Batas Merdeka Belajar

Batas Merdeka Belajar

Beberapa hari ini Prodi kami agak mumet merancang pelaksanaan kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka. Ada banyak kabar dan tafsir tentang kebijakan ini tetapi kami lebih memilih untuk mengacu pada buku Panduan Penyelenggaraaan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (selanjutnya disingkat Panduan PMBKM)

Disclaimer atau catatan penyangkalan yang menyertai Panduan PMBKM menyatakan bahwa buku tersebut diterbitkan dengan tujuan sebagai Panduan PMBKM. Melalui panduan ini diharapkan Perguruan Tinggi dapat mengembangkan program secara optimal, efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Panduan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelola atau pimpinan Perguruan Tinggi, dosen, mahasiswa, mitra industri, dan pihak terkait lainnya. Selain itu juga dinyatakan bahwa buku tersebut disusun dan ditelaah oleh berbagai pihak di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dan dipergunakan dalam tahap perancangan, pelaksanaan, penilaian hingga evaluasi pelaksanaan kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka. Terakhir dinyatakan bahwa buku tersebut merupakan “panduan dinamis” yang senantiasa dapat diperbaiki, diperbaharui, dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan dan perubahan zaman. Masukan dari berbagai kalangan diharapkan dapat meningkatkan kualitasnya.

Apa tujuan kebijakan ini? Panduan menjelaskan bahwa tujuan kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka, khususnya program “hak belajar tiga semester di luar program studi” adalah untuk meningkatkan kompetensi lulusan, baik soft skills maupun hard skills, agar lebih siap dan relevan dengan kebutuhan zaman, menyiapkan lulusan sebagai pemimpin masa depan bangsa yang unggul dan berkepribadian. Program-program experiential learning dengan jalur yang fleksibel diharapkan akan dapat memfasilitasi mahasiswa mengembangkan potensinya sesuai dengan passion dan bakatnya. Definisi “hak belajar tiga semester di luar program studi” dijelaskan dalam latar belakang panduan tersebut sebagai berikut: Mahasiswa diberikan kebebasan mengambil SKS di luar program studi. Tiga semester yang dimaksud berupa 1 semester kesempatan mengambil mata kuliah di luar program studi dan 2 semester melaksanakan aktivitas pembelajaran di luar perguruan tinggi.

Delapan Kegiatan Pembelajaran

Ada delapan bentuk kegiatan pembelajaran, sesuai dengan Permendikbud No 3 Tahun 2020 Pasal 15 ayat 1, dapat dilakukan di luar Program Studi dan di luar Perguruan Tinggi, yaitu: Pertukaran pelajar, magang/praktik kerja, asistensi mengajar di satuan pendidikan, penelitian/riset, proyek kemanusiaan, wirausaha, studi/proyek independen, membangun desa/KKN tematik. Jangan dikira kegiatan ini bisa dilakukan dengan merdeka seperti yang diharapkan menteri. Seluruh syarat dan ketentuan dalam panduan ini jauh dari semangat slogan Mas Nadiem pada halaman iii yang menyatakan, “Kemerdekaan belajar memberi kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendidikan, dan merdeka dari birokratisasi, dosen dibebaskan dari birokrasi yang berbelit serta mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih bidang yang mereka sukai.”

Manis terdengar tapi pahit untuk dilakukan. Panduan ini jelas merupakan panduan birokratisasi baru yang rumit: penyesuaian kurikulum, membangun kesepakatan dengan mitra, menyusun skema pembiayaan, dan lain-lain. Sementara, mahasiswa yang akan menuntut hak kemerdekaan belum tentu ada, terutama di Prodi kami. Oleh karena itu, kepada Tim Kurikulum Prodi saya sampaikan agar menyikapi kebijakan ini dengan tenang, bertahap, santai dan merdeka agar pekerjaan utama yang sudah jelas di depan mata tidak terbengkalai. Rasanya aneh jika produk kebijakan yang mengandung kata ‘merdeka’ tetapi terasa menjajah. Membangun konektivitas mata kuliah antarprodi, antarfakultas, dan antaruniversitas apakah memang semerdeka dan semudah lontaran ide Mas Menteri? Ternyata tidak. Kata kunci ketidakmerdekaan yang dibawa oleh panduan ini antara lain: persetujuan dan pengakuan. Kedua kata itu bisa menjadi tembok penghalang bagi hak mahasiswa. Tanpa persetujuan dan pengakuan para pihak yang terlibat, kemerdekaan yang didengung-dengungkan akan menjadi dengungan abadi.

Untungnya, kata ‘merdeka’ sebenarnya juga memberikan pilihan bebas bagi kampus untuk memilih. Pilihan harus disesuaikan dengan keadaan. Jika, sebuah Prodi hanya mampu membangun koneksi dengan satu pihak, jangan dulu dengan banyak pihak. Paling tidak, kebijakan ini menjadi bab pertama bagi pelajaran baru yang panjang. Pilih kegiatan yang ditawarkan secara merdeka karena setiap kemerdekaan pasti ada batasnya.

Kebijakan MBKM bukan biji tanaman unggul yang bisa bebas dan merdeka tumbuh di mana saja. Ia memerlukan tanah dan pemelihara yang tepat. Ada berapa banyak kampus di Indonesia yang karakteristik mahasiswanya merdeka dalam belajar dalam arti bahwa mereka selalu punya keinginan belajar melampaui harapan para pengajar mereka? Bukankah kemerdekaan yang diharapkan Mas Menteri sangat terkait dengan tingkat literasi mahasiswa? Prasyarat dasar bagi tercapainya misi kebijakan ini adalah literasi mahasiswa. Mahasiswa yang literasinya kaya pasti akan percaya diri untuk minta dibimbing demi memenuhi hak belajar mandiri tersebut. Jangan sampai terbalik, karena iming-iming pembiayaan, mahasiswa dipaksa untuk melakukan kegiatan yang bukan minatnya demi pencapaian semu kebijakan ini. Jika ini yang terjadi, kebijakan ini harus segera dievaluasi.

Loktara, 6 Februari 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *