Gerakan Radikal dan Kekacauan Berbahasa

Gerakan Radikal dan Kekacauan Berbahasa

Hendaknya penguasa menjadi seorang penguasa, menteri menjadi seorang menteri, ayah menjadi seorang ayah, dan anak menjadi seorang anak (Confucius, 551-479 SM).

Rubrik Tajuk Banjarmasin Post edisi Kamis, 2 April lalu, menyoal tema aktual mengenai pemblokiran 19 (bukan 22) situs “media Islam” di internet yang dilakukan oleh Kemenkominfo. Adalah benar bahwa kebijakan kementerian–yang akronimnya susah untuk dilafalkan–itu sangat kontroversial dan telah memancing tanggapan riuh publik. Ada yang mendukung, ada yang protes tak setuju. Keriuhan itu wajar karena gerakan radikal adalah persoalan penting. Apalagi jika dibawa pada konteks agama. Misal gerakan sparatis multinasional ISIS–yang katanya radikal itu.

Terkait “radikal”, menurut hemat penulis, pemaknaan istilah yang cukup populis ini perlu disoal secara kritis. Begitu, karena istilah ini menjadi kebiasaan umum untuk dilekatkan pada wilayah yang sangat penting: kehidupan keagamaan. Lihat saja betapa mudahnya ungkapan terlontar seperti misalnya “Islam radikal”.

Terkait hal ini, dalam perkuliahan Pengantar Filsafat, biasanya penulis memaparkan istilah “radikal” sebagai ciri, sifat atau karakteristik berpikir filsafati. Istilah “radikal” (Inggris: radic) mengacu pada kata “radix” (Latin) yang memiliki arti “akar”. Jadi sebenarnya istilah “radikal” secara etimologis adalah kata sifat yang menunjuk pada “kedalaman”. Pada dimensi dasar yang bernilai refleksif (perenungan). Makanya dalam konteks filsafat, kecenderungan berpikir radikal diandaikan sebagai syarat untuk menggapai makna-makna yang universal. Penggunaan kata “radikal” sebagaimana umum memaknai pada fenomena-fenomena gerakan separatis, teror(isme), atau setidaknya paham agama (Islam) yang berwajah “garang” dan “keras”, maka di situlah letak pengeruhan atau pengaburan maknanya.

Pendistorsian makna radikal ini secara historis, menurut John Stott (dalam The Radical Disciple, 2010) sudah muncul pada abad ke-19. Yakni sebagai labelisasi politis terhadap kelompok politisi Inggris, khususnya Willliam Cobbett yang mengusung gerakan reformis dan liberal. Dari sinilah kemudian penggunaan istilah “radikal” digunakan untuk menunjuk pada sikap-sikap atau gerakan-gerakan politik yang ideologinya sangat mengakar kuat (mendasar).

Lantas, ketika kata “radikal” ini dibawa pada konteks gerakan-gerakan agama, sayangnya hal ini malah menjadi distortif. Ini tampak ketika frasa “kelompok radikal” (baca: dalam beragama) dimaknai sebagai kelompok-kelompok yang punya karakteristik arogan, keras kepala, kaku dan a-kultural. Dan, kelompok-kelompok ini pun acapkali dilihat berpotensi kuat menjadi gerakan terorisme. Jelas, pemaknaan seperti ini adalah menyesatkan. Karena yang dimaksudkan radikal dalam pemaknaan ini sebenarnya tidak menunjuk sifat mendasar, akar atau hakikat, namun lebih kepada manifestasi penafsiran (agama).

Kalau istilah radikal dikembalikan pada substansi maknanya: mendasar, maka secara moral, beragama dengan jalan radikal adalah sebuah keharusan atau bahkan kewajiban. Beragama ya mesti radikal, karena beragama secara mendasar adalah wujud sikap-keyakinan, sekaligus praktik agama berdasarkan dasar-dasar agama itu sendiri. Dengan bahasa lain, beragama dengan tidak radikal itu tidak realistis. Mana mungkin sikap dan pemahaman agama dilakukan secara dangkal (tak mendasar)? Makanya, “Islam radikal” sebagai Islam yang mengakar dan mendasar adalah sebutan biasa dan wajar. Masalahnya, seperti apa atau bagaimana Islam yang mengakar atau mendasar itu?

Tinjauan asal-usul kata tadi telah menunjukkan, rupanya sudah menjadi “adat” masyarakat kita untuk gegabah dalam berbahasa. Satu contoh adalah mudahnya pelbagai pihak mempertukarkan istilah “etika” dengan “etiket”. Dimensi sopan-santun atau norma berperilaku yang semestinya menunjuk “etiket”, diganti “etika”. Ini seperti ujaran KH Mustofa Bisri (Gus Mus) tempo hari saat menanggapi gaya bicara Ahok yang sering dianggap publik tak beretika. Yang benar, kata Gus Mus: “Secara etiket, Gubernur DKI Ahok itu jelek sekali. Ahok itu tak punya etiket… Tapi dia (Ahok) beretika, karena mau memberantas korupsi” (www.tempo.co/31/3/15). Dari sini, tentu bisa diteruskan untuk mencari kegegabahan kita yang lainnya dalam memakai istilah. Kalau memakai prinsip bahwa kekacauan budaya bangsa itu bisa dilihat dari tingkat kekacauannya dalam berbahasa, maka kondisi masyarakat kita kini pun bisa dinilai.

Memang, bahasa -baik lisan maupun tulisan- adalah cerminan dari pikiran. Ketika di mana-mana marak penggunaan bahasa yang kacau, maka patut diduga jika nalar-pikir penggunanya pun centang-perenang. Pentingnya aspek bahasa dalam kebudayaan manusia ini, jauh-jauh hari pernah menjadi perhatian filsuf Tiongkok Kuno.

Kurang-lebih 2400 tahun yang lalu Confucius (K’ung Fu Tse) menyebarkan satu dari sepuluh ajaran pokok filsafatnya kepada murid-muridnya. Yakni ajaran tentang “pembetulan nama-nama” yang dikenal sebagai mingjia atau ming chia. Sebagaimana kutipan di awal tulisan ini, keutamaan ajaran mingjia dalam penggunaan bahasa (kata-kata) secara betul dan teratur adalah landasan utama tatanan masyarakat yang teratur pula. Ajaran filsafat mingjia yang mengusung nilai konsistensi serta tanggung jawab ini jelas kontekstual untuk kita bawa pada persoalan masyarakat kekinian. Lihat saja kebijakan politik penguasa baru-baru ini.

Hilmar Farid, seorang sejarawan diangkat menjadi anggota dewan komisaris BUMN PT. Krakatau Steel (KRAS). Dan boleh dikata, kebijakan Presiden Jokowi ini tidak bernilai “mingjiawi”. Namun demikian, betapa pun pentingnya pembetulan praktik berbahasa yang mencerminkan kejernihan masyarakat itu, toh pada akhirnya soal bahasa adalah soal konsensus. Soal kesepakatan kolektif.

Orang Lampung sepakat mengartikan kata “ikam” sebagai “saya”. Sebaliknya, urang banua (Banjar) sepakat menyebut “ikam” sebagai “kamu”. Tapi, keduanya punya kesepakatan yang sama untuk menyebut, maaf, “organ vital” laki-laki. Jadi kalau nanti semua orang sepakat kata “radikal” itu berarti “roti”, ya tak apa-apa. Jokowi yang “juragan kayu” itu kita jadikan presiden juga tak masalah, bukan?

Kembali soal radikal, kini negara kita punya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Badan inilah yang merekomendasikan diblokirnya 19 situs media Islam yang katanya radikal. Badan yang dibentuk Presidan SBY ini dalam salah satu topoksinya, berfungsi melakukan koordinasi dalam mencegah dan melawan propaganda ideologi radikal. Coba, bagaimana ini? Ideologi yang mendasar, kok mau dicegah dan dilawan? Bagi penulis yang muslim, aqidah monoteistik adalah ideologi radikal keimanan penulis. Apa BNPT bisa mencegah dan melawan iman? Yang dilawan itu bentuk terorismenya, bukan radikalitasnya.

Opini Banjarmasin Post, 8 April 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *