Komisi Pertikaian: Dramatika Fabel dan Representasi Urbanistiknya

Komisi Pertikaian: Dramatika Fabel dan Representasi Urbanistiknya

Jumat malam, seminggu yang lalu (23/12) saya menyempatkan diri untuk datang ke Balairung Sari, Gedung Pertunjukan Seni di Taman Budaya Kalsel. Kesempatan itu sudah tersiapkan, karena sebelumnya sepucuk surat undangan dari Dapur Teater datang ke saya. Ya, mereka mengundang saya untuk jadi apresiator. Dari pengalaman nonton pertunjukan Dapur Teater malam itu, saya pun mencoba untuk mengapresiasinya secara estetik. Lalu jadilah tulisan ini.

Pertunjukan tetaer malam itu merupakan Pagelaran Akhir Tahun 2016 dan dalam rangka Milad Dapur Tetaer yang ke delapan. Secara profesional, pertunjukan mereka disajikan oleh ketiga bilik kreatifnya. Ada bilik teater, bilik musik dan bilik tari. Ketiganya pun nampak mengolah satu tema utamanya ke dalam tiga garapan pertunjukan yang saling berkelindan. Setidaknya itu yang sempat saya amati pada sesi kedua (malam) pertunjukannya. Demikian, karena saya hanya bisa mengapresiasi satu sesi saja dari keseluruhan sesi pertunjukan mereka (sesi pertama Jam 16.00; sesi kedua Jam 20.00 WITA).

Meski agak molor sedikit dari jadwalnya, pertunjukan sesi malam pun dibuka secara musikal. Tetabuhan ritmik perkusi mulai terdengar. Alat musik semacam bedug pun dipukul situasional di antara tiga tubuh teaterawan pria yang bertelanjang dada. Mereka menggeliat, merayap dan bergerak ekspresif di depan area parkir gedung pertunjukan. Ada setumpukan kertas yang rupanya menjadi sentra tubuh-tubuh ekpresif itu. Tiba-tiba nyala api membakarnya, menambah gejolak ekspresif ketiga tubuh itu. Lantas muncullah kepalan tangan dari tumpukan kertas yang habis terbakar dan mengabu itu. Dan dari situ, perlahan hadir sosok yang kemudian nampak punya otoritas bagi setting pertunjukan itu. Saat itu, sambil mengisap kretek, saya masih santai mengamati “pertunjukan tubuh” dari atas jok sepeda motor Honda CB di area parkir. Entah sepeda motor punya siapa.

Melalui setting di tengah-tengah penonton di luar gedung, pertunjukan pembukan yang mereka namai “Tubuh Ritus” itu seperti menawarkan suatu wacana yang dihadapkan sedekat mungkin kepada publiknya. Ada ekspresi-ekspresi tubuh-sensitif yang menyimpan emosi tuntutan. Entah menuntut apa. Lalu, Tubuh Ritus itu diakhiri dengan suara deklaratif, cukup bermakna. Kira-kira suara forte yang terdengar dari kejauhan itu berbunyi begini: “Oi, mana dialognya…?!” Dan saya kira, karena dialog adalah bahasa verbal yang lebih deskriptif ketimbang tanda kinestetik (bahasa tubuh) yang simbolik, maka suara deklaratif yang menuntut sebuah dialog itu cukup bermakna untuk mengantarkan Tubuh Ritus mereka ke dalam pertunjukan Dapur Tetaer selanjutanya.

Pertunjukan Tubuh Ritus pun dilanjutkan ke dalam gedung Balairung Sari. Namun sebelum penonton mendekati pintu masuk gedung, tiba-tiba beberapa penari keluar dari pintu dengan diiringi irama japin yang cukup rampak-energik. Ya, di hadapan dan atau tengah-tengah penonton, para penari itu menyuguhkan gerakan-gerakan indah-lentur dari ragam Tari Japin (mereka menyebutnya Tari Japin Kreasi)—memang ada tarian yang bukan kreasi? Tak lebih dari sepuluh menit, tarian japin usai. Penonto diarahkan ke dalam gedung untuk menikmati pertunjukan teater dengan lakon “Komisi Pertikaian”—penulis naskah Benny Ashadi. Tentu saja, dengan membeli dahulu tiket seharga Rp. 20.000.

Seperti yang masih banyak dilakukan dalam pertunjukan seni kita, sajian “Komisi Pertikaian” yang disutradarai Fauzan Halim malam itu pun diawali dengan seremonial berupa sambutan-sambutan. Sebelum sesi itu, di sisi kanan panggung sekelompok “anak band” menyuguhkan musik cadas. Lengkap dengan raungan efek gitar distorsi, beat drum yang cepat, serta teriakan screaming sang vokalis. Sebagaimana spirit musik rock, sajian “cadas” itu seolah memberi sambutan kepada penonton. Ya, spirit pemberontakanlah yang menyambut kami. Pertanyaannya, berontak kepada siapa? Kenapa musti berontak?

Beberapa pihak pun bergantian diminta sepasang “emsi” (master of ceremony) untuk naik panggung. Ngomong ini-itu, terima kasih kepada si anu si anu. Begitu. Dan menurut saya, sesi “sambutan” itu masih bisa dipadatkan dan dipendekkan lagi. Kenapa harus padat? Ya supaya padat. Kenapa harus lembek kalau bisa dibuat padat? Dan kenapa kita masih suka berpanjang-panjang kalau pendek itu efektif? Untungnya, problem efektivitas artistik panggung mereka malam itu segera dilengkapi dengan sajian musikalisasi puisi. Dengan memilih rasa musik jazzy, sekelompok pemusik yang sebelumnya cadas itu switch ke frekuensi easy listening. Sayangnya, problem sounding mengganggu artikulasi teks puisi yang mereka lagukan.

Oke, masuk ke pertunjukan. Panggung gelap. Lalu bermunculanlah sekumpulan binatang di antara pohon-pohon di atas panggung. Ada tiga rusa dengan tanduk ranting pohon bercabang, berbaju kantoran. Sesekali, kemudian rutin, mereka mengeluarkan endusan yang natural. Hgrrrgh…! Hgrrrgh…! Setelah ketiga rusa itu berbincang-bincang, yang nampaknya berisi obrolan urban antara pemimpin perusahaan dan kedua karyawati binatangnya, kemudian muncul binatang lainnya di panggung. Empat atau lima kelinci berlompatan. Disusul satu anjing betina putih bergerak natural, senatural suara-suara kikikannya. Kiik…! Kiik..! Lalu dari dalam goa terdengar suara raungan, keluar satu binatang jantan hitam, berekor, sebangsa gorila, yang kemudian berperan sebagai pemimpin kelompok kelinci dan anjing betina putih itu. Di tengah percakapan mereka kemudian, hadir pula dua kucing betina hitam dan seekor ular hijau.

Di bawah kekuasan sang gorila, yang entah kenapa berlogat Jawa (?), kelompok hewan ini berseteru dengan kelompok rusa soal pembagian tutup kepala, peci hitam. Di situ, kelompok gorila punya tawanan seorang pria, manusia, yang terikat tak berdaya di tengah cengkeraman mereka. Lalu soal perseteruan itu pun akhirnya dibawa pada jalur hukum. Di meja persidanganlah, dengan disertai debat argumen hukum, singa sang raja rimba memimpin sidang konflik pembagian peci itu. Dan Drama fabel urban pun diakhiri dengan rentetan bunyi senapan yang membuyarkan perhelatan sidang binatang. Duar…! Duar…! Duar…! Para binatang berhamburan lari ketakutan, cari selamat.

Secara dramatikal, Dapur Tetaer membawakan konsep fabel dalam pertunjukan malam itu. Yakni menawarkan wacana dramatikal dengan jalan “membinatangkan” manusia. Umumnya, fabel sebagai cerita selalu bersifat moralis. Cenderung menghadirkan amanat atau norma-norma moral melalui perwatakan yang “membinatang” dalam ceritanya. Dan yang semacam itu, sebagai pertunjukan seni kerap menjemukan. Untung, “Komisi Pertikaian” tak terjebak pada konsep pertunjukan moralistik macam itu. Saya pikir itu karena pilihan mereka untuk mengolah wacana urban secara dekonstruktif.

Wacana urban (masyarakat kota) yang dijadikan bahan baku naskah “Komisi Pertikaian” itu pun cukup (f)aktual. Problem masyarakat kota, baik di Banjarmasin atau kota-kota besar kita lainnya menarik untuk diangkat ke atas panggung secara dramatik. Masyarakat kota adalah situasi sosial yang amat kompleks, di mana manusia dari berbagai latar belakang, kepentingan, profesi, hidup bersama. Tentu saja di situ muncul banyak benturan sekaligus harmonisasi sosialnya. Di situlah problem ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, kebersihan, sampah dll. menjadi wacana sehari-hari. Dinamika manusia urban pun tak hanya berdampak pada latar kotanya yang plural. Dengan tangan modernisasinya, kepentingan manusia urban pun bisa meluas hingga masuk perkampungan desa. Merengsek ke perut hutan, air sawah, tambang batubara dan situs-situs masyarakat tradisional. Dan saya kira anasir problem manusia urban itulah yang diolah dalam “Komisi Pertikaian”.

Menarik bahwa pertunjukan tetaer malam itu mengolah wacana problem urbanistik melalui dramatika fabel. Dengan “pembinatangan” problem manusia urban ini, sepertinya lakon “Komisi Pertikaian” mau mengajak kita untuk bercermin diri. Bahwa ada anasir binatang dalam diri kita, yang terkadang tak mampu kita kendalikan. Pada dinamika urban masyarakat kita, bukankah perilaku binatang kerap meresahkan dan menteror kita? Di situ bukankah kita beberapa kali mendengar, ada anak membunuh orangtuanya, ada kakek memerkosa cucunya, ada maling ayam yang dipukuli sampai mati tanpa peradilan?

Jadi melalui dramatika fabel, dengan penghadiran karakter manusia melalui penokohan binatang yang dilakukan Dapur Tetaer itu, saya kira cukup kontekstual dan bernilai bagi kita. Di atas panggung, para aktor “Komisi Pertikaian” pun cukup mampu menjiwai karakter kebinatangannya. Misal peran-karakter gorila yang gahar terbantukan oleh postur sang aktor. Dan yang menarik buat saya, peran anjing betina putih yang cukup baik, yakni melalui perilaku dan gestur keanjingan yang pas diolahnya.

Kemudian dari keseluruhan pertunjukan Dapur Tetaer malam itu, lamat-lamat saya melihat wacana dekonstruksi-postmodern di sana. Ini saya temui dari spirit pemberontakan dalam balutan Tubuh Ritus dan sajian musik cadas di awal pertunjukan. Serta dari kuatnya nilai urbanistik pada materi naskah yang dikuatkan pula dengan pengaburan pusat wacana pertunjukan. Yang saya maksud pengaburan wacana ini adalah, bahwa ternyata tidak ada wacana pokok-utama pada pertunjukan tetaer malam itu. Kalaupun ada realisme, tapi realisme pada problem urban sosial mereka tampilkan secara acak tak tunggal. Ini nampak pada gramatika teks naskah yang ditulis Benny Ashadi, sangat terasa dibuat arbitrer mana-suka. Melalui dialog-dialog fabelnya, fleksibilatas diksi yang digunakan mereka hamburkan ke sana ke mari, serta banyak tak menghiraukan logika formal. Barangkali ini bisa dikatakan cuatan absurditas.

Ya, dramatika fabel yang ditawarkan oleh “Komisi Pertikaian”, meski dekonstruktif dan tanpa wacana tunggal, namun tetap berada pada setting urbanistiknya. Kalaupun harus menafsir, maka tafsir estetika saya adalah, bahwa segala sajian artistik pada pertunjukan Dapur Tetaer malam itu adalah usaha estetik-drmatatik mereka untuk merepresentasikan realitas sosialnya. Lantas, sebenarnya realitas apa yang direpresentasikan? Ya, melalui potret problem masyarakat urban, sebenarnya mereka mau memerlihatkan bahwa kita yang orang kota, yang modern ini, saat ini terus-menerus suka bertikai sendiri-sendiri!

Soal teknik drama “pembinatangan” yang mereka pilih untuk menyajikan wacana pertikaian itu, saya kira bukan hal baru. Kita bisa bandingkan dengan karya sastra modern Inggris, yakni novel Animal Farm karangan George Orwell yang terbit pertamakali tahun 1945. Ketika Animal Farm menawarkan wacana pemikiran bandingan, yakni binatangisme untuk menolak humanisme (kemanusiaan) yang congkak, maka pertunjukan tetaer “Komisi Pertikaian” pun masih senapas. Secara kontekstual, problem aktual masyarakat urban kita hari ini pun terkandung dalam materi naskah “Komisi Pertikaian”. Di situ mereka telah menghadirkan perseteruan politik, sajian dialog persidangan, dan rebutan peci antara gorila dengan rusa. Bukankah itu adalah realitas politik, hukum dan keagamaan kita yang makin hiruk-pikuk berseteru?

Soal politik, tentunya ini adalah makanan alamiah hidup kita. Meski banyak orang yang alerhi pada politik praktis, tapi saya kira kita tak boleh apatis padanya. Kata Aristoteles, man is a political animal, manusia adalah binatang yang berpolitik. Perbedaan kita manusia dengan binatang ya pada kemampuan politiknya. Meskipun, politik praktis di masyarakat kita banyak yang kotor, tapi kita tak boleh apatis, supaya yang kotor itu tak makin kotor dan membusuk. Dan saya pikir, anasir problem politik pada pertunjukan tetaer “Komisi Pertikaian” itulah wadah nilai moralitasnya, atau setidaknya edukatifnya. Sehubungan dengan itu, saya mau menutup tulisan sederhana ini dengan mengutip kalimat menarik dari Mahbub Djunaidi dalam artikel “Buku Petunjuk Pendidikan Politik Sejak Dini” (Kompas, 18 Maret 1981).

Apabila seorang anak sudah duduk di kelas V Sekolah Dasar, paling lambat di kelas VI, ajaklah dia ke kebun binatang. Begitu menginjak pintu gerbang, segera bisikkan di kupingnya, “Kamu tidak mau dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu, kan? Nah, jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia.

Tulisan ini dimuat kolom Seni & Budaya, Media Kalimantan, 30 Desember 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *