Memuisikan Klungkung

Memuisikan Klungkung

Di 21 November (2016) yang lalu, Bang Asa (Ali Syamsudin Arsi) menghubungi saya via fesbuk. Ia minta saya membicarakan buku puisi Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta di Kindai Sastra. Oleh karena suka menikmati puisi, suka pula membicarakannya, maka saya iyakan permintaan itu. Tapi karena aslinya saya ini tak suka ngomong, maka dengan tulisan pendek ini saya harap bisa melengkapi omongan saya.

Soal buku puisi Klungkung ini, yang pertama kali akan saya tawarkan untuk dibicarakan adalah mengenai tematiknya. Yakni soal Klungkung sebagai setting budaya masyarakat Bali. Di situ tentu saja seluruh penyair yang puisinya tampil mau mengekspresikan penghayatannya atas Klungkung. Klungkung sebagai fenomena kebudayaan masyarakatnya (Bali), di dalam berbagai meterial budayanya. Baik materi sejarah, panorama alam, adat-itiadat, kesenian, maupun sosio-politiknya.

Menurut saya, gagasan-gagasan pemuisian material budaya ke dalam karya sastra semacam ini sangat penting dan bernilai. Bahwa dinamika kebudayaan sebuah masyarakat, memang tidak cukup dimaknai dari sisi material empirisnya saja. Tapi perlu juga untuk dilihat dan dimaknai dari sisi yang imajinatif-refleksif. Salah satunya ya lewat sastra, lewat puisi. Pertanyaannya, sejauh mana eksplorasi estetika para penyair di buku ini dalam mengolah material budaya itu? Apakah berhasil menjadi puisi yang puitis? Meyuguhkan keharuan? Inspiratif bagi penghayatnya? Meski pada hakikatnya ia, puisi itu enggan untuk kita “tuntut” macam-macam harus bisa ini, berhasil begitu, mencapai anu dst., namun pembicaraan dan diskusi soal puisi tetaplah bermakna ya.

Buku Klungkung ini memang menawarkan berbagai pemaknaan akan situs Klungkung sebagai material budaya, yang tentu pula bisa kita ambil pemaknaan itu mana suka. Pun barangkali ada yang suka memaknainya lewat jalan liris, imajis, kritis, prismatis, prosais, filosofis, dst. Itulah yang oleh seratusan penyair dari Bali maupun penyair dari luar Bali tawarkan ke kita di buku ini. Dan khusus penyair dari Kalsel, tiga judul puisi mereka saya lihat menawarkan cara dan gayanya masing-masing dalam memuisikan Klungkung.

Bang Asa dengan puisi gumamnya “Di Sini Udara Selalu Berputar”, Moh. Mahfud dengan puisi “Sekuntum Kenangan” dan Rezqie Muhammad Alfajar Atmanegara dengan puisinya “Bahasa Ibu”. Kalau Bang Asa secara optimis-metaforik menyambut-rayakan Klungkung sebagai “ruang di celah tebing udara” budaya manusia Bali, yang tetap dan terus bergeliat di tengah peradaban manusia: …“Aku telah menemukan titik dalam peta dunia, tempat pertemuan raja-raja, persidangan hukum dari abad ke abad cerita. Klungkung, titik peta sebuah nama, sebuah ruang di celah tebing udara,”

Sedangkan Mahfud lebih menyajikan romantisismenya, dengan mengaduk-aduk beban “kenangan” melalui susuran eksotisme setting Klungkungnya: …Di pantai ini, sayang/ Luka-luka telah kehilangan air mata/ Dan matamu membawaku ke tempat paling aman/ Tempat di mana kita bisa bertukar getir dan nyeri/Saat orang-orang sibuk menyusun masa depan/ Kau mengiris-iris pasir di dadaku.
Lalu, Rezqie dengan kesaksian imajisnya nampak merekonstruksi sakralitas Klungkung melalui metafor “ibu”: …bahasa ibu/ seperti kerinduan kepada tanah air/ setinggi bukit menjulang sederas air mengalir/ sejauh manapun jejak melangkah ke seberang/ harum tembuni selalu memanggil pulang.

Begitu. Oya, karena acara ini adalah pembacaan dan pembicaraan puisi, ya sebaiknya saya tak perlu menulis berkepanjangan ke sana ke mari. Lebih pas kalau sedikit yang saya tulis ini menjadi pemantik diskusi kita. Sekaligus tambahan sesi pembacaan puisi dari kawan-kawan yang kayaknya lebih bisa memuisikan Klungkung ini secara asyik 🙂

Kindai Sastra, Banjarbaru: Minggu 11 Desember 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *