Restu MK Untuk Keluarga Petahana

Oleh:Ahmad Fikri Hadin
Dosen Fakultas Hukum Bagian Hukum Tata Negara Unlam

Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) ‘merestui’ politik dinasti. Penggalan kalimat berita yang agak “panas” di berita utama Banjarmasin Post, 9 Juli 2015 itu, menginspirasi penulis untuk menulis artikel ini.

Sebagaimana telah diketahui Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi ketentuan yang melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Mahkamah memutuskan ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 huruf r dan penjelasannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Banyak tercurah respons positif dengan dibacakannya Putusan MK tersebut, tentunya dari keluarga petahana yang ingin mencalonkan diri pada Pilkada serentak periode bulan Desember ini.

Mahkamah Konstitusi menilai ketentuan tersebut mengandung muatan yang diskriminatif. Mengutip rilis berita situs Mahkamah Konstitusi, “Mahkamah berpendapat, meskipun dalam negara demokrasi yang berdasar atas hukum dibenarkan pemberlakuan pembatasan-pembatasan terhadap warga negara yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, namun pembatasan tersebut tidak boleh memuat ketentuan yang bersifat diskriminatif.

Mahkamah pun mengetahui bahwa ketentuan larangan adanya konflik kepentingan ditujukan untuk menciptakan kompetisi yang fair antara calon yang berasal dari keluarga petahana dan calon lain, sehingga akan tercegah berkembangnya ‘politik dinasti’ atau ‘dinasti politik’ yang marak terjadi di berbagai daerah.

Namun, menurut Mahkamah, ketentuan larangan konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf r UU Pilkada akan sulit dilaksanakan dalam praktik, khususnya oleh Penyelenggara Pilkada. Sebab, pemaknaan terhadap frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” itu berarti diserahkan kepada penafsiran setiap orang, sesuai dengan kepentingannya. Dengan kata lain, dapat dipastikan bahwa tidak akan ada kesamaan pandangan terhadap frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum. Padahal, kepastian hukum terhadap penafsiran frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” itu menjadi penentu hak seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang dijamin oleh Konstitusi”.

Implikasi Putusan MK

Putusan MK memberi angin segar bagi beberapa anak kepala daerah di Kalsel untuk maju bersaing dalam Pilkada serentak, 9 Desember 2015 mendatang.

Sumber : http://banjarmasin.tribunnews.com/2015/07/11/restu-mk-untuk-keluarga-petahana?page=1

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *