“Jannani”, Rumah Mewah Imaji

“Jannani”, Rumah Mewah Imaji

Buku kumpulan puisi tematik Jannani karya Hudan Nur ini berisi 69 sajak yang ditulis dari 2002 sampai 2019, rentang waktu yang cukup untuk melihat dinamika estetika dan hal-hal lain di luarnya. Judul buku ini adalah judul sajak ke-46 dalam analekta karyanya itu. Sajak ini menceritakan kehidupan pribadi penyairnya. Pilihan ini tampak menegaskan buku ini persepsi pribadi Hudan atas apa dan siapa di kotanya. Meskipun sangat subjektif, persepsi bisa berfungsi untuk memahami apa yang mungkin pernah Hudan alami dan ketahui. Puisinya pun menuju dua arah ini: puisi pengalaman dan puisi pengetahuan. Keindahan puisi berbasis pengalaman jauh lebih baik daripada yang kedua. Jannani termasuk salah satunya. Jika Hudan menggunakan Jannani sebagai akrostika, saya meminjamnya sebagai singkatan dari sifat utama puisi jenis yang pertama, puisi pengalaman yang memang nabok wali kota pujaan hati saya, Nadjmi Adani.

Jan dalam bahasa Jawa berarti memang. Nabok berarti menampar secara verbal. Mari kita rasakan tabokan pertama yang ia tujukan kepada Nadjmi Jaya, pasangan wali kota Banjarbaru periode 2015-2020 dalam sajak “10 Tahun Nadjmi Jaya”

bila persimpangan panglima batur telah limbur dikecai gerimis, angsoka kisah-kisah junjung buih di pelatar rumah sakit lama akan bersaksi. maka malam-malam tualang akan kembara ke nisan-nisan tentara jepang yang tak beralamat.

bilik hilir sepanjang arus trikora telah meniti kisi-kisi duniawi. roh-roh bayang mengaliri dermaga masa lalu. kenduri gunung apam yang khatam.

pada anak-anak sungai ulin, juriat adiluhung. mimpi-mimpi pamathon, riak baruh guntung payung, simpangan guntungguntung mengaliri nadimu yang tidur. pada kantung matamu, malam di banjarbaru terlelap.

kau bangun istana salju di atas tembikar. danau seran beralas galian-galian tambang, hutan-hutan buatan. kampung-kampung rupawan. emper-emper sepi kau buat penuh warna sulap. namun, aku nyinyir dalam kesendirian melihat rupa-rupa zaman yang saling bertukar. melepas harap membilang-bilang kelaluan.

Nur, Hudan. 2019. Jannani. Banjarbaru: Zukzez Express, halaman 17.

Sajak dari tahun 2019 ini nabok persepsi pembaca yang otomatis dengan pengganjilan ungkapan yang mempersulit pemaknaan. Nikmati saja diksi dan imaji yang dipancarkannya. Pada bait satu sampai tiga, saya hanya sampai pada lapis bunyi. Baru pada bait terakhir, puisi ini sudi menderma celah komunikasi agar saya bisa bergerak ke lapis arti. Pada bait inilah sajak ini mengeritik pembangunan dalam kepemimpinan mereka. Pembangunan di Banjarbau diibaratkan istana salju di atas tembikar, kemegahan yang rapuh di tempat yang mudah retak dan pecah. Pembangunan yang rentan musnah. Bagusnya, aku lirik dalam sajak ini sangat jujur mengakui bahwa ia nyinyir pada ketiadaan orisinalitas pembangunan yang dilakukan Pak Wali. Meskipun begitu, aku lirik tak mengatakan apa yang ia mau. Nyinyirnya jadi anyir.

Sajak nyinyir bisa terhindar dari anyir jika membuka diri untuk berdialog dan menyatakan keinginannya. Sajak-sajak Hudan dalam buku ini cenderung menyembunyikan keinginannya. Coba bandingkan dengan beberapa sajak WS Rendra yang gamblang menyatakan keinginan tapi tetap konotatif. Misal dalam sajak “Aku Tulis Pamplet ini” ada bait ini

Aku inginkan merpati pos. Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku. Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Puisi yang sangat pribadi dalam analekta ini sulit menjadi milik bersama. Pintu masuk hanya disediakan bagi mitra puitikanya. Pembaca diletakkan di luar ruang tembus pandang tapi berkabut. Kelihatan tapi tak paham apa yang terjadi di dalamnya. Kesan utama yang dapat ditangkap: suasana murung, tegang, riang, sinis, dan protes. Meski begitu, puisi pribadi itulah yang lebih ekspresif daripada puisi yang tak jelas ditujukan untuk siapa.

Bandingkan dengan sajak “Kariwaya” (halaman 63) yang tak jelas ditujukan kepada siapa.

aku tumbuh dalam batang kariwaya yang tumbang di halaman suku hanyu. dangau melebar membebat menjauhi ranting-ranting angan, menuba isinya. tumpah, meriak ke akar-akar. maha luas kariwaya dengan segala kodratnya.

aku merompak dalam semak kariwaya. kikisan masa-masa seperti skesta menghardik lamunanku yang nun. benalubenalu hari melingsir mengisi kekosongan pelangi. kupukupu menculik warnanya, kusimpan kepak di antara belukar kariwaya.

aku mencium daun-daun waktu di atas kepalamu. kariwaya tegak menantang masa lalunya yang terik. bulik-bulik jamur di sepanjang tubuh kariwaya seperti mengingatkanku pada amsal sebuah negeri yang lahir dari diksi, rupa-rupa surgawi yang nun.

Kalau Anda dari luar budaya Hudan, ada baiknya Anda tanya beberapa arti kata yang tak akan ditemukan dalam KBBI. Kata “kariwaya”, “dangau”, dan “hanyu” tak bisa ditemukan dalam kamus umum. Tapi, mungkin dapat ditemukan dalam kamus bahasa Banjar. Jika tetap gagal paham, coba baca cerpen “Kariwaya” karya Jamal T. Suryanata.

Salah satu kehebatan Hudan dalam kumpulan sajak ini kemampuannya menciptakan gambaran mental baru tentang sesuatu yang umum. Misalnya, kata “dangan” dikembangkan begitu imajinatif yang mendidihkan persepsi normal pembaca. Supaya enak, ikuti saja aliran imajinya. Meski pada akhirnya rangkaian kata-katanya tak menyisakan makna yang bisa dikenang lama, paling tidak persepsi kita telah disegarkan sesaat saat kita membacanya.

Loktabat Utara, 2/3/2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *