Struktur Cerpen “Perihal Menyederhanakan Cinta”

Struktur Cerpen “Perihal Menyederhanakan Cinta”

Minggu ini saya baru bisa sepenuhnya menikmati cerpen karya Rika yang terbit di Kompas, 28 Maret 2021. Kompas memperkenalkan penulis ini dengan identitas sebagai berikut: penulis novel, puisi, dan cerpen, menetap di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Pernah menjadi peserta Kelas Cerpen Kompas dan salah satu cerpennya lolos kurasi buku antologi Cerpen Pilihan Kompas.

Keinginan untuk membaca karya-karyanya yang lain selalu tak tercapai. Distraksi kegiatan saya yang lain sering membuat saya lupa untuk menengoknya lagi. 

Mumpung masih hangat, saya coba kebut membaca cerpen “Perihal Menyederhanakan Cinta” (PMC) di media bertiras nasional itu karena cerpen ini cocok untuk dijadikan bahan kajian di kelas Kritik Sastra yang sedang saya ampu semester ini. Paling tidak sebagai contoh bahan untuk beberapa jenis kritik sastra sekaligus: kritik sastra strukturalis,  feminis, dan dekonstruksi. Selain itu, tampaknya ini cerpen Kompas pertama yang secara khusus mendapatkan prawacana dari redakturnya. 

Tulisan ini mendekati cerpen ini dengan sudut pandang strukturalis untuk menemukan makna strukturalnya dengan cara melihat hubungan antarunsur, antartokoh, antara narator dan yang dinarasikan, dan hubungan cerpen ini dengan sistem genre tematiknya serta cerpen lain yang dirujuknya.

Dalam kajian ini, makna cerpen ini tak perlu dihubungkan dengan penulis atau pembacanya. Makna lahir dari hubungan persamaan, pembedaan, penghadiran, dan peniadaan dalam struktur-struktur itu: struktur yang dibangun untuk memaknai cinta.

Cerpen ini dibuka dengan alinea yang menggambarkan suasana hati tokoh aku, seorang perempuan yang sedang cemburu. Cemburu kepada siapa? Kepada lelaki yang dia bayangkan sedang dipeluk oleh istrinya? Pembuka ini langsung menyiratkan struktur hubungan antartokoh yang utama: aku, Bumi, dan istri Bumi. Seluruh cerita dalam kendali suara tokoh aku. Aku punya kebebasan meletakkan tokoh lain dalam struktur cerita yang ia bangun.

Tokoh aku bebas menjelaskan dirinya siapa tetapi Bumi dan istrinya tidak. Dengan kata lain, kekuasaan yang ia miliki tidak ia peroleh dari luar struktur cerita ini. Ia berkuasa karena ada tokoh lain yang dapat ia kuasai. Perhatikan cara tokoh mengidentifikasi dirinya dalam kutipan berikut:

Aku pikir sebagai perempuan aku cukup lovable. Aku memiliki kulit putih dengan porsi tubuh ideal dan wajah yang mungkin akan dilirik satu dua laki-laki ketika aku berpapasan dengan mereka. Aku memiliki kehidupan yang cukup menarik secara materi. Aku mandiri dan pekerja keras. Aku pintar dalam beberapa hal, terutama menulis dan memasak. Aku kecanduan pada hal-hal yang mungkin buruk untuk kesehatan, merokok dan begadang. Aku lebih menyukai kota ketimbang desa. Lebih menyukai puisi ketimbang apa pun di muka bumi ini. Aku bukan perempuan matre, ini satu hal yang banyak diidamkan laki-laki. Aku lebih percaya bahwa uang datang dari Tuhan bukan dari sosok seorang laki-laki yang harus terus aku peloroti. Dalam urusan ranjang, aku mungkin tidak perlu diragukan.

Identitas tokoh aku dibangun dalam sistem relasi warna kulit, kriteria etos kerja, selera bacaan, zona geografi, tata perilaku, tingkat ekonomi, persepsi atas tubuhnya sendiri di mata laki-laki, dan ranjang. Aku merasa bagian dari sistem itu. Baginya, itulah struktur besar yang menyangga dirinya layak dicintai atau lovable. Lovable dipandang kalau kriteria struktural itu terpenuhi. Seolah-olah, kriteria lawannya tak lovable. Tanpa unsur-unsur itu, aku merasa tak lovable. Semua unsur struktural yang membentuk persepsi diri tokoh aku adalah sumber daya untuk mendapatkan cinta. Aku tak berdaya tanpanya. Ingat, struktur itu bukan sesuatu yang alamiah yang merepresentasikan kenyataan. Relasi itu dalam pandangan strukturalisme hanya konstruksi konseptual. Aku bermakna dalam relasi itu dan bukan siapa-siapa lagi di luar jaringan struktur tersebut.

Meskipun demikian, tokoh aku menemukan kenyataan lain. Kegagalannya untuk mendapatkan suami perempuan lain adalah batas dari syarat lovable itu. Relasinya dengan Bumi membuatnya ia kuat sekaligus lemah. Demikian pula relasi Bumi dengannya: terluka tapi bahagia. Perhatikan kutipan ini:

Aku memasak makanan enak untuk Bumi jika aku sedang rajin, tapi aku lebih banyak mengajaknya makan di luar. Aku membuatkan kopi terenak saat ia sedang bekerja. Aku selalu memakai pakaian terbaikku ketika aku bertemu dengannya, aku ingin selalu terlihat cantik untuknya, aku ingin dia selalu mengagumiku tanpa pernah menjadikan kekuranganku alasan untuk meninggalkanku. Aku akan memijatnya kapan pun ia terlihat lelah. Aku tidak akan merepotkannya masalah uang karena aku ingin berusaha terus membuatnya nyaman. Aku akan berusaha terus mempercayainya walaupun aku tahu dia pembohong. Saat aku terus melakukan ini, aku sadar aku sendiri telah berusaha membuatnya nyaman, tapi aku sendiri tidak. Saat kau mulai memutuskan mencintai seseorang, saat itulah kupikir kau akan kehilangan sebagian dirimu.

Cuplikan ini memperlihatkan posisi  ambivalen tokoh aku. Dia merelakan kediriannya hilang demi keberadaan Bumi. Aku tampak mengalah demi mempertahankan Bumi. Bumi seolah-olah berkuasa, padahal Bumi jadi pasif, tak berdaya dan bergantung kepada tokoh aku.

Secara tematik, cerpen ini juga bagian dari struktur fiksi yang lebih besar yakni genre fiksi poligami. Silakan periksa dan bandingkan lebih jauh sistem relasi gendernya. Apakah cerpen ini memuliakan posisi perempuan atau sebaliknya? 

Secara intertekstual, cerpen ini menyebut cerpen lain, yakni “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” (SKDM) karya Umar Kayam. Penyebutan cerpen jelas ingin menunjukkan relasi homologi struktur antara Bumi dan Aku dengan antara Marno dan Jane. Bedanya, lokasi budaya cerpen SKDM jelas, sedangkan cerpen PMC tidak. Sama-sama tentang perselingkuhan tapi maknanya berbeda karena unsur-unsur strukturnya yang berbeda. Jika SKDM antara lain mengonstruksi sikap ambivalensi Marno yang ingin menjadi Barat. PMC mengeksplorasi ambivalensi Bumi dan tokoh aku dalam banyak hal.

Malam itu aku rasakan angin lebih dingin dari biasanya. Bumi duduk dan membacakanku cerita, Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Aku pikir ia sedang tidak membaca buku, tapi mengisahkan ulang kisah kami, sama menderitanya aku dan perempuan dalam kisah itu. Berbulan sejak kisah itu, aku masih percaya Bumi akan menepati janjinya, ia hanya perlu waktu sedikit lagi.

Tokoh aku dalam cerpen yang akhirnya dibiarkan menggantung ini secara struktural ambivalen, berkuasa tapi sekaligus tak berdaya, benci tapi cinta, lelah tapi menikmatinya, sederhana tapi merasa rumit, religius sekaligus sekuler, ingin cinta yang baik tanpa melukai tapi menikmati luka pihak lain. Demikianlah kira-kira.

Loktara, 31 Maret 2021

Daftar Rujukan

Arcana, Putu Fajar (2021) Keledai Dungu Memanggul Beban

Rika (2021) Perihal Menyederhanakan Cinta (Kompas) (Ruangsastra.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *