnya, saya kira itu tidak akan pernah menyentuh jantung persoalannya. Demikian karena masalah fundamentalisme adalah soal pandangan hidup, persoalan keyakinan. Pendekatan kognitif yang saintifik akan mengalami hambatan hebat, ketika dipakai untuk berkomunikasi dengan yang fundamentalis. Dan saya yakin sebagaimana yang digagas oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) & FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme) dalam acara hari ini, bahwa pada sastra atau seni sebagai jalan budaya adalah alternatif jalan paling potensial untuk mengkonter paham fundamentalisme yang destruktif itu.

Jalan Budaya sebagai Konter Paham Fundamentalisme

Jalan budaya adalah strategi hidup bermasyarakat yang menggunakan prinsip-prinsip nilai budaya. Misalnya nilai kreatif, dialogis, koeksistensial, dan artistik. Pada jalan budaya ini, bukannya kita mengesampingkan jalan teologis atau agama. Dalam otoritasnya masing-masing, pada komunitas agama tentu memiliki seperangkat nilai etisnya yang bisa digunakan untuk melawan paham fundamentalisme. Inspirasi nilai-nilai agama yang operasional pada ketokohan dan ketauladanan di komunitas muslim (seperti para ulama, kiai, tuan guru) adalah salah satu harapan kita. Beberapa referensi ketokohan agama dan kultural yang menggunakan media seni sebagai pendekatan budaya pun dapat menginspirasi kita.

Pada kasus musik populer, kita merasakan betapa metode dakwah H. Rhoma Irama melalui lirik dan musik dangdutnya mampu menghasilkan penyebaran nilai-nilai keagamaan yang membumi dan efektif. Dalam konteks sastra modern, kita juga melihat jalan budaya yang dilakukan oleh Buya Hamka, A.A. Navis, Gus Mus, Taufiq Ismail, D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib dan seterusnya. Bukankah jalan budaya macam ini sudah punya akar historis yang cukup kuat pada bangsa kita? Terkait tantangan pada fundamentalisme dan terorisme hari ini, tugas kita bersama adalah melawannya dengan terus mengolah dan menciptakan suatu jalan budaya yang strategis. Dan pihak yang paling memerlukannya adalah generasi muda kita.

Problem generasi muda kita yang hidup dalam kultur millenial, adalah suburnya kebiasaan instan dan lemahnya daya nalar yang kritis. Fenomena kegagapan dalam menggunakan teknologi media sosial, seperti masifnya penyebaran berita berkonten hoax (bohong) dan produksi hate speech (ujaran kebencian), adalah salah satu buktinya. Inilah potret lemahnya generasi millenial kita yang menjadi santapan empuk paham fundamentalisme. Indoktrinasi paham fundamentalisme akan sangat mudah dimasukkan kepada generasi muda yang lemah kualitas budayanya. Oleh karenanya, pembentukan karakter berbudaya (kreatif, dialogis, koeksistensial, artistik) pada generasi muda kita, dipandang menjadi solusi dalam mengkonter infiltrasi paham-paham fundamentalisme. Dan pada dimensi seni-sastra, sungguh memiliki potensi amat strategis dalam rangka pembudayaan kepribadian itu.

Pembentukan Pribadi Berbudaya Melalui Sastra
Sastra adalah ekspresi batin manusia yang tidak mampu diungkapkannya dalam bahasa biasa. Ketika seorang anak mulai bersastra, membaca, menulis atau berkarya, saat itulah ia mulai memasuki kedalaman pengalaman-batin manusia. Ini yang tidak akan ditemui ketika misalnya ia membaca berita koran atau buku pelajaran ilmiah. Demikian karena sastra berbeda dengan bahasa biasa. Sifat sastra yang imajinatif dengan melibatkan unsur metafora, simbol, cerita dan dramatikanya, akan menumbuhkan kepekaan sekaligus ketajaman rasa, intuisi kita.

Sastra dalam dirinya, merupakan bahasa cinta akan hidup kemanusiaan. Kompleksitas pengalaman hidup kita seperti rasa sedih, bahagia, rindu, marah atau kecewa, akan terbahasakan secara artistik dan imajinatif oleh sastra. Baik dalam sajak puitis, novel, cerpen, naskah drama, atau bentuk sastra lainnya. Keindahan budaya sastra inilah yang dalam sejarahnya terbukti terus-menerus mewarat kemanusiaan. Jika paham eksklusif fundamentalisme melahirkan gerakan terorisme yang merusak kehidupan, maka sikap berbudaya pada karya sastra adalah anti-tesisnya. Jika terorisme adalah ekspresi keputusasaan manusia dengan segala pembenarannya, maka sastra adalah usaha kreatif manusia untuk terus mencari jalan hidup bersama. Kebenaran sastra yang relatif-imajinatif akan menyadarkan kita, bahwa manusia bukanlah penentu dan penguasa kebenaran. Ini yang membedakan sastra dengan paham fundamentalisme yang membawa egoisme kebenarannya.

Budaya sastra seperti itulah bahan pembentuk mental manusia, sehingga menjadi pribadi-pribadi yang kreatif dan dinamis. Dengan bersastra, maka akhirnya akan menumbuhkan pribadi yang punya sikap toleran, berpikiran mendalam, dan terus-menerus membuka diri akan kemungkinan kebenaran. Persoalannya kemudian adalah, apakah budaya sastra dan kesenian sudah menjadi mental hidup masyarakat kita? Apakah jalan pendidikan formal sudah mampu mentransformasikan nilai-nilai sastra kepada peserta didiknya? Mari kita diskusikan bersama-sama.

Menutup tulisan singkat ini, izinkan saya untuk masuk ke barisan penyair, menuliskan sebuah sajak. Puisi sederhana ini adalah ekspresi saya atas tantangan teror-fundamentalisme, sebagaimana yang kita diskusikan hari ini.

Melihatmu, Gerhana Bulan

dengan tenang seorang pesakitan berjalan
langkah kakinya telanjang
sendiri ia menjemput cahaya malam
memikul gerhana bulan

kita melihatnya kemudian lekas-lekas
melupakan
di balik belenggu pekik perjuangan itu
kosong
kecuali pada ratapan tangis janda dan sesenggukan ibu-ibu
yang pilu, direnggut buah cintanya

padamu kisah asal kita si anak adam
membangun penjaranya sendiri
dalam sekat tipis paham
misteri pertanyaan penghabisan itu
menjadi tembok batu yang dingin
lantas aku bertanya
tanpa kata asali itu, mampukah kita bermalam

wahai, nurani
matahari nunggu jawaban bumimu
untuk melanjutkan tugas abadi
kehidupan

Banjarmasin, Mei 2017

*Tulisan ini disampaikan dalam dialog Pelibatan Komunitas Seni dan Budaya dalam Pencegahan Terorisme, dengan tema “Sastra Cinta Damai, Cegah Paham Radikal”. Diselenggarakan oleh BNPT & FKPT Kalsel di Hotel Aria Barito Banjarmasin, Rabu 31 Mei 2017. Gagasan pokok tulisan ini, “Mengonter Gerakan Terorisme dengan Seni Sastra”, juga dimuat di rubrik opini Tribun Forum Harian Banjarmasin Post, Rabu 7 Juni 2017.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *