Membaca Puisi dengan Konsep Formalisme

Membaca Puisi dengan Konsep Formalisme

Aspek formal atau bentuk seni dan sastra telah menjadi perhatian para kritikus dan pemikir sastra serta para penulis yang tergabung dalam gerakan simbolisme dan estetisme abad ke-19, seperti Aristoteles, Kant, dan ahli retorika kuno dan abad pertengahan. Perhatian tersebut  mencapai intensitas dan kesadaran diri baru dalam sastra dan teori-teori kritis pada awal abad ke-20, dimulai dengan gerakan Formalis di Rusia dan gerakan modernisme Eropa, kemudian meluas ke Kritik Baru di Inggris dan Amerika dan selanjutnya ke aliran-aliran seperti neo-Aristotelian.

Secara umum, penekanan fokus pada bentuk membatasi perhatian pada aspek representasi, imitatif, dan kognitif sastra. Sastra tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan mereprepresentasikan realitas atau karakter atau untuk memberikan pelajaran moral atau intelektual, tetapi dianggap sebagai objek otonom (memiliki hukumnya sendiri) dan autotelic (memiliki tujuan internal untuk dirinya sendiri). Selain itu, sastra tidak menyampaikan pesan yang jelas atau dapat diparafrasa; melainkan mengkomunikasikan apa yang tak terlukiskan. Sastra dianggap sebagai modus ekspresi yang unik, bukan perpanjangan retorika, filsafat, sejarah atau dokumen sosial dan psikologi.

Para kritikus telah berteori secara beragam tentang hal itu bahwa keasyikan dengan bentuk merupakan indikasi alienasi sosial, menarik diri dari dunia, pengakuan atas ketidakberdayaan politik, dan menarik diri ke dalam estetika sebagai pelarian dari nilai-nilai kepekaan dan kemanusiaan. Sikap picik seperti itu juga menyiratkan sikap mundur dari sejarah dan biografi, secara efektif mengisolasi artefak sastra dari kekuatan sosial yang luas dan keadaan yang lebih bersifat lokal dan pribadi dari penulisnya (Habib, 2005: 602)

Ada dua aliran Formalisme Rusia. Pertama, Lingkaran Linguistik Moskow, yang dipimpin oleh Roman Jakobson, dibentuk pada tahun 1915; kelompok ini juga mencakup Osip Brik dan Boris Tomashevsky. Kelompok kedua, the Society for the Study of Poetic (Opoyaz) atau Masyarakat Kajian Bahasa Puitis , didirikan pada tahun 1916, dan tokoh-tokoh utamanya termasuk Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, dan Yuri Tynyanov. Kritikus penting lainnya yang terkait dalam gerakan ini yaitu Leo Jakubinsky dan Vladimir Propp.

Penekanan formalis Rusia pada bentuk dan teknik pada dasarnya berbeda dari yang dilakukan oleh para Kritikus Baru. Analisis para Formalis jauh lebih teoretis, berusaha memahami sifat umum sastra dan sarana sastra, serta evolusi historis teknik-teknik sastra. Sebaliknya, Kritik Baru lebih mementingkan praktik (daripada teori) dari pembacaan yang cermat atas teks-teks individual. Meskipun Formalisme Rusia sebagai sebuah aliran dikalahkan oleh kebangkitan Stalin dan estetika resmi Soviet yakni realisme sosialis, pengaruhnya diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti Jakobson dan Tzvetan Todorov ke analisis strukturalis dan para penulis seperti Roland Barthes dan Gerard Genette. Bahkan para ahli teori resepsi sastra, seperti Hans Robert Jauss, telah memanfaatkan gagasan Shklovsky tentang defamiliarisasi.

Setelah belajar di Universitas St. Petersburg di Rusia, Shklovsky menjadi anggota pendiri salah satu dari dua aliran Formalisme Rusia, the Society for the Study of Poetic Language (Masyarakat Kajian Bahasa Puitis), yang dibentuk pada tahun 1916. Esainya “Seni sebagai Teknik” (1917) adalah salah satu pernyataan penting dari teori formalis.

Dalam “Seni sebagai Teknik” inilah Shklovsky memperkenalkan salah satu konsep utama  Formalisme Rusia: konsep defamiliarisasi. Ketika persepsi normal kita menjadi kebiasaan, persepsi kita menjadi otomatis dan tidak sadar: dalam percakapan sehari-hari, misalnya, kita meninggalkan frasa yang belum selesai dan kata-kata setengah diekspresikan. Shklovsky melihat ini sebagai gejala dari proses “aljabar” yang menginfeksi persepsi biasa kita: “segala sesuatu digantikan oleh simbol”; kita gagal menangkap objek, yang “memudar dan bahkan tidak meninggalkan kesan pertama; pada akhirnya, esensinya dilupakan.” Proses otomatisasi berlebihan dari suatu objek inilah yang memungkinkan ekonomi terbesar pada upaya-upaya persepsi, di mana objek direduksi menjadi satu fitur atau rumus-rumus.

Dengan merujuk pada Tolstoy, Shklovsky mengatakan bahwa “seluruh kompleks kehidupan banyak orang berlangsung tanpa sadar. . . kehidupan seperti itu seolah-olah belum pernah ada.” Karena itu habituasi dapat melahap pekerjaan, pakaian, perabotan, dan ketakutan akan perang. Bertentangan dengan latar belakang persepsi biasa ini, secara umum seni mengasumsikan signifikansinya: “seni ada untuk memulihkan sensasi kehidupan; seni ada untuk membuat orang merasakan sesuatu, untuk membuat batu terasa kualitas kebatuannya. . . Teknik seni membuat benda-benda jadi ‘tidak biasa’, membuat bentuk-bentuk menjadi sulit, meningkatkan kesulitan dan lamanya persepsi karena proses persepsi adalah tujuan estetika itu sendiri dan harus diperpanjang. Seni merupakan cara mengalami kebersenian suatu objek; objeknya sendiri tidak penting”.

Misalnya, kalau kita baca sajak “Triwikrama Cinta” karya Hudan Nur dan kumpulan puisinya Menuba Laut (2016:6), konsep defamiliarisasi sangat menonjol.

lelaki kusut itu telah menjadi sarjana cinta
di sajak-sajak tuanya dalam perban kesetiaan
merembang bujana meniti keingsunan
cinta yang fasik


dongeng petang di serambi hatimu
merubah batin menjadi nubuat sangsai
tak lunas menghalau rindu yang terselip di saku rompinya


lantaran jodoh hanya separagraf kalimat
kau lasah hari-hari dengan keringat perempuan
angin menukil proposal cinta tanpa gelagat berkesudahan


lelaki kusut itu masuki balai agung
pendeta umumkan gelar barunya
: fetus dilanglang alamat kasih


mazbah gereja disesaki pelawat-pelawat kata
karantina penghabisan lalu-landang di hadapanmu
seorang pastur berkata:
di jari manismu ada rindu*

Sajak ini jelas ditulis untuk siapa, ya untuk almarhum Hamami Adaby. Orang Banjarbaru atau sastrawan Indonesia yang mengenal beliau mungkin akan mengalami ‘delay’ persepsi ketika membaca ada beberapa diksi kristiani dalam sajak ini seperti gereja, pastur dan pendeta. Bukankah Hamami muslim? Dalam bingkai formalisme, figur itu tak lagi penting. Yang penting, puisi ini telah berhasil mencengangkan pembaca dengan diksi-diksi yang tak bisa langsung pembaca pahami atau mungkin tak ada makna apapun yang disisakan bagi publik, kecuali bagi penulisnya sendiri dan orang yang dituju oleh puisi ini. Defamiliarisasi tampak pada diksi cinta yang fasik, nubuat sangsai, mazbah gereja, sarjana cinta, perban kesetiaan, dan merembang bujana meniti ingsun.

Seperti kata Shklovsky, tujuan seni bukan untuk membuat kita memahami makna, tetapi untuk menciptakan persepsi spesifik pada objek: “Seni menciptakan ‘visi’ objek daripada melayani sebagai sarana untuk mengetahuinya ”. Jadi, kalau Anda membaca puisi Hudan dan karya penyair lain yang seperti ini dan tak paham, santuy saja. Jika mungkin, lanjutkan saja pembacaan Anda dengan mengunakan bingkai yang lebih historis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *