Begal dan Filsafat Kejahatan

Begal dan Filsafat Kejahatan

Apa begal bisa difilsafatkan? Seperti filsafat eksistensialisme misalnya? Bisa. Karena segala soal dalam hidup ini bisa difilsafatkan, sejauh bisa dan mungkin untuk direfleksikan oleh nalar. Lebih-lebih kini, fenomena begal sedang menjadi persoalan aktual dan empirikal di tengah-tengah masyarakat kita.

Sebagaimana diulas Banjarmasin Post dalam oleh rubrik Opini (Tribun Forum). Bahkan ditulis dalam dua terbitan berturut-turut. Yakni tulisan “Memberantas Begal” oleh Moh. Yamin (Senin, 2 Maret) dan tulisan “Maraknya Begalisme Gagalnya Pendidikan” oleh Vivi Aulia (Selasa, 3 Maret). Jika Yamin menyoroti fenomena begal dari perspektif sosial, lalu Aulia berusaha mengaitkan dengan problem pendidikan, maka pada tulisan ini saya mau membahasnya dalam ranah filsafati.

Yamin dalam tulisannya menyebut begal sebagai sebuah fenomena yang mendadak “ngetop” akhir-akhir ini. Utamanya jika mengacu pada pemberitaan media massa Nasional, terkait pembegalan yang marak terjadi di sekitaran Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Dari perspektif sosial, dia menguraikan bahwa pembegalan sebagai bentuk kejahatan yang sangat terkait dengan unsur-unsur sosialnya. Mulai dari kualitas infrastruktur masyarakat, lemahnya peran lembaga penegak hukum, hingga jaringan pelaku kejahatan itu sendiri. Kemudian tulisan Aulia mengaitkannya pada dimensi pendidikan. Dikatakannya bahwa fenomena pembegalan yang sebagian besar dilakukan remaja, tak lain lantaran absennya pendidikan bagi mereka. Kurang-lebih begitu pendapatnya.

Meski demikian, sebenarnya fenomena begal sebagai salah-satu dari “salah-banyak” (baca: kepelbagaian) problem kejahatan manusia yang cukup rumit, tidak cukup untuk dipahami dari sisi sosiologis semata. Pun termasuk persoalan pendidikan sebagai bagian dari sistem sosial. Karena fakta sosial, saya kira dan saya rasa, adalah kenyataan paling permukaan dari yang sesungguhnya (baca: esensial). Oleh karena itu, dalam melihat fenomena elaku begal sebagai problem kejahatan ini, perspektif filsafat punya kemungkinan besar untuk lebih memahami problem kejahatan secara mendasar. Harapannya, ini bisa dijadikan alternatif perspektif atau bahkan acuan, atas tindakan-tindakan praktis yang perlu diambil.

Barangkali kita sepakat bahwa alasan paling kuat yang mendasari seseorang melakukan kejahatan adalah keadaan yang darurat, mendesak, atau bernilai urgensif. Misalnya problem kemiskinan atau dalih ekonomi. Meskipun pandangan itu tidak keliru dan tampak cukup rasional, tapi yang lebih mendasar sebenarnya adalah pada problem etis atau moralitas (akhlak). Karena, semiskin-miskinnya kondisi perekonomian seseorang, kalau di dalam dirinya punya kekuatan akhlak yang tangguh, integritas moral yang kuat, maka ia tak akan goyah untuk melakukan kejahatan demi pemenuhan kebutuhan ekonominya itu. Mudahnya, orang akan lebih memilih untuk menahan lapar, ketimbang maling ayam atau malah membegal sepeda motor.

Perspektif moralitas ini, tentu juga gampang dipatahkan jika kita mendengar pengakuan para penjahat di depan para penyidik atau hakim. “Saya terpaksa, Pak. Saya penganggur. Demi membiayai kebutuhan hidup. Untuk biaya persalinan istri saya di rumah sakit, Pak” begitu kira-kira. Tapi dari fakta-fakta populis itu, bukan berarti bahwa alasan moral telah gagal untuk dijadikan dasar kejahatan. Karena, kalau kita bicara moralitas tak lain membicarakan dimensi yang ideal, hal-hal baik yang diharapkan (goodness).

Kita pun menyadari, bahwa yang ideal itu pada kenyataannya tidak selalu seiya-sekata dengan apa yang terjadi. Dan bukankah jurang antara yang ideal dengan yang terjadi ini seringkali kita alami dalam keseharian? Misalnya tindakan main hakim sendiri (alih-alih keroyokan alias “rame-rame”). Dengan dalih menerapkan keadilan (atau pelampiasan kekejaman?), massa yang kalap ramai-ramai menyiksa begal yang tertangkap hingga tewas.

Malah, ada begal yang sampai dibakar hidup-hidup segala. Biadab! Lalu seseorang dari “hakim massa” itu bisa saja bersuara, “Memukuli begal sampai mati itu sudah wajar, karena para begal itu juga berbuat sadis terhadap para korban pembegalannya.” Bagaimana ini? Sebegitu sederhanakah alam pikiran masyarakat kita dalam menyikapi pelaku kejahatan? Bukankah main hakim sendiri yang semakin menjadi “budaya” kita itu adalah sama saja kejahatan dalam bentuknya yang lain?

Kalau kita kembali melihat persoalan kejahatan dari perspektif sosial (sistemik), sebagaimana tulisan Yamin dan Aulia, sebenarnya jelas bahwa ini tidak hanya persoalan lemahnya penegakan hukum atau pendidikan kita, tapi lebih kompleks lagi. Setidaknya yang mendasari kompleksitas ini adalah soal kacaunya tatanan atau struktur-sistem nilai sosial kita.

Dari dimensi normatif ini, gejala lemahnya aktivitas-aktivitas sosial yang bernilai kolektif (misal gotong-royong)) sebagai media perekat hubungan horizontal jelas semakin lemah. Gejala ini akan lebih tampak pada masyarakat perkotaan, jika dibandingkan perdesaan yang relatif masih kuat ikatan kolektivitasnya. Kemudian dari karut-marutnya sebaran informasi media massa di era kebebasan yang hampir tanpa batas ini, intelektualitas dan daya kritis masyarakat dirasa masih kewalahan dalam mengimbangi suasana itu. Di sini, penguatan peran pendidikan kita menjadi relevan, seperti yang dimaksudkan dalam tulisan Saudari Aulia.

Tidak mau menyimpulkan, untuk menutup tulisan ini saya ingin mengulang satu kisah heroik tentang manusia bajik yang kukuh mempertahankan integritas moralnya. Barangkali ini kontekstual dengan fenomena kejahatan sebagai problem moral.

Adalah kisah Sokrates filsuf Yunani yang hidup sekitar duapuluh lima abad yang lalu. Secara voting, dewan hakim Athena mendakwa Sokrates telah bersalah dan harus menjalani hukuman mati dengan cara meminum racun. Sokrates dituduh dan disepakati oleh sebagian besar dewan hakim, bahwa ia telah menyesatkan anak muda Athena dengan ajaran-ajaran filsafatnya. Hari ini dunia tahu, Sokrates bukan penjahat. Ia tidak menyesatkan, ajaran-ajaran moralnya malahan mencerahkan.

Duapuluh lima abad setelah kematian Sokrates, mungkin hampir mustahil mencari padanan sosoknya. Apalagi ketika Kriton muridnya menyediakan sarana untuk kabur dari tahanan, Sokrates malah menolak. Dengan kondisi itu, besar kemungkinan penjahat hari ini akan memilih kabur daripada menenggak racun.

Barangkali memang sudah tabiat buruk sejarah manusia. Sejarah sudah banyak mencatat bahwa manusia selalu terlambat dalam memaknai dan menyikapi kebenaran. Somoga ini bisa diakhiri, paling tidak dikurangi.

Opini Banjarmasin Post, 4 Maret 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *