Ketika Banjarmasin Ngejazz

Ketika Banjarmasin Ngejazz

Minggu Malam itu, 14 Mei 2017, saya cukup beruntung. Ya, keuntungan pribadi itu karena saya bisa menikmati sajian musik Bandarmasih Jazz Fest 2017, dari awal hingga usai. Selama kurang lebih empat jam, jam 8 hingga 12 malam, dua belas grup musik asal Banua pun unjuk kebolehan musikal jazznya di atas panggung. Acara kreatif yang dimotori oleh Lucas and Friends dan didukung MLD Spot (PT. Djarum) itu pun cukup menyedot perhatian insan musik kota Banjarmasin dan sekitarnya. Bertempat di Cafe Nostalgia Jl. Belitung Banjarmasin, tak kurang dari dua ratusan pasang mata-telinga larut dalam irama jazz.

Keberuntungan yang saya maksud di atas adalah soal waktu musikal yang berkualitas. Jika misalnya kita selama seharian beraktivitas, bekerja, di situ bisa kita ukur berapa banyak waktu yang benar-benar punya kualitas musikal. Dan ketika kita menikmati sajian musik, itu adalah tindakan estetis untuk menyerap sebentuk waktu, yang tentu saja berkualitas musikal. Termasuk menonton pertunjukan musik jazz.

Bandarmasih Jazz Fest 2017, nampaknya adalah usaha seni-kreatif dari para musisi Banjarmasin yang non pemerintah. Tapi justru karena absennya dukungan pemerintah kota ini, pertunjukan musik malam itu pun jadi asyik, ekspresif, tanpa basa-basi. Demikian, karena kita tahu lazimnya perhelatan kesenian yang diinisiasi oleh lembaga pemerintah daerah akan menuntut disediakannya sejumlah waktu untuk kata-kata sambutan dari pejabat. Di situ, biasanya suasana akan jadi formalistik dan membosankan. Kontras dengan spirit seni, bukan? Dan Bandarmasih Jazz Fest 2017 pun bebas dari suasana itu.

Penampilan Indonesian Drummers

Sekitar jam 8 malam lebih sedikit, acara jazz itu dibuka dengan penampilan dari Indonesian Drummers (ID). Tiga musisi memainkan instrumennya masing-masing, membawakan kompoisisi perkusi bernuansa Latin. Dua musisi nampak kompak memainkan instrumen snare di depan, sedang seorang drummer mem-back-up di belakang. Sayang, pembukaan ini terasa datar, karena komposisi yang mereka bawakan tidak menawarkan kejutan aransemen ataupun performance memukau. Ya, sekadar membuka begitu saja.

Lalu menyusul penampilan NSA Project di atas panggung. Lima musisi anggotanya pun membawakan komposisi instrumentalia beraroma etnik Melayu-Banjar, yang mereka beri judul “Speechs Sound”. Dari judul yang berindikasi “ngobrol” ini, mereka menyajikan satu komposisi yang hendak mengeksplorasi aktivitas keseharian kita, ngobrol. Maka, nada-nada dari ketiga instrumen panting-gambus yang bergaris suara mayor seperti menyuarakan kata-kata entah apa. Lalu, melodi-melodi pendek dengan motif trill dari flute terdengar meresponnya. Satu instrumen pukul waterphone pun sesekali menimpali “obrolan” antara tiga panting dengan flute. Maka hentakan forte yang eskpresif pun terasa menerobos percakapan instrumen melodis itu.

Sebenarnya, spirit jazz dari komposisi NSA Project malam itu cukup berpotensi menawarkan sajian yang bermakna. Misal nilai eksploratif yang mengarah pada ethnic-jazz. Sayangnya, ide musikal untuk merepresentasikan realitas etnik sosial mereka tidak didukung oleh komunikasi yang jitu dengan audiens. Misal, dengan membeberkan sinopsis karya yang cukup kepada audiens. Elemen improvisasi dan teknik dramatika performance pun kurang diolah. Akibatnya, sajian di atas panggung hanya terasa seperti obrolan bunyi kosong yang lewat.

NSA Project

Sajian lainnya yang juga berusaha menghadirkan konsep ethnic-jazz adalah grup Sanggar Anum Nada Etnika Banua. Sebagai nama grup yang mereka usung, nuansa etnik klasik Gamalan Banjar nampak pada masuknya instrumen babun (kendang), sarun, selentem dalam blue-riff akustik gitar dan gesekan biolin. Arah jazz dengan bahan Gamalan (Banjar) ini tentu saja menimbulkan kontraksi musikal yang jelas. Kontras antara scale diatonik pada lagu jazz klasik “Night & Day” dan “This Masquerade” dengan laras gamelan telah menimbulkan efek harmoni musikal yang “keras” atau enharmonis. Akibatnya tak mudah dikonsumsi oleh telinga standar. Maksudnya, karena rasa harmoni telinga kita memang sudah terbiasa dengan modal nada yang standar, enak dan harmonis.

Salah satu grup yang cukup menarik saya di malam itu adalah sajian dari HB7. Demikian karena grup ini berisikan sekelompok remaja kreatif dari SMK 4 Banjarmasin. Meski berusia muda, namun musikalitas dan garapan pertunjukan mereka cukup apik untuk kualitas seusianya. Dengan balutan kostum yang kompak sewarna hitam, dua lagu Banjar mereka bawakan secara fusion di panggung. Lagu yang dibawakan mereka adalah “Pais Pisang Pais Gumbili” dan “Yun Napa Yu Nana” (cipt. Hamiedan AC). Aransemen fusion dan funk-jazz ala remaja SMK 4 Banjarmasin itu telah menawarkan lokalitas kultul Banjar yang dinamis. Dan pemanfaatan instrumen panting untuk menebalkan lokalitas musik mereka tidak sia-sia. Melalui racikan irama swing, funk hingga rock-jazz, juga penggunaan sinkopasi serta tutti yang kompak, sajian mereka menjadi cukup ngejazz, meskipun belum matang. Bagaimanapun, saya kira mereka adalah aset musisi Banua yang perlu diapresiasi.

Setelah HB7, giliran naik ke atas panggung grup The Boengkus. Di sinilah grafik pertunjukan malam itu menjadi klimaks. Demikan karena grup yang digawangi oleh para musisi jazz kawakan dari Banua ini, sebut saja Yudi (keyboard), Lucas (bass) dan Hendra (panting, babun), sangat atraktif dalam menumpahkan keterampilan musikal mereka di atas panggung. Lagu “Damar Wulan” cipt. H. Anang Ardiansyah sebagai lagu pop-Banjar pun berubah wajah menjadi sangat ngejazz. Selain garapan aransemen yang kuat struktur musik jazznya serta kualitas setting sound-audio yang baik, yang menarik dari The Boengkus malam itu tentu saja pada akrobatik teknik instrumen mereka. Khusunya dialog musikal pada jemari lincah Yudi di atas tuts keyboardnya dengan kemahiran teknik panting dan babun dari Hendra. Alhasil, pertunjukan malam itu pun memuncak di sana.

Dinamika sajian jazz malam itu, rupanya dipercantik pula oleh hadirnya grup Consuelo di atas panggung. Setelah urat-musikal saya naik bersama The Bungkus yang penuh akrobatik, sajian selanjutnya dari Consuelo pun seperti menurunkan ketegangan saya secara teratur. Nuansa akustik Consuelo yang mengolah aransemen smooth-jazz nampak dari nomor klasik “Besame Mucho” dan “Logika”-nya Vina Panduwinata yang dibawakan cukup manis. Satu hal yang mengganggu kesempurnaan musikal dari kuartet ini (gitar klasik, bass, drum, vokal) adalah pada penampilan sang vokalis. Entah mic-ing yang tak maksimal atau teknik vokal yang kurang prima, beberapa vibrasi nada blue terdengar luput di telinga saya. Selain Consuelo, hidangan “jazz cantik” pun dibawakan oleh Kids & Parent. Satu nomor yang dibawakan kuartet ini (piano-keyboard, bass, drum, vokal) menyumbang nuansa romansa 80-an itu pun didukung oleh sang piano-keyboardis dan vokalis yang nampak senior.

Dari keseluruhan grup yang tampil di malam ngejazz itu, ada dua hidangan yang memberi warna lain. Yakni sajian musik blues dari dua grup, Rina feat. Enzen Blues Band, serta grup Gt. Pandu Blues Brother & Enzen. Tampilan dari vokalis Rina yang nampak tak muda lagi namun mampu menawan penonton. Dengan lekukan blue-not dan teriakan serak ala Janis Joplin, ia membawakan lagu “Jemu” (Koes Plus) dan “Oh Darling” (the Beatles) dengan cukup atraktif. Agak berbeda, Gt. Pandu Blues Brother pun menambah rasa blues malam itu dengan raungan khas Fender Stratocaster-nya. Roh maestero blues Stevie Ray Vaughan dan Jimi Hendrix pun seperti hinggap di atas panggung. Sayangnya, output sound melodi gitar terdengar kurang maksimal. Akhirnya terasa ada yang kurang terpuaskan di telinga saya.

Gt. Pandu Blues Brother

Satu sajian unik malam itu yang perlu dicatat adalah penampilan dari Distrik 7. Dengan bahan lagu The Beatles klasik semacam “Come Together” dan “Imagine” (John Lennon) , Distrik 7 mampu menafsirkannya ke dalam nuansa psychedelic. Suatu aransemen yang unik dan asyik. Di panggung, muncul luapan-luapan bunyi imajinatif dari elektrik synthesizer, efek biolin dan timbre vokalis yang eksotik. Cuatan beberapa instrumen itu pun di-backup oleh tempo-ritme dan teknik yang baik dari sang drummer. Barangkali kenikmatan musikal saya pada sajian mereka akan menjadi sempurna, jika suara treble dari sound gitar dan bass tidak overload sehingga “menyerang” telinga saya.

Panorama estetika jazz anak Banua malam itu pun ditutup dengan penampilan Memorable. Suguhan band-combo ini mencoba meramu khazanah jazz dalam gaya pop anak muda. Ceria, ringan tanpa beban, kompak dan manja. Begitu karena penampilan dari sang vokalis yang perempuan bisa menerjemahkan bahasa anak muda itu secara komunikatif. Dua-atau tiga lagu karya mereka sendiri pun dimainkan. Kekompakan bunyi terasa dari instrumen akustik gitar, bass, keyboard dan drum. Hanya saja, sound keyboard terdengar lamat-lamat dan kurang muncul.

Bandarmasih Jazz Fest 2017 malam itu, secara umum dapat dikatakan berhasil digelar. Baik secara pertunjukan maupun musikal. Namun beberapa kekurangan yang saya ingat, bisa menjadi catatan kita bersama. Pertama soal rundown acara yang bergeser, dari jadwal yang dipublikasikan. Dari yang semestinya dimulai jam 4 sore, entah mengapa, bergeser ke jam 8 malam lewat sekian menit. Ini menunjukan kekurangsiapan panitia. Juga mengenai setting tempat penonton yang menghadirkan meja khusus bagi kalangan undangan. Pola pembagian undangan dengan non-undangan ini sangat terasa feodalistiknya. Dan bertentangan dengan jiwa musik jazz itu sendiri. Bukankah spirit jazz adalah pembebasan? Karena jazz adalah soal bahasa kebebasan ekspresi dan kesetaraan sosial.

Catatan saya yang kedua, ketika Banjarmasin ngejazz (Bandarmasih Jazz Fest 2017) dimaui untuk dijadikan wadah ekspresi kreatif para musisi Banua yang punya kecenderungan dalam kultur musik jazz, maka serapan latar-nilai daerah (Banjar) perlu untuk terus dikembangkan. Misal, terus menggali problem masyarakat lokal yang faktual untuk diolah sebagai bahan ngejazz. Begitu, karena karya musik, baik jazz mapun genre/kultur yang lain akan kosong nilainya jika hanya sampai pada intrumentasi bunyi belaka. Pencapaian isi yang bermakna adalah puncak kualitas suatu karya musik. Barangkali ini akan kita lihat di Bandarmasih Jazz Fest 2018 yang akan datang. Semoga.

*Artikel ini dimuat dalam Rubrik Opini Radar Banjarmasin, Kamis 18 Mei 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *