Mandi Bungas dan Enam Perempuan yang Ngeblues

Mandi Bungas dan Enam Perempuan yang Ngeblues

Kalau kita sedang dan telah membaca suatu teks, terlebih Sastra, maka hampir takmungkin kita mengelak untuk diburu imaji, disergap makna. Setelah membaca Mandi Bungas, dengan mengamini Seno Gumira Ajidarma dalam Pengantarnya, saya melihat buku ini jelas-jelas dikonstruk oleh wacana politik gender, dengan rajutan ragam makna-imaji yang bagi saya, sangat biru, bersuara blues.

Tentu, daya tarik buku ini, pertama-tama adalah karena keenam penulisnya perempuan. Masing-masing menawarkan dua judul cerpen. Adil sekali. Di situ, bunyi-bunyian khas blues itu akan kita temui pada rintih minor kepedihan perempuan, akibat kemelut percintaan. Ada pula cinta paradoks yang merdu, namun sekaligus sumbang, perih dan tragis. Ada lagi, suara feminis yang lantang dalam melakukan perlawanan terhadap apa-apa yang musti dilawan, kungkungan budaya patriarkal misalnya. Dan, langsung saja, nyanyian blues dalam Mandi Bungas ini saya bicarakan ke dalam enam bagian. Cukup adil, bukan?

Blues 1
Mandi Bungas dibuka oleh dua cerpen Dewi Alfianti, berjudul “Perempuan Berwajah Monyet” dan “Sebatang Pohon di Tengah Ilalang”. Pada cerpen pertamanya, saya kira di situlah letak maksud Seno di Pengantarnya, yang menandai buku ini menghadirkan wacana pergeseran kualitas perempuan, dari kecantikan menjadi sebentuk “kekuasaan”.

Cerpen “Perempuan Berwajah Monyet” ini menceritakan tokoh Marsiah alias Siah, perempuan buruk rupa, serupa wajah monyet. Makanya, Siah pun sejak kecil menjadi objek kekerasan-bullying dari lingkungan sosialnya, tanpa ia punya tempat untuk berlindung. Tragisnya orangtua Siah tidak pernah hadir, manakala teman-temannya jadi pengejek dan peneror setiap hari. Siah si buruk rupa ini pun tumbuh dalam cengkeraman sepi, sekaligus didera dendam sosial. Ketika dewasa, ia malahan memeroleh kuasa, menjadi birokrat tinggi di lembaga keuangan internasional. Kuasa itulah yangkemudian ia pakai untuk balas dendam. Ia pun “mengancurkan” karier sosial orang-orang yang dulu kerap menyakitinya. Uniknya, akhirnya Siah yang hitam berwajah monyet ini menemukan pria yang bisa melihatnya secara unik lagi cantik. Eksotis, kata sang pria—dalam teks, pria ini bernama ganda dan membingungkan ( Ardi apa Aryo?)

Rasanya, sinisme fisik pada ilustrasi perempuan berwajah monyet di cerpen ini bisa kita lihat juga sebagai satir atas perilaku naïf dalam keseharian kita. Ya, cerpen ini nampak merepresentasikan laku kita manusia, sebagai “si tukang tanda”. Satirnya, cerpen ini telah merogoh kesadaran kita, yang acapkali menjadi “tukang tanda” terhadap realitas eksternal kita. Bukankah kita pernah atau sering, menandai sesuatu mirip sesuatu? Kita pernah bilang, meski dalam pikiran: “oh, wajahnya mirip monyet” atau bisa menyebut “ ah, dasar buaya darat!” dst. Penandaan realitas dengan gaya animalistik begitu, bukankah alami milik imaji anak-anak yang sedang belajar mengidentifikasi dunia?

Pindah ke cerpen kedua Dewi Alfianti, “Sebatang Pohon di Tengah Ilalang”, cerpen ini mengisahkan konflik dua perempuan bersaudara, Juwai dan Diyang. Latar konfliknya, jika Juwai adalah perempuan yang sangat biasa rupa dan otaknya, Diyang sebaliknya. Ia punya paras nan indah-cantik, pun cerdas otaknya. Soal senjang kecantikan fisik inilah yang kemudian menyebab Arsyad, calon suami Juwai, lebih terpesona pada Diyang. Selain problem kualitas “yang cantik”, cerpen ini juga menebalkan makna budaya partiarkal, juga dengan wacana feminisme. Bahwa pernikahan Juwai dengan Arsyad (yang lebih tertarik dengan kecantikan Diyang) adalah ajang pertunjukan kuasa. Kuasa pria atas wanita, yang kuat terhadap yang dilemah. Titik lemah ini ditunjukkan pada tokoh Arsyad, sebagai suami yang pemabuk dan suka memukuli istrinya. Meski demikian, Juwai tetap saja tidak mau meninggalkannya. Juwai takpunya kuasa, tiada punya daya. Apa ini tersebab oleh cinta? Soal budaya patriarkal, cerpen ini mencoba menyikapinya dengan nada perlawanan. Sosok Diyang yang cantik lagi berpendidikan, dan punya keterampilan beladiri sehingga itu menyebab kematian seorang pria yang mau memerkosanya, adalah suara perlawanan itu.

Blues 2
Dua cerpen selanjutnya adalah karya Hatmiyati Masy’ud yang berjudul “Perempuan, Luka, dan Airmata” serta cerpen “Perempuan yang Kehilangan Rasa Takutnya”. Di luar wacana kiritisnya, bahasa dari kedua cerpen ini cukup puitis, menambah bobot rasa sastranya. Di situ kita akan banyak menemui ungkapan-ungkapan imajis seperti ini: “… pendingin udara maksimal tak mampu mengusir panas yang pelan menjalar laksana penyakit kulit”; atau pada ungkapan “Angin tepekur sejenak”; atau dalam kalimat “percakapan ini bagai bara”; atau pada kalimat“Matanya bersinar jenaka dengan pipi bersemu merah jambu dan alis melengkung seperti bulan sabit”; juga pada kalimat “Dingin jeruji besi dan mata nyalang Ariana serupa mata kucing yang bersinar di kegelapan”.

Soal wacana kritis, cerpen “Perempuan, Luka, dan Airmata” menyajikan tema ke-perempuan-an, melalui spirit perjuangan cinta. Di sini mengisahkan dua perempuan yang bersahabat, Ranin dan Kayla, yang memperjuangkan keyakinan cintanya. Ranin yang terjerat tali cinta kepada pria beristri, dengan segala keluguannya, ia malah memperjuangkan cinta yang cacat norma sosial itu. Sedang Kayla berusaha memperjuangkan cintanya (cinta sejenis, atau humanistik?) kepada sang sahabat, Ranin, dengan cara merebut Bara, untuk menyelamatkan Ranin dari terkamat Bara yang buaya darat.

Pada cinta Ranin yang cacat sosial menunjukkan, betapa kuasa budaya patriarkal telah sedemikian kuatnya menindas perempuan. Mengenai makna cinta-Kayla, ini berdiri pada landasan cinta yang waras sosial. Bahwa seorang perempuan yang menjalin hubungan asmara dengan pria beristri, bagi Kayla, perlu dihentikan. Pada tokoh Kayla, perempuan dipersepsikan pula sebagai penakluk pria. Perempuan boleh dan bisa menentukan pilihannya, atas pria, bahkan mengalahkannya. Ini dinarasikan ketika Kayla mau menaklukkan Bara, ketika ia memacu mobilnya untuk menghentikan perjalanan Bara: “Kayla berpacu kencang. Apa yang harus dilakukannya? Menghabisi lelaki itu hanyalah pilihan terakhir, memperingatkannya itu yang utama” (hlm. 30). Setelah itu, Kayla pun memutuskan untuk menjebak dan menaklukkan Bara yang buaya, dengan jeratan pesona feminitasnya. Dan berhasil.

Cerpen kedua, “Perempuan yang Kehilangan Rasa Takutnya”, terasa melantangkan suara, tentang kuasa perempuan sebagai makhluk pemilih keputusan. Ini berada pada tragika tokoh utamanya, Ariana. Ariana digambarkan sebagai sosok istri yang berani membela martabat keluarganya, membela harga dirinya dan suaminya. Ketika bosnya, Pak Sarmidin, menghina dan bahkan merendahkan sang suami lantaran ia menolak diajak tidur, Ariana pun memilih berani. Dengan caranya sendiri, ia melawan sang bos yang brengsek itu. Membunuh, menikam dada bosnya dengan pisau lipat. Namun, fiksi tragika Ariana yang membela martabatnya dan keluarganya, dengan pilihan tindakan yang brutal itu, nampak kurang logis. Sulit rasanya untuk menemuinya dalam realitas, ada kenekatan hidup sosok perempuan macam Ariana.

Blues 3
Dua cerpen selanjutnya adalah karangan Nailiya Nikmah JKF, “Jangan Sendiri, Nanti Kau Sunyi” dan cerpen berjudul “Senyum Ibu”. Saya kira, dua cerpen ini memang ditulis dengan keterampilan yang jitu, khusunya kemampuan penulisnya dalam mengkompos frasa ikonik. Misal ketika ia menawarkan irama bahasa: “jangan sendiri, nanti kau sunyi”. Kalimat tersebut adalah tumpuan seluruh kekuatan cerpen apik ini. Cerpen ini menghadirkan imaji kesendirian atau kesunyian sebagai salah satu nada hidup, menjadi filosofis . Meski makna itu tidak mudah untuk digapai, namun dengan retorika dialog yang cerlang pada tokoh-tokohnya, kita pembaca menjadi tertawan oleh cerpen ini.

Tokoh-narator Aku dalam cerpen ini adalah seorang perempuan yang keras kepala, kukuh dalam pilihan kesendirian sosialnya. Mimpinya untuk mereguk pendidikan setinggi-tingginya merupakan sebabnya, dan membuat ego-eksistensialnya bertahan dalam pilihannya, menjadi perempuan yang sunyi-sendiri. Pria yang sungguh menyintainya diabaikan, lantaran takmampu menyentuh mimpinya. Ketika ada pria yang entah dengan cinta atau tidak, tapi mau menikahi dan mengajak pergi kuliah S3 bersama di luar negeri, ia pun langsung mengiyakan.
Sebenarnya bangunan konflik cerpen ini datar saja, akan tetapi yang membuat cerpen ini menarik adalah retorika dialog-dialognya yang kritis, sebagaimana cerpen “Senyum Ibu”. Cerpen “Senyum Ibu” mengisahkan Firda, gadis tomboi yang selalu diperlakukan dingin oleh ibunya, pun kakak-kakak perempuannya. Ia selalu menuntut jawab, kenapa sang ibu takpernah sekalipun nampak tersenyum? Lewat sebuah kata puitis ini, “senyum”, cerpen bergerak dari kisah Firda yang haus akan kasih ibunya, menuju pada klimaks dramatiknya. Firda pun akhirnya tahu, hilangnya senyum sang ibu ternyata tersebab oleh kelahirannya yang tidak pernah diharapkan.
Selain suguhan retorika dialog yang kritis, dramatika yang apik, keapikan dari kedua cerpen ini ada pada closing dan ledakan-ledakan ceritanya. Wajarnya sebuah dramatika cerpen yang “harus” memenuhi hasrat estetika pembaca, teknik ledakan atau kejutan cerita misalnya, pada kedua cerpen ini memenuhinya.

Blues 4
Dari seluruh cerpen di buku ini, dua cerpen Rahmiyati, “Wanita yang Duduk di Balik Jendela” dan “Mandi Bungas” cukup khas karena menawarkan dunia yang sangat berdeda. Ia tidak berusaha khusus untuk vokal dalam mewacanakan tema gender, kecuali pada cerpen “Mandi Bungas” yang masih terasa wacana kritis budaya patriarkalnya. Dan nampaknya, ia lebih suka untuk mengolah tema mistik sebagai bahan konflik dan dramatik kedua cerpennya, ketimbang soal feminisme misalnya.

Cerpen berjudul “Wanita yang Duduk di Balik Jendela” adalah kisah misteri dengan bumbu horor lagi mistik. Ini seputar ketertarikan pemuda Marwan atas sosok perempuan yang misterius. Perempuan itu selalu dilihat Marwan setiap hari duduk di balik jendela, yang kemudian diketahuinya sudah meninggal. Kenyamanan menikmati cerpen ini adalah pada ilustrasi setting yang dinarasikan begitu detilnya, sehingga kita pembaca dapat mendapatkan imaji suasana yang konkret. Rumah klasik Belanda yang penuh lukisan, juga bapak tua penjaga yang misterius, hal itu mampu digambarkan secara imajis, namun realis. Juga pada data-data yang mendukung, misal tentang wawasan seni rupanya, ini membantu kita pembaca untuk lebih memahami muatan dan arah ceritanya. Dalam cerpen ini, meskipun tersirat wacana hegemoni budaya pratriarkal, yakni pada tokoh lelaki pelukis Belanda yang menikahi perempuan pribumi dan mau meninggalkannya untuk pergi ke Belanda, namun hal ini tidak dilanjutkan hingga menjadi kritis.

Berbeda dengan cerpen sebelumnya, pada “Mandi Bungas”, tema mistik digali dari kultur lokal Banjar sehingga nilai magisnya yang cukup membumi bagi kita akan sangat bermakna. Yakni pada budaya-tradisi Mandi Bungas, yang dipercayai sebagai ritual untuk “memercantik” perempuan. Gunanya agar cepat mendapatkan jodoh. Latar kultur tradisi yang magis itu lalu dibawa cerpen ini kepada persoalan hegemoni budaya partriarkal, melalui fenomena kehidupan TKW. Seorang TKW yang baru pulang dari Arab Saudi, dilanda kegalauan lantaran tidak kunjung mendapatkan pria jodohnya. Kegalauan itu tersebab oleh desakan lingkungan sosialnya, lebih-lebih kawan-kawannya yang sudah menikah semua. Ketika ia berhasil memeroleh jodoh, tragisnya, pria yang menikahinya itu hanya mau menikmati harta hasil TKW-nya. Sang suami pun akhirnya pergi meninggalkannya, dengan membawa seluruh perhiasannya. Perih mendera, menyakitkan.

Kedua cerpen ini sebenarnya menunjukkan bahwa tema-tema perempuan sebagai bahan dasar cerita bisa diolah dari banyak hal. Dunia seni rupa maupun persoalan tradisi magis di lingkungan kita sehari-hari tentu saja adalah pilihan bahan yang menarik.

Blues 5
Pada dua cerpen Ratih Ayuningrum seperti membawa kita pada keunikan makhluk bernama perempuan. Bersandar pada kedua cerpennya, satu hal, bahwa perempuan terkadang bisa menjadi makhluk yang naïf jika ia dirantai oleh cinta romantik yang akut. Di sisi yang lain, perempuan pun bisa menjadi makhluk yang paling total dalam mempertanggungjawabkan cintanya. Ini menarik juga.

Romantisme akut dan naïf itu bisa kita nikmati pada cerpen “Tentang Dua Perempuan (Dua Wanita)”. Di sini perempuan yang menjadi sosok ibu, ditunjukkan begitu naifnya dalam memperlakukan masa lalu. Kematian suami yang dicintainya, harus membawanya kepada kenaïfan. Ardi, anaknya yang “kopian” sempurna suaminya, diperlakukannya secara tidak wajar. Ketika Ardi menjalin kasih dengan perempuan yang dicintainya, itu dianggap sebagai sesuatu yang akan merenggut Ardi darinya. Hilangnya Ardi, baginya adalah hilangnya cinta yang romantik, hilangnya cinta-kenang terhadap suaminya. Soal cinta romantik yang naïf ini, rasanya juga bersinggungan secara kritis dengan pertanyaan Seno dalam Pengantar buku ini. Faktor cinta yang dominan dalam buku ini, termasuk cerpen “Dua Wanita”, sebenarnya cinta yang mana? Cinta yang bagaimana?

Lantas, cerpen “Gadis di Sudut Taman” bisa kita nikmati sebagai pelaksanaan cinta yang total itu, dengan segala risiko sosialnya. Cinta dalam cerpen ini adalah suatu tanggungjawab moral keibuan. Seorang ibu yang bagaimanapun risikonya, akan tetap merawat anaknya. Meski sang anak dalam kondisi abnormal, meski suaminya sendiri menyerah dalam mengurus anak taknormal itu, dan kemudian melarikan diri dari moralitas pengasuhan orangtua. Jadi, cinta memang bisa menjadi wadah adonan berbagai problem rumit kehidupan. Seperti kedua cerpen ini.

Blues 6
Barangkali, “Perihal Seseorang yang Terbunuh di Waktu Sore” adalah cerpen yang paling “lurus” di buku ini. Demikian, karena cerpen ini memang benar-benar hanya menyajikan cerita jalan lurus kepada kita pembaca. Cerpen ini nampak enggan membawa gagasan konflik keluarga melalui perebutan harta warisan, untuk menjadi drama yang kuat, berliku serta dinamis.

Cerpen ini berkisah tentang gadis remaja bernama Ina, yang ketakuatan dan takmau berangkat sekolah lantaran ia diteror oleh Julak Ibas. Pamannya ini mau merebut rumah warisan keluarga mereka. Bahkan sang Julak mengancam akan menumpahkan darah jika ia tidak lekas mendapatkan bagian dari rumah warisan itu. Lantas, sang ibu pun meminta Bani anaknya, kakaknya Ani, untuk segera pulang dari tempat kerjanya, agar bisa menyelesaikan perseteruan keluaganya dengan Julak Ibas. Akhirnya, Bani pun pulang. Suatu sore, dengan tatapan mata yang aneh dan mistik, Julak Ibas terbunuh oleh sabetan parang Bani, secara brutal dan amat kesetanan.

Cerpen ini memang datar, lurus, tidak ada ledakan. Meskipun menghadirkan konflik dramatik, namun titik tuju ceritanya gampang ditebak. Satu hal yang menyelamatkan cerpen ini dari kegagalan adalah muatan lokalitasnya. Sayangnya, di sini mistisisme yang membalut tokoh Bani ketika melakukan pembunuhan tidak digarap dengan baik. Soal yang lain, barangkali potensi moral cinta keluarga dalam cerpen ini bisa pula kita reguk maknanya. Bahwa martabat keluarga adalah pembuktian cinta sosial. Ketika keluarga diganggu dan diteror, maka apapun harus dilakukan demi membela martabat keluarga, meski harus dengan jalan kekejaman dan tragika.

Cerpen kedua dari Rismiyana, “Wajah Luka”, lebih nampak mampu mengolah dramatika cerita menjadi tebal maknanya. Singkatanya, cerpen ini mengisahkan tokoh gadis bernama Lina yang menelusuri identitas orangtuanya. Kejelasan identitas ini, lebih-lebih sang ayah, berkaitan dengan kegagalan rencana pernikahannya, lantaran sang ayah yang diperlukan menjadi wali nikah tidak jelas di mana rimbanya.

Saya kira cukup di sini saja paparan saya. Selebihnya, bisa kita diskusikan bersam-sama. Namun sebelum saya usaikan paparan saya, perlu disampaikan refleksi secara singkat tentang buku ini. Buku Mandi Bungas ini memang mencoba mengajak kita untuk masuk ke dalam pengalaman yang privat, melalui bahasa dan persoalan dunia perempuan. Soal tipis-tebalnya makna dan pesan-imaji buku ini, pada akhirnya akan tergantung kualitas komunikatifnya, pada guratan sastrawinya. Ketika saya menandai cerpen-cerpen di buku ini sebagai suara-suara yang ngeblues, sesuatu yang “tipis-tebal” itu terumuskan dari tema Cinta yang di-sastra-kan dalam kacamata perempuan. Dari kacamata inilah, intinya, kita dapat mendengar dan mencerap tentang tenaga perlawanan atas kuasa budaya patriarkal, dengan segala keberanian, beban kenangan, moralitas sosial, hingga kejamnya kenyataan hidup. Itulah suara biru yang saya maksud, suara ngeblues dari enam perempuan penulis buku ini.

Banjarmasin, Sabtu, 13 Mei 2017

*Tulisan ini disampaikan dalam bedah buku cerpen Mandi Bungas di FKIP Universitas Lambung Mangkurat

Suasana Diskusi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *